TIMOR LESTE. Bagi Kepala SMP Negeri 1 Jorlang Hataranan, Tiga Balata, Antonig Mauridz Hasudungan Sitorus S.Pd (51), adalah daerah (sebelumnya Provinsi Timor Timur bagian dari Republik Indonesia, kemudian merdeka), yang menyimpan kenangan “luar biasa” dalam menempah pengabdiannya di bidang pendidikan di negeri ini.
Tahun 1987, Antonig Sitorus – putra pasangan almarhum Alfred Sitorus BA (guru) dan S boru Sirait itu – mengikuti perkuliahan program diploma 3 (D3) di Universitas HKBP Nommensen Kota Pemtangsiantar.
“Itu program beasiswa, setelah lulus ditempatkan pemerintah, dan saya di tahun 1993 bersama 6 teman lainnya, ditempatkan di Timor Leste, wilayah Kasak, lumayan jauh ke pedalaman dari ibukota Provinsi,” katanya ketika menerima simadanews.com di ruang kerjanya, Jumat (03/09/2021).
SMP SUDAH DITINGGAL BAPAK
Antonig Sitorus, sebenarnya sudah membangun mimpi, kelak menjadi seorang dokter. Namun, mimpi itu pupus, ketika orangtuanya, Alfred Sitorus, di usia relatif muda, dipanggil Khalik-nya
“Waktu itu, saya masih usia SLTP, sudah ditinggalkan bapak, sehingga mamaklah yang berjuang sendiri menghidupi tiga anaknya,” kenang Antonig Sitorus yang menyampaikan bagaimana ibunya memberi pesan agar anak-anaknya pandai-pandailah menghadapi kehidupan.
“Saya lupakan mimpi jadi dokter, dan berjalan apa adanya, sesuai dengan kondisi perekonomian,” katanya.
Seiring berjalannya waktu, kakak sulung Antonig Sitorus, setelah menyelesaikan pendidikan SMA, diterima di programa beasiswa kedinasan yang dilaksanakan Universitas HKBP Nommensen Kota Pematangsiantar, program diploma 1 (D1). Selesai pendidikan, kakaknya ditempatkan di wilayah Kabupaten Simalungun.
“Selesai pendidikan SMA, saya tidak tahu mau melanutkan pendidikan tinggi kemana, karena kemampuan mamak, tidak mendukung. Kemudian, mamak menyampaikan saran, agar saya mengikuti testing program beasiswa kedinasan yang sudah diselesaikan kakak saya. Kata mamak, ketika itu, kakakmu bilang, masih ada program itu, ke situlah kau, kalau berhasil biar ada yang membantu biaya sekolah adikmu,” katanya.
TIMOR TIMUR (LESTE)
Di tempatkan di Timor Timur (Leste), tidaklah mengurungkan niat, apalagi menggetarkan semangat Antonig Sitorus untuk mengabdi diri sebagai pendidik.
“Saya tidak gentar sedikit pun untuk masuk ke daerah konflik tersebut, apalagi di daerah pedalamannya. Ketika itu, mamak menyampaikan pesan, dimana pun saya berada yang pertama dicari adalah tarombo (silsilah). Begitu saya sampai di sana, yang pertama saya cari ya orang Batak, dan itu sangat membantu saya untuk beradaptasi dengan daerah yang belum saya kenal,” katanya.
Pengalaman yang didapat Antonig Sitorus dari Timor Timur (Leste), khususnya di wilayah Kasak, bahwa setiap orang yang memiliki dedikasi mendapat tempat di tengah masyarakat.
“Ketika kita dilihat mereka memiliki dedikasi tinggi dalam pengabdian, kita sangat mereka hargai dan hormati,” kata Antonig Sitorus yang juga menceritakan bagaimana Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) memasuki perkampungan untuk meminta akomodasi kepada masyarakat.
“Ya, ketika itu saya masih lajang, masih menjaga diri sendiri, saya jalani saja semuanya dengan menyesuaikan diri,” katanya.
JORLANG HATARAN (TIGA BALATA)
Tahun 1999, Timor Leste memisahkan diri dengan Republik Indonesia, berdampak pada eksodusnya Warga Negara Indonesia dari bumi Timor Leste, termasuk di dalamnya, Antonig Sitorus yang harus pulang ke kampung halaman, Provinsi Sumatera Utara.
“Para guru, pulang dan melapor ke Dinas Pendidikan Sumatera Utara di Medan. Ketika itu, saya gelombang terakhir melapor karena harus menunggu SK 3A, ternyata tak bisa juga ditunggu. Saya melapor, di Medan sudah tidak ada tempat. Dianjurkan ke tempat asal, dan setelah dilihat, Kota Pematangsiantar juga sudah penuh. Akhirnya, yang dekat dengan Kota Pematangsiantar, ya Tiga Balata, SMP Negeri 1 Jorlang Hataran,” katanya.
Januari 2020, Antonig Sitorus pun beraktifitas sebagai guru mata pelajaran Matematika di SMP Negeri 1 Jorlang Hataran. Tahun 2002, diselesaikannya jenjang pendidikan sarjana (S1) di Universitas Al-Washliyah yang membuka kelas di Pematangsiantar. Tahun 2006 diberi kepercayaan menjabat Pembantu Kepala Sekolah (PKS) Bidang Kurikulum. Pengembangan kemampuan diraihnya dengan sertifikasi guru di tahun 2007. Kemudian di 2010, menduduki jabatan Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum, dengan dua kepala sekolah yakni Sidauruk dan Simatupang.
MENDUDUKI JABATAN KEPALA SEKOLAH
Sepanjang karir gurunya, Antonig Sitorus terus bertahan di SMP Negeri 1 Jorlang Hataran. Ketika kepala sekolah Simatupang, terjadi situasi yang kurang kondusif antara para guru, sehingga tim dari Dinas Pendidikan Simalungun harus turun untuk melihat langsung.
Dari hasil kerja tim tersebut, diputuskan pihak Dinas Pendidikan untuk menunjuk Antonig Sitorus sebagai kepala SMP Negeri 1 Jorlang Hataran, dengan tugas utama menciptakan kondusifitas di lingkungan guru dan membangun sekolah ke arah yang lebih baik.
“Saya sanggupi, dan hal itu terwujud hingga saat ini. Kita saling isi mengisi untuk kemajuan bersama,” katanya.
PENTINGNYA MEMBUAT CATATAN
Selama mendampingi kepala sekolah Sidauruk dan Simatupang, Antonig Sitorus selalu membuat catatan apa saja yang perlu dikerjakan, tapi tidak dapat dilaksanakan kedua kepala sekolah tersebut.
Catatannya, bahwa setiap musim penhujan, ruang sekolah yang berada dataran rendah dipenuhi genangan air hingga ke ruang kelas. Kemudian, kantor guru yang sempit serta ketersediaan IT dalam meningkatkan kualitas sekolah.
“Catatan itu sangat penting sekali, dan itulah menadi programa utama saya, setelah diangkat jadi kepala sekolah,” katanya.
Keseluruhan catatan tersebut, berhasil diwujudkan Antonig Sitorus bersama wakil kepala sekolah dan para guru.
“Banjir sudah teratasi dengan membuat parit pembuangan, ruangan guru sudah diperluas, dan IT sudah tersedia dengan 3 ruangan yang disediakan. Bahkan kita sudah memiliki website sendiri. Fasilitas komputer 23 unit sudah ada, merupakan sumbangan dari alumni Alex Jumangki Sinaga (Dirut Telkom) dan alumni di Bank Indonenesia” katanya.
Saat ini, Antonig Sitorus, suami dari N boru Marpaung dan ayah tiga anak tersebut, memimpin 48 guru, 5 pegawai dan 736 siswa dengan 24 ruang belajar di lahan seluas 2 hektar, yang gedungnya sudah berdiri sejak tahun 1949, dan status Akreditasi A.
“Masih banyak yang harus dibenahi. Karena sekolah kami ini berada di jalur lintasan, saya harus terus berbenah, terutama dari segi kebersihan,” katanya.
Antonig Sitorus menyampaikan pesan yang juga bagian dari filosofi hidupnya, yaitu “sukai atau senangilah apa yang ada padamu, maka semuanya akan berjalan apa adanya.” (Ingot Simangunsong/Jon Sipayung)