DALAM era digital, media sosial telah menjelma menjadi ruang publik baru—tempat remaja dan anak muda membentuk identitas, berinteraksi, dan mengekspresikan diri.
Aplikasi seperti Instagram dan TikTok bukan sekadar sarana hiburan, melainkan panggung sekaligus cermin bagi generasi muda.
Media sosial didefinisikan sebagai platform daring tempat pengguna membagikan konten, membangun relasi, dan menciptakan identitas digital.
Esai ini bertujuan untuk menguraikan bagaimana media sosial memengaruhi cara berpikir dan berperilaku remaja, serta bagaimana ia membentuk realitas mereka sehari-hari.
Arena Emosi Kolektif
Remaja adalah makhluk emosi—dan media sosial adalah arena emosi kolektif mereka. Setiap unggahan mengandung harapan akan validasi.
Dalam budaya digital yang mengukur nilai diri melalui jumlah “like”, komentar, dan pengikut, remaja rentan menginternalisasi standar yang tidak realistis.
Media sosial terus-menerus menampilkan konstruksi digital tentang kecantikan, kekayaan, popularitas, dan kehidupan yang tampak sempurna.
Studi McCarthy (2012) menunjukkan bahwa jejaring sosial memengaruhi persepsi diri remaja karena mereka cenderung membandingkan diri dengan citra ideal yang dilihat secara online.
Akibatnya, banyak dari mereka mengembangkan ekspektasi yang tidak realistis terhadap diri sendiri. Validasi eksternal menjadi tolok ukur harga diri, sehingga tekanan psikologis dan rasa ketidakpuasan terhadap kehidupan nyata pun tak terhindarkan.
Pisau Bermata Dua
Pengaruh media sosial terhadap pola pikir remaja tak bisa diabaikan. Di satu sisi, media sosial menyediakan ruang untuk berbagi pengalaman, menemukan komunitas yang suportif, bahkan menyuarakan keresahan. Namun di sisi lain, dampak negatifnya begitu nyata. Salah satu contohnya adalah meningkatnya angka remaja perempuan yang menjalani prosedur kosmetik demi menyesuaikan diri dengan “standar kecantikan” media sosial.
Menurut data dari PERAPI (Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah Plastik Estetik Indonesia), dalam dua tahun terakhir, terjadi peningkatan sebesar 20% dalam permintaan prosedur kecantikan pada kelompok usia 15–22 tahun.
Banyak di antara mereka datang dengan membawa foto selebgram atau artis Korea sebagai referensi, berharap bisa meniru penampilan yang dianggap ideal di dunia digital.
Literasi Digital: Kebutuhan Mendesak
Saya meyakini bahwa media sosial tetap dapat menjadi alat yang positif, jika digunakan secara bijak. Kuncinya adalah kesadaran digital dan pendampingan yang tepat.
Artinya, bukan soal melarang, tetapi mendampingi. Remaja dan anak muda perlu diajarkan literasi digital sejak dini, diberi ruang untuk berefleksi, dan dibekali dengan ketahanan mental agar tidak mudah terpengaruh oleh tekanan maya.
Dalam dunia yang semakin digital, kesadaran menjadi kekuatan baru. Kita perlu membimbing generasi muda untuk memahami bahwa nilai diri tidak diukur dari algoritma, melainkan dari jati diri yang sejati.
Media sosial memberikan pengaruh besar terhadap cara berpikir dan berperilaku remaja. Ia mendukung ekspresi diri, konektivitas sosial, dan bahkan pembelajaran kolaboratif.
Namun, di sisi lain, ia juga membawa risiko berupa tekanan emosional, FOMO (fear of missing out), dan krisis identitas. Apa yang mereka lihat di dunia maya membentuk cara mereka melihat dunia nyata—dan diri mereka sendiri.
Karena itu, peran orang tua dan pendidik sangat krusial. Pendampingan yang penuh empati, pengawasan yang tidak menghakimi, serta penguatan literasi digital menjadi kunci dalam membentuk generasi yang tidak hanya cakap teknologi, tetapi juga sehat secara mental dan sosial. (*)
Penulis: Ririn Diva Sitanggang, Mahasiswa Semester IV Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Maritim Raja Ali Haji.