Oleh | ingot simangunsong
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) “dijoroki” prilaku oknum-oknum yang tidak mampu menguatkan integritas dan kepatutan dalam bela negara untuk pemberantasan korupsi.
Terhadap oknum yang “menjoroki” institusi KPK itu, integritas hanya sebatas pada tahapan uji kepatutan saja. Setelah berada di dalam sistem KPK, sahwat keserakahan tidak mampu dibendung atau dikelola dengan baik, sehingga terperangkap dalam “lingkaran gelap” peras memeras dan mengambil barang bukti.
Adalah penyidik dari unsur kepolisian yang berdinas di KPK, AKP SR (sudah ditahan Propam Polri), ketahuan melakukan dugaan upaya pemerasan terhadap Wali Kota Tanjungbalai, M. Syahrial, Rp1,5 miliar dengan iming-iming penanganan kasus dugaan korupsi dihentikan.
Kemudian, kejadian sebelumnya, anggota Satuan Tugas (Satgas) pada Direktorat Pengelolaan Barang Bukti dan Eksekusi (Labuksi) KPK berinisial IGAS diberhentikan secara tidak hormat oleh Dewan Pengawas (Dewas) KPK, karena dinilai terbukti melakukan pencurian barang bukti emas seberat 1.900 gram. Pembacaan putusan terhadap kasus IGAS ini dilakukan Majelis Etik Dewan Pengawas KPK pada Kamis, 8 April 2021.
Pekan kedua April 2021, KPK juga dihadapi dengan dugaan informasi bocor saat hendak menggeledah kantor PT Jhonlin Baratama terkait kasus dugaan suap pajak. KPK gagal mengamankan barang bukti karena sudah lebih dulu dilarikan dan disembunyikan dengan truk.
Selanjutnya dalam persidangan, terdakwa kasus dugaan suap Wali Kota Cimahi nonaktif, Ajay Muhammad Priatna, mengaku sempat dimintai uang Rp1 miliar oleh pihak yang mengaku dari KPK dengan iming-iming tak dijerat operasi tangkap tangan (OTT).
DIBERI HUKUMAN BERAT
Upaya sejumlah oknum yang dengan etika moral tidak baik untuk “menjoroki” insititusi antirasuah tersebut, sudah sepatutnya diberikan perhatian serius oleh setiap komponen yang berperan dalam menjaga kewibawaan KPK.
Mereka yang “menjoroki” KPK, sama dengan upaya memelihara “kelanggengan” para pelaku korupsi, atau setidaknya menjadi salah satu perangkat yang melakukan pembiaran suatu tindak pidana korupsi berjalan.
Mereka yang “menjoroki” KPK – yang sejak zaman Orde Lama, Orde Baru, Reformasi dan hingga sekarang, sudah berulang-ulang gonta-ganti nama – sudah sepatutnya diberikan ganjaran hukuman berat. Tidak cukup hanya sebatas di keputusan Majelis Etik Dewan Pengawas KPK, yakni memberhentikan dengan tidak hormat.
Kecukupan finansial yang bagaimana lagi, yang harus dipersiapkan negara, agar para abdi KPK, tidak “ngiler” pada sahwat keserakahan?
Untuk itulah, hukuman berat sebagai efek jera, perlu diterapkan bagi abdi KPK yang “berkhianat” pada keintegritasan dan semangat bela negara dalam pemberantasan korupsi.
WILAYAH SETENGAH HATI
KPK harus dibebaskan dari “wilayah setengah hati” penanganan dan pemberantasan korupsi di negeri ini. Bagaimana KPK mau melakukan pencegahan, jika di dalam tubuhnya sendiri masih ada oknum-oknum yang berusaha dan sudah “menjoroki” institusi tersebut?
Itu tadi, shock teraphy efek jera dengan hukuman berat, harus diterapkan, agar para abdi KPK benar-benar menjalankan tugas pokok dan fungsinya.
Sudah disepakati bersama, bahwa pelaku korupsi (koruptor) adalah tindak kejahatan luar biasa. Jika abdi KPK yang mencegah dan menangkap pelaku korupsi, juga melakukan hal sama, bukankah tindakan oknum KPK tersebut, merupakan tindak kejahatan yang lebih luar biasa!
Mari membebaskan institusi KPK dari “wilayah setengah hati”. Hukuman berat patut dilaksanakan, agar efek jera terjadi. Jika diperlukan, “pemiskinan” memang sudah saatnya dilakukan terhadap pelaku korupsi dan penghianat abdi KPK.
@Penulis, wakil pimpinan redaksi simadanews.com, mentor Gerakan Daulat Desa (GDD) Sumut, Bidang Humas dan Sosial DPP Dulur Ganjar Pranowo (DGP) 2021-2022 dan inisiator Pena Jokowi Centre Connection