BARU-baru ini konflik warga Sihaporas dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL) terjadi lagi, yang berakibat timbulnya korban kedua belah pihak, mereka saling klaim kepemilikan lahan, masalah utamanya konflik agraria lalu bergeser menjadi issu nasional.
Oleh sebagian masyarakat Lamtoras Sihaporas (40 KK dari 250 KK) mengklaim bahwa konsesi yang dikelola TPL merupakan bagian dari Hutan Adat mereka seluas 2050 HA terdiri dari 1287 HA masuk dalam areal TPL, 763 di luar TPL (sumber data dari AMAN).
Penulis sendiri pernah membantu masyarakat Sihaporas menjembatani aspirasinya dengan Polres Simalungun dalam kasus yang sama pada tahun 2020.
Penulis mencoba menganalisis konflik tersebut dari beberapa pendekatan termasuk kearifan lokal ;
a. Secara historis wilayah Simalungun menganut sistim kerajaan yang terdiri dari Kerajaan Maroppat lalu berkembang menjadi Kerajaan Marpitu (Raja SiantarDamanik, Raja Pane-Purba Dasuha, Raja Tanah Jawa-Sinaga, Raja Dolog Silou-Purba Tambak, Raja Raya-Saragih Garingging, Raja Purba-Purba
Pakpak, Raja Silimakuta-Girsang)
b. Wilayah Sihaporas adalah pemberian Tuan Sipolha bermarga Damanik (Ompungnya penulis sendiri) kepada Ompung Mamontang Laut Ambarita yang dulunya berasal dari Lumban Pea Samosir.
Pada umumnya keluarga Raja-raja termasuk Partuanon Simalungun sangat
“welcome” terhadap suku pendatang baik dari Toba maupun dari Samosir termasuk daerah lainnya, bahkan dianjurkan untuk memakai salah satu marga simalungun.
c. Simalungun tidak mengenal adanya Masyarakat Hukum Adat (MHA),
karena penguasaan tanah oleh Raja-raja yang kewenangannya diatur Partuanon.
Mereka inilah secara Hukum Adat berhak atas tanah di Simalungun selaku Simada Talun atau Sipukkah Huta.
d. Menurut Peraturan Menteri LHK Nomor 9 Tahun 2021 pasal 66 ayat (2)
disebutkan salah satu persyaratan permohonan penetapan status hutan adat wajib melalui Peraturan Daerah (Perda) atau Keputusan Bupati/Walikota tentang pengukuhan MHA.
Dari penjelasan di atas, Hutan Adat Simalungun hingga saat ini belum ada, dikarenakan ketiadaan Perda maupun Keputusan Bupati yang menetapkan adanya MHA.
Mekanisme penerbitannya tentu Pemkab meminta persetujuan dulu khususnya dari keluarga Kerajaan Marpitu, dipastikan hasilnya akan sulit mendapatkan persetujuan apalagi Hutan Adat tsb dimiliki diluar bermarga simalungun.
Penguasaan wilayah dengan dalih Hutan Adat hakekatnya sudah tidak berdasar lagi sesuai Surat KLH dan Kehutanan tertanggal 14 Maret 2023 perihal surat terbuka Masyarakat Adat Sihaporas.
Oleh karenanya mari kita hormati kearifan lokal yang selama ini dipatuhi dan berkembang baik di kalangan masyarakat simalungun agar tercipta kondusifitas di Bumi Habonaron Do Bona.
TPL dan masyarakat Sihaporas sebaiknya saling menahan diri dengan tidak melakukan tindakan yang berpotensi anarkis. Waspadai orang-orang yang ingin mengkapitalisasi peristiwa ini demi kepentingannya sendiri atau kelompoknya dengan dalih menyelesaikan masalah yang belum tentu dipahaminya secara utuh.
Janganlah kearifan lokal yang sudah berjalan baik terkoyak karena pemaksaan kehendak dari kelompok tertentu yang ingin memecah belah kerukunan dan kedamaian masyarakat simalungun.
*Damai Itu Indah*
Penulis: Irjen Pol (Purn) Maruli Wagner Damanik, salah seorang keturunan generasi Partuanon Sipolha Harajaon Siattar