SimadaNews.com-Fera JB Sinambela, calon legislativ DPR-RI Daerah Pemilihan Banten III Nomor Urut 5 dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI), mengajak para kontestan pemilihan legislativ, menolak budaya suap saat kampanye.
Kepada SimadaNews, Fera menceritakan pengalamannya saat melakukan kunjungan dan sosialisasi kepada masyarakat. Bahkan, warga banyak bertanya mengapa, dirinya turun sendiri ke masyarakat secara door to door langsung, tanpa didampingi tim pemenangan atau mengirimkan relawan sepeti caleg lain.
“Pernah seorang ketua Tim sukses caleg partai tertentu mendatangi saya dengan informasi yang lengkap, bahwa untuk Tim pemenang Caleg dibutuhkan struktur dan logistik yang luar biasa jumlahnya. Bila tidak demikian mustahil dapat. Bahkan banyak istilah-istilah yang saya dengar langsung di masyarakat bahwa keberhasilan Pemilu tergantung 3D yaitu DUIT, DOA dan DUKUN. Benar-benar bahaya kenyataan ini,” sebut Fera.
Menyipakapi itu, Fera mengaku, tidak mengikuti apa yang disampaikan tim sukses tadi. Sebab, pada prinsipnya harus berpedoman pada kewajiban melakukan pendidikan dan sosialisasi Politik yang benar kepada semua warga. Itu penting, supaya warga bisa mengenal dan mengerti siapa yang akan mewakili mereka kelak.
“Tujuannya kampanye door to door ini adalah agar warga dapat secara langsung mengenal calon wakilnya dan mengerti visi dan misi dari Caleg tersebut sehingga tidak seperti pepatah membeli kucing dalam karung. Selain karena memiliki logistik yang sangat terbatas, kami juga ingin mendidik warga agar tidak menerima suap untuk memilih calon. Karena suap itu tidak ada yang gratis,” ujar Fera.
Fera melanjutkan, banyak orang mengira bahwa bentuk-bentuk pemberian bantuan sosial selama kampanye menunjukkan bahwa caleg tersebut adalah seorang yang murah hati.
Padahal, apapun bentuk bantuan sosial yang diberikan selama kampanye maupun Pemilu adalah suap yang membuat akal sehat warga tidak lagi dapat berfikir dengan sehat.
“Apabila warga mau disuap berarti warga secara tidak sadar menciptakan seorang wakil yang akan merampok hak-hak warga sendiri pada saat caleg tersebut terpilih dan menjabat,” pungkasnya.
Fera mengaku, benar bahwa kampanye door to door bukanlah satu-satunya cara untuk melakukan edukasi politik kepada warga, namun cara itu dilakukannya karena dinilai sangat efektif untuk membangun hubungan emosional yang lebih nyata dibanding dengan cara-cara lain.
“Cara ini supaya warga dapat melihat dan mendengarkan langsung dari calon wakilnya mengenai visi dan misi apabila kelak dipilih sebagai wakil rakyat,” ucapnya.
Dia mengungkapkan, kampanye door to door ini tidak selamanya mulus, faktor-faktor yang menghalangi kampanye door to door ini antara lain adalah kenyataan di lapangan bahwa masyarakat sudah di kotak-kotakkan oleh para politisi berdasarkan wilayah/daerah sesuai dengan sejarah kemenangan partai yang Ada.
Penolakan dari warga tertentu untuk menerima Caleg dari partai lain kecuali partai pemenang sebelumnya terjadi dimana-mana. Ada juga warga yang menolak sosialisasi caleg apabila tidak bersedia memberikan bantuan sesuai dengan kebutuhan warga tersebut.
“Penolakan lain adalah diwaktu melakukan sosialisasi, tiba-tiba ada warga yang nyeletuk, mana pelicinnya, mana baksonya, dan banyak lagi istilah-istilah suap lainnya,” papar Fera.
Lebih lanjut dikatakan Fera, masyarakat yang demikian, walaupun sudah dijelaskan efek dari politik suap tetap saja mengharapkan suap. Karena Suap di negeri ini sudah jadi budaya yang berakar.
“Kampanye secara door to door dinilai lebih mampu mencairkan suasana dan membangun hubungan emosional dari hati ke hati sehingga pesan-pesan moral yang disampaikan dalam kampanye akan diingat,” ujarnya.
Fera menambahkan,selama korupsi dan suap tetap menjadi budaya di negeri ini, kebenaran dan keadilan sosial pasti selalu disingkirkan. Mengubah budaya yang sudah berakar dari nenek moyang akan sulit sekali, tapi tidak ada yang mustahil.
“Kita tegakkan kebenaran dan keadilan sosial dengan melakukan sosialisasi dan kampanye pemilu yang benar dengan door to door, serta berani menolak budaya suap,” pungkas Fera mengakhiri. (soemardi/snc)