Bersama Mengatasi Perbedaan
Didi dan Mathilda menyatakan rasa syukurnya karena Sang Merah Putih dapat berkibar di tujuh puncak dunia.
“Keberhasilan ini kami persembahkan untuk persatuan bangsa. Untukmu Indonesia,” kata Mathilda.
Mereka pun bercerita tentang beratnya tantangan di masing-masing gunung.
“Yang paling berat di Denali Alaska. Selain karena dingin, di sana kami harus membawa sendiri beban masing-masing 40 kilogram,” kenang Didi.
General Manager WISSEMU Sebastian Karamoy menyatakan, proyek Seven Summit ini dijalani dengan ‘jatuh bangun’ selama empat tahun, baik dalam mempersiapkan pendaki, tim, maupun juga sumber daya ekonominya.
“Tak banyak yang mau jadi sponsor atau berinvestasi pada kegiatan ini, karena termasuk olahraga berisiko tinggi,” jelasnya.
Dengan kebersamaan, tim pecinta alam Universitas Parahyangan menyatukan tekad mengatasi perbedaan yang ada. Apalagi mereka terpacu karena jumlah pendaki perempuan yang berhasil mencapai tujuh puncak gunung di dunia ini tak sampai 100 orang.
“Kami dalam tim ini berbeda agama, beda umur, beda generasi, tapi punya satu mimpi dan tujuan yang sama,” ungkapnya.
Sebastian mengungkapkan, selama 37 tahun anggota Mahitala-organisasi mahasiswa pencinta alam Universitas Katolik Parahyangan, menempa diri di Situ Lembang Batujajar, Bandung Barat.
Selain mengasah fisik, di markas pelatihan Kopassus itulah mereka berlatih menguatkan ‘esprit de corps’ agar terbentuk rasa kebersamaan yang tinggi.
“Kami Ingin berlatih di sana kembali,” kata Sebastian. (rel/snc)