SimadaNews.com-Indonesia belum menemukan satupun pasien positif virus corona di dalam negeri. Virus jenis baru asal Wuhan Tiongkok, yang kini bernama COVID-19 itu, sudah menyebar lintas negara tetapi tidak di Indonesia. Sempat terjadi polemik tentang keraguan terhadap sistem deteksi fasilitas kesehatan yang dimiliki Indonesia.
Guru Besar Biokimia dan Biologi Molekuler Universitas Airlangga Prof. Dr. CA Nidom drh MS, dalam analisanya mengungkapkan, belum ada kasus virus corona di Indonesia dikarenakan memiliki pertahanan tubuh atau daya tahan yang kuat? Mengapa bisa demikian? Ternyata kuncinya ada pada rimpang yang selalu rutin dikonsumsi orang Indonesia setiap hari.
Menurut Prof. Nidom, secara tidak sadar masyarakat Indonesia mengonsumsi rimpang seperti bumbu dapur dalam nasi kuning, nasi rempah, atau aneka masakan lainnya.
Dalam setiap masakan pasti masyarakat tanah air menggunakan jahe, kunyit, dan lainnya. Bahkan ada sebagian orang yang mengonsumsi jamu-jamuan secara rutin.
Nah lalu apa kaitannya rimpang dengan virus corona asal Wuhan? Ternyata, kata Prof. Nidom, kandungan senyawa curcumin di dalam rimpang yang disebut empon-empon dalam bahasa Jawa itu, bisa menjadi blokir atau menahan virus.
Proses Infeksi Virus Corona
Prof Nidom menjelaskan, mekanisme interaksi atau infeksi dari virus yang masuk ke dalam paru-paru. Jadi virus flu burung, influenza, TBC, kalau masuk ke dalam paru-paru maka akan masuk ke dalam sel. Termasuk COVID-19, akan masuk ke dalam sel paru.
Setelah itu virus itu mengembangkan diri, memperbanyak diri, reproduksi diri di dalam sel itu. Kemudian setelah virusnya banyak, maka virus akan keluar dari sel.
“Keluarnya virus ini bukan hanya virus itu yang keluar, tapi karena sel ini rusak maka juga mengeluarkan seluruh zat di dalam sel,” paparnya.
Virus itu mengeluarkan zat-zat dari sel termasuk yang bermanfaat dan yang beracun. Salah satu zat yang keluar dari sel adalah Sitokin.
Apa itu Sitokon?
Sitokin, adalah salah satu zat dikeluarkan dari sel. Sitokin adalah salah satu reaksi karena adanya virus di dalam sel. Jadi ketika virus masuk ke dalam sel, pada waktu keluar membuat Sitokin ikut muncul.
“Sitokin itu bersifat merusak sel-sel yang ada di sebelahnya. Dengan rusaknya sel-sel di sebelahnya maka sel itu juga akan keluarkan Sitokin. Sitokin-sitokin itu yang disebut dengan Badai Sitokin,” sebut Prof Nidom.
Sehingga yang merusak sel paru bukan virus tersebut, tapi Sitokin-sitokin tersebut. Nah keparahan Sitokin, tergantung dari keganasan virus itu.
“Itu yang menyebabkan rusaknya paru-paru yang kita sebut dengan pneumonia berat. Jadi pneumonia berat bukan semata-mata disebabkan oleh virus Korona. Tapi sitokinnya itu yang menyebabkan,” katanya.
Penelitian Kandungan Curcumin
Kembali pada penelitian 15 tahun lalu sekitar tahun 2008-2009, saat flu burung beredar. Ketika itu, flu burung juga menyerang paru-paru. Dan targetnya bahkan setelah terserang, 100 persen langsung membuat pasien meninggal.
“Nah Curcumin saat itu dikatakan bisa memblok terbentuknya Sitokin. Jadi Curcumin bukan membunuh virus ya, tapi mem-blok sitokin itu tadi. Dengan adanya blokir dari Curcumin maka Sitokin bisa dikurangi efeknya. Nah konsep inilah yang bisa digunakan untuk Coronavirus,” jelasnya.
Virus flu burung sewaktu menginfeksi seseorang juga merusak sel, mengeluarkan macam-macam sitokin, banyak jenisnya. Setiap virus punya gertakan berbeda antara satu virus dengan yang lain.
“Saya bandingkan, virus flu burung, hasil Sitokinnya mirip dengan gertakan yang dikatakan peneliti di Wuhan bahwa COVID-19 ini menggertak Sitokin yang mirip dengan flu burung. Oleh karena itu formulasi Curcumin itu bisa dipakai untuk mencegah atau mengendalikan Coronavirus,” paparnya.
Curcumin Ada di Rimpang
Curcumin ada dalam kandungan rimpang atau empon-empon. Prof Nidom menyebutnya dengan istilah The Power of Empon-Empon. Misalnya pada jahe, kunyit, temulawak dan lainnya.
“Itu kan sehari-hari diminum oleh orang Indonesia. Kan enggak pernah kita dengar orang keracunan minum itu. Artinya ini aman. Tinggal kita tingkatkan formulasinya. Misalnya jahe ditambah, temulawak dikurangi dan lainnya. Ini kami teliti setelah dapat virusnya,” paparnya.
“Sadar tak sadar orang konsumsi ini setiap hari dalam penggunaan bumbu dapur. Kan ada bumbu lengkap. Palumara, nasi kuning, dan lainnya. Tercampur dalam makanan kita sejak lama. Cuma formulasinya belum ditentukan. Kemudian orang ke supermarket, kan juga banyak minuman itu,” ujarnya.
Maka, dengan kebiasaan sejak lama masyarakat Indonesia mengonsumsi rimpang membuat pertahanan tubuhnya kuat. Maka dari itu, dia meminta masyarakat Indonesia tidak terlalu panik. Justru obatnya bisa jadi ternyata ada di sekitar kita.
Dia meminta masyarakat untuk membudidayakan tanaman obat keluarga (Toga) seperti rimpang.
“Saya asumsikan bahwa pertahanan orang Indonesia cukup bagus. Karena memang tanpa disadarai sudah konsumsi penghambatnya sejak lama. Kebetulan patogenesis virus wuhan, lebih rendah dari flu burung,” jelasnya.
“Jangan panik hadapi situasi ini. Rutin minum teh masukkan jahe, serai, dan lainnya. Atau minum temulawak. Kalau mau ke luar negeri, boleh dong bawa rimpang-rimpang itu ke sana, biar tetap sehat,” katanya tertawa.
Kemungkinan Lain: Faktor Etnis
Menurut Prof Nidom, tak hanya darah orang Indonesia yang punya sitem pertahanan yang kuat. Akan tetapi kemungkinan besar virus corona memang dipengaruhi oleh faktor genetik.
Bisa saja virus itu hanya menyasar pada Mono-etnik reseptor atau satu etnis.
“Saya melihat data pendekatan sepertinya menyasar 1 etnik tertentu. Sasarannya Mono-etnik reseptor. Yang sekarang ini data 99 persen lebih menyerang orang-orang di daratan sana, di Wuhan dan Tiongkok. Demikian juga di Singapura, Thailand, dan Filipina adalah imigran,” jelasnya.
Namun tetap harus dianalisa dan diwaspadai. Jika ada gelombang kedua virus seperti kemungkinan melompat pada Multi-etnik reseptor. Misalnya saja ada ras kaukasoid atau orang Barat di Inggris yang terkena. Atau Warga Negara Indonesia di Singapura.
“Nah itu menarik, apakah akan jadi gelombang kedua? Multi-etnik resptor. Itu harus jadi perhatian bersama. Dan itu berbeda ya jika menbandingkan struktur DNA warga keturunan Tionghoa yang ada di Indonesia. Maka ini harus dikaji lebih jauh lagi,” tutup Prof. Nidom. (snc)
Sumber:cnndanjawapos
Editor: Hermanto Sipayung