SimadaNews.com – BENAR kata pepatah orangtua, semakin banyak kita berjalan, maka semakin banyak yang dilihat, semakin banyak pula yang ditemui, dan semakin bervariasi juga informasi yang didapat.
Bersama seorang teman, Ober Saragih – yang sedang giat-giatnya peduli destinasi wisata – saya mengikuti sebuah perjalanan, survey hamparan persawahan yang membentang luas di bumi “Habonaran do Bona”, Kabupaten Simalungun, Rabu (27/01/2021).
Teman itu, sibuk memanjakan matanya pada keindahan hamparan persawahan yang luas dengan latar view jejeran bukit barisan, saya membangun komunikasi dengan petani yang sejak lajang (masih seorang diri, belum berkeluarga, waktu itu) sudah bertani, Liaman Damanik.
Ketika saya pancing pembicaraan dengan masalah bibit yang dipakai untuk padi sawah, petani itu mengatakan, bahwa dia lebih percaya dengan bibit “turunan.”
Yang dia maksud, melakukan pembibitan sendiri, ketimbang membeli bibit yang diproduk dari sejumlah perusahaan.
SEMAKIN MERUMITKAN
Kenapa demikian? Petani itu, dengan bahasa lugasnya, mengibaratkan bahwa bibit yang diproduk perusahaan itu kan ajang bisnis. Setelah jual bibit, selanjutnya masuk penawaran obat anti hama, kemudian pupuknya.
Bermacam-macam produk bibit yang muncul sekarang ini. Dan, semuanya memperkenalkan obat-obatan sebagai turunan perawatan bibit pada masa musim tanam.
“Mana lagi, untuk mendapatkan pupuk non subsidi saja sudah sulit, apalagi mencari pupuk subsidi. Nah, bentuk penawaran dari perusahaan inilah yang sekarang muncul,” katanya.
Sebagai petani, dia merasa semakin rumit untuk menanam padi sawah.
JADI OBJEK BISNIS, HARGA TIDAK MENENTU
Kemudian, dia membuka cerita lain, tentang tanaman jagung. Menurut pengalamannya, dan masa tanam jagung di dekade sebelum datangnya bibit jagung dari perusahaan-perusahaan bisnis tersebut, tidak pernah dilakukan penyemprotan, karena hama sesungguhnya sangat sedikit ditemukan.
Sekarang, kata petani itu, ketika diperkenalkan bibit jagung yang katanya, bibit unggul, ya sama dengan bibit padi, sudah ada disiapkan obat anti hama, dan pupuk khusus produk perusahaan tersebut.
Nah, lagi-lagi petani jadi objek bisnis, dan yang memprihatinkan, bahwa biaya produksi, tidak sebanding dengan harga penjualan dari petani ke pasar.
“Untuk menghasilkan per rante 5 kaleng padi, kita harus mengeluarkan biaya produksi yang tidak sedikit, namun tiba masa panen, harga jual tidak menentu. Sementara harga pupuk dan obat hama, harus dibeli dengan harga berapa pun itu,” katanya.
BAGAIMANA DENGAN PPL PERTANIAN
Kemudian, kami berdialog tentang seberapa besar peranan dan fungsi Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) dari Dinas Pertanian dalam memberikan bimbingan?
“Mana ada itu, mereka tidak berani berhadapan dengan petani, karena pertanyaan yang selalu disampaikan petani kepada mereka, ya tentang pengadaan pupuk bersubsidi. Mereka kan tidak dapat memberikan jawaban yang pasti terhadap ketersediaan pupuk,” katanya.
Jadi, pada prinsipnya, saudara petani yang saya temui tersebut, akan tetap bertahan dengan bibit “turunan” yang pembibitannya dipersiapkan di persawahannya. Yang perlu baginya, adalah pendistribusian pupuk bersubdisi maupun non subsidi yang ditata dengan baik. Tidak sulit didapatkan.
“Dengan cara seperti itu, hasil panen satu rante akan normal menghasil 5 kaleng padi. Kemudian harga penjualan dari petani ya tetap stabil, agar petani dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, kalau bisa sejahtera ya syukur,” katanya. (ingot simangunsong)