SimadaNews.com—Dewan Pimpinan Pusat Partumpuan Pemangku Adat Budaya Simalungun (DPP PPABS) resmi melayangkan surat kepada Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto, guna menegaskan status kepemilikan tanah ulayat di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.
Surat dengan nomor 21/PPABS/SU/VII/2025 itu juga ditembuskan kepada sejumlah lembaga negara seperti Komnas HAM, Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Menteri ATR/BPN, Ombudsman RI, Ketua DPR RI, Ketua DPD RI, serta Kementerian Hukum dan HAM.
Ketua Umum DPP PPABS, Jan Toguh Damanik, S.Sos, dalam keterangannya menegaskan bahwa sejumlah wilayah adat di Kabupaten Simalungun, seperti Desa Dolok Parmonangan (Kecamatan Dolok Panribuan) dan Huta Sihaporas (Kecamatan Pematang Sidamanik), merupakan tanah ulayat sah milik masyarakat adat Simalungun dan tidak dapat diklaim oleh kelompok dari marga non-Simalungun.
“Kami menegaskan, tidak ada tanah adat keturunan marga Siallagan di Parmonangan dan tidak ada tanah adat keturunan Ambarita di Sihaporas. Mereka bukan bagian dari silsilah Harajaon Simalungun,” tegas Jan Toguh Damanik didampingi Ketua Bidang Hukum Hermanto Hamonangan Sipayung, SH, CIM dan Ketua Bidang Situs dan Cagar Budaya, Sarmuliadin, ST.
Dijelaskan bahwa wilayah Parmonangan merupakan bagian dari Kerajaan Tanoh Jawa (marga Sinaga), sedangkan Sihaporas adalah wilayah Partuanon Sipolha dari Kerajaan Siantar (marga Damanik). Klaim ini diperkuat dengan bukti historis seperti Acte Van Concessie tahun 1912 dan sejumlah dokumen adat lainnya.
Surat yang dikirim PPABS juga merujuk pada hasil Focus Group Discussion (FGD) yang digelar bersama Pemkab Simalungun dan pakar hukum adat dari Universitas Sumatera Utara pada 10 Desember 2022 di Hotel Sapadia, Pematangsiantar.
Dalam forum itu ditegaskan bahwa hanya keturunan langsung dari Harajaon Simalungun dan marga yang diakui secara adat yang berhak atas tanah ulayat.
DPP PPABS juga menyampaikan kekhawatiran atas potensi konflik horizontal yang dapat muncul akibat klaim-klaim sepihak tanpa dasar adat dan sejarah yang sah.
“Kami meminta Presiden agar menyelesaikan persoalan ini sesuai ketentuan hukum, termasuk UU No. 41 Tahun 1999 dan PP No. 33 Tahun 2021. Tidak boleh ada pengakuan berdasarkan klaim tanpa dasar adat dan historis,” ujar Jan Toguh, yang saat ini berada di Jakarta untuk menyerahkan langsung surat kepada sejumlah lembaga negara.
Dalam pernyataannya, DPP PPABS juga menanggapi keberadaan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), yang disebut sebagai lembaga non-pemerintah dan tidak memiliki kewenangan hukum untuk menetapkan wilayah adat secara legal.
Jan Toguh menegaskan, kebijakan apapun yang menyangkut pengakuan tanah adat di wilayah Simalungun harus berlandaskan sejarah peradaban Simalungun dan bersumber dari hak waris kerajaan adat yang telah diakui turun-temurun.
“Klaim tanah adat oleh kelompok yang bukan bagian dari Harajaon Simalungun bukan hanya pelanggaran sejarah, tapi juga pelanggaran hak asasi masyarakat adat Simalungun,” tutupnya. (SNC)