JUMAT, 18 Juni 2021.
Fonny “Kyan Ulos” Sitanggang, menerima kehadiran sejumlah wartawan yang sudah lama mengajukan keinginan untuk melakukan liputan di Kilang Ulos “Kyan” di Jalan Melanthon Siregar, Gang Sipahutar, Kota Pematangsiantar.
“Baru dua bulan kita aktifkan kembali kilang ulos ini, setelah selama setahun menghadapi masa pandemi Covid-19 yang sangat mempengaruhi produksi penjualan ulos dan yang lainnya,” kata Fonny Sitanggang.
Pembukaan kembali kilang ulos itu, juga tidak melibatkan seluruh karyawan, yang jumlahnya mencapai 50 pengrajin. Hanya ada 19 pengrajin, diantaranya 6 tenun (mesin), 4 kacucak (manual) 1 kacucak duduk, 7 mesin jahit dan 1 mekanik.
Selain yang ada di kilang, menurut Fonny Sitanggang, di luar juga ada beberapa lagi penenun yang bekerja, dimana pihak “Kyan Ulos” yang menentukan bahan dan motifnya.
Perjalanan Fonny Sitanggang dalam merangkai pelestarian budaya Batak, yakni ulos, sudah cukup panjang, 26 tahun lebih. Yang dimulainya dengan rasa keprihatinan terhadap kaum perempuan Batak yang mengerjakan berbagai jenis ulos, yang penghasilannya sangat miris.
“Saya melihat situasi yang demikian memprihatikan, penghasilan mereka tidak sampai duaratus ribu per minggu. Kemudian saya koordinir dengan memberikan sentuhan berbagai inovasi, sungguh luar biasa, penghasilan mereka per minggu sudah mencapai 400 ribu,” kenang Fonny Sitanggang.
Salah satu pengrajin ulos yang masih tetap bertahan bersama Fonny, adalah Nova Simorangkir (39), yang sejak gadis berusia 18 tahun, spesial menekuni tenun songket dengan sistem kerja manual, kacucak duduk.
“Saya sudah 11 tahun bekerja di sini, mulai lajang dan sekarang sudah punya dua anak,” kata Nova Simorangkir.
REGENERASI KE PUTRANYA DANIEL SAMOSIR
Fonny Sitanggang, boleh jadi merasa agak lega, karena putra keduanya Daniel Samosir yang alumni Teknik Penerbangan, Institut Teknologi Bandung (ITB) itu, sudah memperkenankan diri menerima regenerasi meneruskan usaha yang luar biasa tersebut. Usaha yang akan tetap hidup dan berkembang, seiring bertahannya adat-istiadat di kalangan etnis Batak (Mandailing, Toba, Karo, Pakpak, Simalungun).
“Kalau mau tahu bagaimana perkembangan kilang, silahkan wawancara dengan anak saya, Daniel. Dia manajer produksinya,” kata Fonny Sitanggang.
Daniel Samosir — masih muda, enerjik dan berkacamata minus — setidaknya, cukup asyik diajak ngobrol.
Dia menjelaskan, tugasnya sebagai manejer produksi, lebih mempertajam kualitas dan inovasi dengan bahan dasar ulos.
“Mama saya kan, kuatnya di bidang pemasaran. Karena mama sudah demikian lama menekuni bisnis ini, kenapa tidak saya bantu mengurangi beban mama. Setidaknya, urusan produksi tidak lagi sepenuhnya ditangani mama,” kata Daniel Samosir yang harus meninggalkan pekerjaannya sebagai maintenance pesawat di PT Garuda Indonesia.
Diakuinya, dengan semakin fokus pada produksi kilang ulos “Kyan”, pendapatannya secara pribadi — walau tidak disebutkannya — lebih menjanjikan dari apa yang didapatnya saat jadi maintenance pesawat.
PRODUKSI DAN PENJUALAN BELUM STABIL
Daniel Samosir menjelaskan, bahwa di situasi pandemi Covid-19, kilang ulos yang dipimpinnya, belum beroperasi maksimal. Misalnya saja, alat tenun mesin belum dimanfaatkan, masih fokus pada peralatan manual kacucak dan kacucak duduk serta perajin mesin jahit.
“Di masa pandemi ini, kita masih fokus untuk menghabiskan stok lama. Produksi dan penjualan belum stabil. Aktifitas ini untuk menyelesaikan orderan lama, jika ada orderan baru, ya kita kerjakan. Kemudian, kita keluarkan produk inovasi terbaru,” kata Daniel Samosir.
Fonny Sitanggang menguatkan apa yang disampaikan putranya, bahwa hasil penjualan dari produk kilang ulosnya, di masa pandemi Covid-19, hampir 50 persen “hilang”.
“Pandemi Covid-19 berdampak terhadap siapa saja, pengusaha merasakan, sudah pasti mengimbas pada pengrajin. Tetapi, kita tidak harus menyerah. Kita tetap bertahan, dan terus berinovasi. Kita manfaatkan media sosial untuk berjualan. Ya, hasilnya lumayan untuk dapat bertahan,” kata Fonny Sitanggang.
MEMBANGUN MIMPI DESTINASI WISATA ULOS
Kilang ulos “Kyan” itu, berdiri di atas lahan yang luasnya sekitar 2 rante, kata Daniel Samosir.
Entrepreneur muda ini pun, sedang membangun mimpi untuk mengemas kilang ulos tersebut, agar bermanfaat bagi orang kebanyakan.
Salah satu mimpinya tersebut, adalah menjadikan kilang itu, sebagai salah satu destinasi wisata, yang disebutnya destinasi wisata ulos.
“Saya sedang memikirkan dan akan mempersiapkan kilang ini untuk menjadi destinasi wisata ulos,” katanya.
Konsepnya, di lokasi itu sudah ada aktifitas pengerajin tenun ulos, dengan cara kerja manual mau pun mesin, serta galery mini yang berisi produk kilang. Tinggal mempertajam di penataan, agar wisatawan yang berkunjung mendapatkan view yang mengesankan.
“Pintu tol dari Parapat atau yang datang dari Medan, tidak begitu jauh dari kilang kita ini. Tinggal bagaimana nanti membangun kerjasama dengan pihak travel maupun kementerian terkait, agar destinasi wisata ulos dapat disosialisasikan,” kata Daniel Samosir.
Kemudian, mimpi kedua yang sedang dikonsep Daniel Samosir, adalah bagaimana mendatangkan mesin bordir untuk lebih menjaga kualitas hasil bordiran yang diorder para peminat tenun ulos.
“Kita butuh mesin bordir sendiri, sehingga inovasi-inovasi yang muncul dapat secepatnya diwujudkan dengan adanya mesin bordir sendiri, dengan kualitas yang lebih terjamin. Selama ini, kita kan ngebordir ke teman lain,” katanya.
Penulis: Ingot Simangunsong