SimadaNews.com-Kasus dugaan malpraktek terjadi di RSUD Pandan, melibatkan oknum dokter inisial dr.M terhadap EH (56) berakhir dengan perdamaian. Tetapi, Parlaungan Silalahi SH, selaku kuasa hukum EH meminta pihak penyidik Polres Tapteng tetap memproses hukum agar memberikan efek jera, Sabtu (11/8/2018)
Hal ini diungkapkan Parlaungan Silalahi dari LBH Bara-JP Kota Sibolga didampingi Pengurus Bara-JP Tapteng dan Kota Sibolga serta DPC JPKP Tapteng dalam Konferensi Persnya di Kantor LBH Bara-JP, Jalan Iyu No 03 Kelurahan Pancuran Kerambil Sibolga, hari Jumat (10/8).
Pengacara muda yang akrab disapa Laung ini menyatakan bahwa dirinya selaku Kuasa Hukum dari EH sesuai Surat Kuasa Nomor 10/SK/LBH-BJP/V/2018 yang merupakan mantan pasien RSUD Pandan yang sekujur kulitnya melepuh usai diberikan obat pasca operasi oleh dr. M yang terjadi bulan Maret 2018 yang lalu.
Istri korban berinisial KN tidak terima dengan kondisi yang dialami suaminya, alhasil bersama dengan Laung selaku kuasa hukum dan didampingi Pengurus Bara-JP Kota Sibolga & Tapteng membuat pengaduan resmi ke Polres Tapteng sesuai LP/73/V/2018/SU/RES/TAPTENG tanggal 4 Mei 2018 terkait dugaan melalaikan tugas sesuai UU N0.36 Tahun 2014.
Kasus ini pun berjalan proses hukumnya dan sesuai pengakuan Laung dalam konferensi persnya Juru Periksa Reskrim Polres Tapteng telah melakukan pemeriksaan tenaga medis RSUD Pandan termasuk dr. M tanggal 7 Agustus 2018.
Tetapi tanpa sepengetahuan Laung, pihak korban dan pihak oknum RSUD Pandan melakukan perdamaian dengan kompensasi sebesar Rp55 juta. Selaku kuasa hukum dari korban Laung mengaku kecewa tetapi tidak menentang perdamaian tersebut.
“ Sah-sah saja korban dan pihak RSUD Pandan melakukan perdamaian, kalau hal itu tidak ada unsur yang lain. Nah, dari informasi yang saya dapatkan Perdamaian antara korban dan pihak oknum RSUD Pandan yakni dr. M ada unsur intervensi dan kepentingan. Dimana oknum dr. M terpaksa menutupi kasus ini agar dirinya tidak gagal Wisuda Kedokteran ,” ungkap Laung dalam konferensi persnya.
Pengacara muda ini menyesalkan adanya pencabutan berkas perkara pengaduan yang menjadi syarat perdamaian tersebut.
Menurutnya, kasus ini murni diduga Delik Biasa bukan Delik Aduan. Selain itu, diduga ada unsur kelalaian
”Sah-sah saja ada perdamaian tetapi proses hukumnya haruslah berlanjut. Ini semua demi kenyamanan masyarakat Tapteng, sebab kasus dugaan malpraktek ini bukan baru kali ini saja terjadi,” katanya.
Menurut Laung sesuai dengan pasal 359 KUH-Pidana untuk kelalaian yang mengakibatkan matinya seseorang, yang sanksi pidananya adalah penjara atau kurungan. Atau bila mengakibatkan luka atau cacatnya seseorang dapat diterapkan pasal 360 KUH-Pidana yang sanksinya berupa penjara, kurungan atau denda dan juga pasal 361 KUH-Pidana, karena dilakukan dalam suatu jabatan atau pekerjaan, yang sanksinya dapat berupa penjatuhan hukuman pencabutan hak melakukan pekerjaan.
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang kesehatan, sanksinya terdapat pada pasal 54 yang sanksinya berupa tindakan disiplin. Dalam Undang-undang Nomor.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, yaitu dalam pasal 79 junto pasal 51 yang sanksinya adalah pidana kurungan dan denda.
Dan dalam KODEKI, sanksinya terdapat pada pasal 21, 22 ayat 1 dan 2 Permenkes nomor: 554/Men.Kes/Per/XII/1982 tentang Panitia Pertimbangan dan Pembinaan Etik Kedokteran, yang sanksinya berupa peringatan atau tindakan administratif.
Parlaungan Silalahi, SH, selaku kuasa hukum dan berprofesi sebagai advokat, akan berupaya agar kasus ini masuk ke meja persidangan. Dirinya mengaku hal ini, bentuk konsekuensinya selaku warga Tapteng yang menginginkan pelayanan medis terkhusus di RSU Pandan bisa secara maksimal dan profesional dalam melayani pasiennya.
Sementara hal yang sama juga disampaikan Pengurus DPC JPKP Tapteng, Bahri MP. Hutauruk yang mengaku kecewa dengan sikap korban yang sejak awal bersikeras menempuh jalur hukum. (rel/snc)