SimadaNews.com – Polemik yang terjadi antara warga dengan pihak Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT) terkait lahan seluas 107 hektar di Desa Motung, Kecamatan Ajibata, Kabupaten Toba masih terus bergulir.
“Lahan 107 hektar itu bukanlah lahan masyarakat umum, dan tidak ada istilah tanah adat. Itu adalah tanah pribadi atas keputusan Mahkamah Agung, jelas riwayatnya pernah sengketa di sana dua pihak, hubungan marga,” sebut Parlindungan Manurung, perwakilan masyarakat Motung usai pertemuan bersama Tim Terpadu Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan, BPODT dan Pemkab Tobasa di Aula Kantor Bupati Toba, Selasa (26/01/2021).
Parlindungan juga mempertanyakan apa yang dimaksud dengan bius yang ada dalam konsep masyarakat Batak. Warga Motung meminta agar BPODT tetap memperhatikan aspek hukum dan kearifan lokal adat budaya setempat.
“Sampai sekarang ada lahir kata bius, tapi terserah, media boleh mengecek itu bius itu apa artinya dalam satu konteks masyarakat Batak. Tetapi kami adalah patuh hukum, saat itu dan sampai tingkat Mahkamah Agung diputuskan kami yang menang,” ujarnya.
“Kata Pak Sekda ada kata hak milik negara, kami tidak percaya karena itu tidak sesuai dengan prosedur. Pertimbangan Menteri Pertanahan itu tidak perlu karena sebenarnya surat keputusan dari Mahkamah Agung sudah ada sebelum itu terjadi,” ungkapnya.
Sementara Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Toba, Audy Murphy O Sitorus mengatakan, pembangunan tetap berjalan, meskipun ada proses hukum tidak akan menghambat jalannya pembangunan.
“Dari hasil identifikasi Kementerian Pertanahan dan Lingkungan Hidup bahwa lahan itu adalah kawasan hutan yang diserahkan hak pengelolaannya kepada BPODT. Jadi kalau masyarakat mengklaim bahwa itu adalah hutan mereka atau hutan adat mereka, nah itu menurut versi mereka. Tapi, menurut pemerintah bahwa lahan itu milik negara,” sebutnya.
Perihal usulan Raja Bius Motung Siopat Marga tentang nilai santunan di lahan Hutan Adat seluas 10 hektar, Murphy menjelaskan,
“Mereka usulkan supaya dilakukan penghitungan ulang karena menurut mereka itu sangat atau terlalu rendah. Maka, dimohonkan kepada KJJP supaya dilakukan penghitungan ulang dan KJJP juga menyanggupi mereka manatahu ada hal yang luput dari perhatian mereka,” katanya.
Lebih lanjut, dijelaskan, bahwa Tim Terpadu (Timdu) tetap bekerja sembari menunggu hasil atau keputusan pengadilan.
“Biarlah proses yang terjadi di pengadilan tetap berproses dan proses yang dilakukan oleh Timdu tetap berjalan. Nanti kalau pengadilan menyatakan lain dari apa yang dikerjakan Timdu itu batal, sehingga pemeriksaan perkara ini di pengadilan tidak menghalangi Timdu untuk melaksanakan progress di atas lahan tersebut. Saya pikir, pemerintah akan taat hukum,” kata Sekda. (Jaya Napitupulu)