(Pesan Moral Bung Karno)
catatan | ingot simangunsong
SAAT Bung Karno—Sang Proklamator, Presiden RI 1—dipaksa para tentara untuk meninggalkan Istana dalam waktu 2 x 24 jam, kepada putranya Guruh Soekarnoputra disampaikan pesan, “Mas Guruh, Bapak tidak boleh tinggal di Istana ini lagi, kamu persiapkan barang-barangmu, jangan kamu ambil lukisan atau hal lain, itu punya negara.”
Hal yang sama, juga disampaikan Bung Karno saat mengumpulkan semua ajudannya yang setia di ruang tamu Istana.
Pesan moral Bung Karno ini, sebenarnya tidak hanya diperuntukkan bagi putranya Guruh Soekarnoputra. Pesan moral yang demikian berharga ini, juga diperuntukkan bagi anak-anak bangsa yang sudah, sedang dan akan menikmati kemerdekaan.
Bung Karno, sebagai orangtua telah menanamkan pemahaman yang luar biasa kepada anak-anaknya, tentang kekuasaan yang dimilikinya sebagai seorang Kepala Negara, tidak serta merta menjadikan anak-anaknya dapat sebebas-bebasnya memiliki apa pun. Ada batasan yang harus dipatuhi anak-anaknya, yaitu yang berkaitan dengan milik negara tidak boleh diambil.
Pesan moral, “Jangan kamu ambil….itu punya negara”, sesungguhnya sangat bernilai tinggi, karena di dalamnya tercermin kemartabatan, keberadaban, keadat-budayaan dan keetikaan.
Apakah “bapak-bapak” lainnya di negeri ini—yang menduduki posisi penting sebagai pengambil kebijakan—menyampaikan pesan moral tersebut kepada anak-anaknya, agar tidak mengambil dan tidak merampas kekayaan milik Negara!
Atau apakah pemimpin-pemimpin lainnya, juga menyampaikan pesan moral tersebut kepada anak buahnya atau bawahannya, agar tidak mengambil dan tidak merampas anggaran belanja Negara!
Ataukah sebaliknya, “bapak-bapak” lainnya di negeri ini, justru menjadi pelaku pengambil dan perampas kekayaan milik negara. Kemudian membiarkan atau pura-pura tidak tahu, kalau anak buahnya melakukan tindakan yang sama.
Sungguh luar biasa, Bung Karno!
*****
PADA era Orde Lama (masa kepemimpinan Bung Karno), para elit birokrat mau pun elit partai politik, sudah ada juga yang mengambil apa yang menjadi milik negara. Mereka itu disebut-sebut sebagai tikus-tikus penggerogot atau koruptor.
Namun, tidak demikian dengan Bung Karno dan anak-anaknya.
Lihat saja, ketika meninggalkan Istana, Bung Karno hanya naik VW Kodok, satu-satunya mobil pribadi yang ia punya dan meminta sopir untuk diantarkan ke Jalan Sriwijaya, rumah Ibu Fatmawati.
Lihat juga, anak-anaknya Bung Karno, tidak menguasai lahan sampai ribuan hektar di sejumlah provinsi di negeri ini. Tidak mengurusi proyek dengan komisi miliaran rupiah.
Kesederhanaan yang dimiliki Bung Karno, sangat berbanding terbalik dengan kehidupan segelintir para elit birokrat, pemimpin parpol dan konglomerat hitam di era Orde Baru (masa kepemimpinan Soeharto). Bahkan ketika keluar dari Istana, untuk membeli buah duku pun, Bung Karno tidak punya uang.
Dan, di era Orde Baru, sejumlah birokrat busuk, politisi busuk, penjahat politik, konglomerat hitam dan mafia proyek/anggaran, dengan leluasanya menguasai jutaan hektar hutan negara, dan tumbuh subur menguasai kekayaan negara.
Bahkan, dengan menguasai kekayaan negara, mereka disebut-sebut sebagai penguasa kekayaan yang tidak akan habis tujuh keturunan.
Di era Reformasi, para koruptor pun semakin “menggila.” Bahkan elit politik selevel Ketua DPR-RI dan Ketua MPR-RI pun terlibat tindak pidana korupsi uang milik negara. Demikian juga dengan sejumlah gubernur, bupati/walikota dan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota.
Bung Karno, sesungguhnya mereka, kumpulan orang-orang sakit!
*****
PARA elit birokrat, para pemimpin parpol, para pemimpin organisasi kemasyarakatan dan siapa pun di negeri ini, sudah saatnya menjadikan pesan moral yang disampaikan Bung Karno, sebagai panduan dalam bela Negara dengan ketulusan hati.
Joko Widodo—Presiden RI ke-7, yang akrab dipanggil Jokowi—menerjemahkan pesan moral Bung Karno tersebut sebagai bagian dari apa yang disebut Jas Merah (Jangan Sesekali Melupakan Sejarah).
Termasuk, di dalamnya, adalah konsep Tri Sakti yang pernah diutarakan Bung Karno dalam pidatonya tahun 1963 dengan tiga pilarnya, yakni “Indonesia yang berdaulat secara politik”, “Indonesia yang mandiri secara ekonomi”, dan “Indonesia yang berkepribadian secara sosial-budaya.”
Pesan moral, “Jangan kamu ambil….itu punya negara”, adalah bagian dari sejarah pemimpin Negara, yang menunjukkan kemartabatan, keberadaban, keadat-budayaan dan keetikaan.
Jokowi—juga menyampaikan pesan kepada anak-anak dan menantunya—untuk tidak mengambil dan atau menikmati apa saja yang menjadi milik Negara. Dan, untuk tidak masuk dalam tender proyek apa pun, hanya demi meraup komisi.
Anak-anak Jokowi tumbuh sebagai pengusaha mandiri dengan tidak pernah menggandalkan kekuasaan penuh yang dimiliki bapaknya sebagai seorang Kepala Negara.
Putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka mengembangkan usaha martabak. Sementara putra bungsunya, Kaesang Pangarep mengembangkan usahanya dengan nama “Sang Pisang”.
Andaikan, para pemimpin Negara, para elit birokrat, para pemimpin partai politik dan banyak anak bangsa lainnya—dapat mengerti, memahami dan menjalankan amanah pesan moral Bung Karno—untuk tidak mengambil, tidak merampok dan tidak menggerogoti kekayaan Negara, maka sesungguhnya NKRI menjadi lebih cepat melaju maju menuju damai sejahtera.
“Jangan kamu ambil….itu punya negara”, agar rakyat berdaulat, dan Negara disegani bangsa-bangsa di dunia.
Bung Karno, yang berat kita hadapi adalah saudara-saudara kita yang menjelmah sebagai penjajah negerinya sendiri, dengan bertopengkan birokrat busuk, politisi busuk, penjahat politik, konglomerat hitam dan mafia proyek/anggaran.
*****
#Penulis, wakil pemimpin redaksi simadanews.com, mentor Gerakan Daulat Desa (GDD),Bidang Humas dan Sosial DPP Dulur Ganjar Pranowo (DGP)