PEMBERIAN amnesti dan abolisi kepada Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong dalam kasus menyeret nama mereka ke dalam pusaran polemik hukum, membuka babak baru dalam perbincangan nasional tentang arah penegakan hukum di Indonesia.
Keputusan tersebut bukan hanya sekadar produk politik, tetapi juga refleksi dari dinamika demokrasi yang terus bergerak antara kekuasaan, keadilan, dan harapan masyarakat atas tegaknya kebenaran.
Dasar Hukum Amnesti dan Abolisi
Secara konstitusional, amnesti dan abolisi adalah kewenangan Presiden Republik Indonesia yang diatur dalam Pasal 14 ayat (2) UUD 1945.
Amnesti biasanya diberikan kepada sekelompok orang, terutama dalam kasus politik, yang efeknya menghapus seluruh akibat hukum pidana sejak awal.
Abolisi bersifat lebih spesifik, menghentikan proses hukum terhadap seseorang atau kasus tertentu, bahkan sebelum ada putusan pengadilan.
Mekanisme pemberian Amnesti dan Abolisi, diatur lebih lanjut melalui Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1954 yang mengatur amnesti dan abolisi, serta memerlukan pertimbangan atau persetujuan DPR.
Dalam sejarah ketatanegaraan, pemberian amnesti dan abolisi bukan barang baru. Presiden Soekarno pernah menggunakannya untuk mendamaikan konflik politik.
Presiden Habibie untuk mengatasi konflik Aceh dan Presiden Joko Widodo untuk kepentingan rekonsiliasi Papua.
Pemberian amnesti kepada Hasto dan abolisi kepada Lembong menjadi preseden menarik. Dimana, perjalanan penerapan hukum yang dilakukan terhadap keduanya, menggemparkan publik karena disebut sebut lebih dominan adanya kepentingan politik dan kekuasan, terlepas politik siapa dan kekuasan siapa.
Namun, penulis sendiri menilai terhadap keduanya ada praktik hukum yang tidak tepat sebagaimana penulis peroleh ketika mendapatkan pembelajaran ilmu hukum semasa kuliah.
Pemberian amnesti dan abolisi kepada Hasto dan Tom Lembong, mempertegas bahwa negara masih punya instrumen untuk mengoreksi proses hukum yang dianggap tidak adil, cacat prosedural, atau sarat kepentingan politik.
Dari Simbol Politik ke Harapan Publik
Amnesti dan abolisi bukan semata soal penghapusan konsekuensi hukum. Lebih dari itu, keduanya bisa menjadi simbol keberanian negara untuk mengakui kekeliruan dan memperbaiki keadaan.
Dalam kasus Hasto dan Tom Lembong, keputusan ini dipandang sebagian kalangan sebagai bentuk keberpihakan terhadap upaya membongkar fakta dan mencari keadilan substantif, bukan sekadar prosedural.
Masyarakat selama ini kerap menyaksikan bahwa hukum berjalan tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Oleh karena itu, saat dua tokoh nasional yang kritis terhadap kekuasaan justru mendapat perlakuan hukum yang lebih adil, publik melihat ini sebagai secercah harapan: bahwa negara masih mungkin berpihak kepada kebenaran.
Jangan Sarat Kepentingan Politik
Meski demikian, tak dapat diabaikan bahwa setiap kebijakan hukum yang sarat nuansa politik akan selalu menuai kecurigaan.
Kritik bahwa pemberian amnesti dan abolisi ini hanya taktik meredam konflik atau mengakomodasi kepentingan partai politik tertentu harus dijawab dengan transparansi dan akuntabilitas.
Pemerintah bersama DPR perlu menjelaskan secara terbuka pertimbangan yuridis, politik, dan moral yang mendasari keputusan itu.
Penting juga untuk memastikan bahwa amnesti dan abolisi ke depan tidak menjadi “karpet merah” bagi pelanggar hukum, tetapi benar-benar diperuntukkan bagi mereka yang memang layak mendapat keadilan karena menjadi korban ketidakadilan sistem.
Kasus Hasto dan Lembong bisa menjadi momentum pembelajaran. Bahwa hukum tidak hanya soal penegakan aturan, tapi juga menyangkut etika, keadilan, dan keberanian mengoreksi kesalahan.
Jika digunakan secara tepat, amnesti dan abolisi bukan pelemahan hukum, melainkan penguatan terhadap misi konstitusi: melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Masyarakat berharap langkah itu bukan akhir, melainkan awal dari era baru penegakan hukum yang lebih jujur, terbuka, dan berpihak pada rakyat.
Hukum tak lagi sekadar alat kekuasaan, tapi benar-benar menjadi ruang perjuangan bagi mereka yang mencari kebenaran. (*)
Penulis: Hermanto Hamonangan Sipayung SH, CIM, Advokad/Mediator Non Hakim, Par Silou Kahean Tinggal di Kota Pematangsiantar.