SimadaNews.com – Empat orang petugas forensik penanganan jenazah COVID-19 Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Djasamen Saragih di Kota Pematangsiantar, Sumatera Utara (Sumut) dijerat dengan Pasal 156 huruf a tentang Penodaan Agama. Empat orang petugas forensik itu dijerat dengan pasal penodaan agama karena memandikan jenazah perempuan yang bukan muhrimnya berinisial Z. Namun, pasal yang digunakan untuk menjerat empat petugas itu dinilai keliru.
VOA – Pasal penodaan agama atau biasa disebut penistaan agama kembali menelan korban. Empat orang laki-laki yang merupakan petugas forensik penanganan jenazah COVID-19 RSUD Djasamen Saragih, berinisial RS, ESPS, DAAY, dan REP, dijerat dengan pasal itu.
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati menilai penggunaan pasal penodaan agama terhadap empat orang tersebut dinilai keliru.
Penggunaan Pasal 156 huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) harusnya mengacu pada Pasal 4 UU No 1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan dan Penyalahgunaan atau Penodaan Agama yang berbunyi dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama di Indonesia.
“Tapi kalau di sini kita lihat, petugas forensik tujuannya itu untuk memberikan layanan kepada jenazah bukan dalam konteks untuk menistakan agama,” kata Maidina saat dihubungi VOA, Selasa (23/2).
Menurutnya, penggunaan pasal penodaan agama terhadap empat petugas forensik itu harusnya dikaji ulang oleh penegak hukum seperti polisi. Lantaran, tidak ada maksud dan niat dari para petugas forensik itu untuk menistakan suatu agama.
“Harusnya aparat penegak hukum lebih bijak untuk menentukan kembali meluruskan situasinya, karena memang tidak kondusif dan akhirnya keluarganya juga keberatan. Di satu sisi petugasnya juga tidak bermaksud menistakan dan merugikan keluarga dari jenazah itu. Harusnya peran penegak hukum harus bisa meluruskan. Mungkin ada kekecewaan dari pihak keluarga, tapi mekanisme yang ditempuh banyak caranya,” ungkap Maidina.
Ketua Forensik RSUD Djasamen Saragih, Reinhard Hutahaean mengatakan kejadian itu terjadi karena tidak ada petugas seperti bilal jenazah pada saat memandikan korban COVID-19 berinisial Z tersebut.
Namun, Reinhard menuturkan bahwa pihaknya telah memberikan komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) terhadap suami dari jenazah perempuan tersebut terkait dengan pemulasaraan.
“Artinya hak otonomi dari suami yaitu untuk mencarikan bilal sesuai dengan keinginannya, mempersilakannya guna melakukan fardu kifayah terhadap istrinya. Bahkan juga memberikan pilihan yang sebenarnya buruk kalau sempat itu terjadi, misalnya menunda pemulasaraannya menunggu unsur-unsur pejabat yang bertanggung jawab untuk memutuskan seperti apa,” ujarnya kepada VOA.
Reinhard pun menegaskan bahwa apa yang dilakukan empat orang petugas forensik yang terdiri dari dua perawat dan dua karyawan rumah sakit itu sudah sesuai dengan prosedur dan mendapatkan persetujuan dari suami untuk memandikan jenazah perempuan tersebut.
“Semua sudah dijalani, dan prosedur persetujuan juga sudah dilakukan dengan menandatangani di atas materai. Kalau kemudian teman-teman dipermasalahkan seperti itu ya saya tidak tahu mau bilang apalagi, berharap ada keadilan bagi kami,” ucapnya.
Sementara, Kasat Reskrim Polres Pematangsiantar, AKP Edi Sukamto mengatakan bahwa hasil penyelidikan kasus ini sudah dinyatakan lengkap (P-21).
“Kasus sudah P-21, dan sudah dilimpahkan ke pihak kejaksaan,” kata Edi kepada VOA melalui pesan online.
Kasus ini berawal saat petugas forensik yakni RS, ESPS, DAAY, dan REP, menangani jenazah pasien suspect COVID-19 berjenis kelamin perempuan berinisial Z, pada 20 September 2020. Namun, empat petugas forensik itu dituduh tidak menjalani syariat Islam fardu kifayah saat memulasarakan jenazah perempuan tersebut.
Suami dari jenazah perempuan itu kemudian melaporkan kasus ini dan polisi menjerat empat petugas forensik itu dengan Pasal 156 huruf a tentang Penodaan Agama dengan ancaman hukuman lima tahun penjara. Klausul penodaan agama itu muncul karena fatwa dari pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pematangsiantar.
Namun, tidak dilakukan penahanan terhadap empat petugas forensik itu. Mereka hanya menjadi tahanan kota. Sedangkan proses persidangan dugaan kasus penodaan agama ini pun belum tahu kapan akan dimulai.
“Sidang belum tahu, untuk pelimpahan perkaranya ke pengadilan belum ada,” kata Kasi Intel Kejaksaan Negeri Pematangsiantar, BAS Faomasi Jaya Laia kepada VOA.
Dalam perkembangannya, ribuan warga masyarakat yang tidak setuju dengan penggunaan pasal karet tentang penodaan agama itu menandatangani petisi di situs change.org.
Mereka menuntut agar otorita berwenang menghentikan kasus yang dinilai mengkriminalisasi empat petugas forensik itu .
Sampai berita ini ditulis, sebanyak 8.170 orang telah menandatangani petisi dukungan itu agar empat orang petugas forensik tersebut mendapatkan keadilan. (***)