Oleh | ingot simangunsong
REFORMASI di negeri ini, sudah 23 tahun berjalan (Mei 1998-Mei 2021).
Apa yang dapat dipahami terkait gerakan ini? Tidak lebih tidak kurang, hanya berkutat pada soal puas dan tidak puas. Atau soal kesampaian tidaknya, birahi politik untuk menduduki kursi kekuasaan.
Reformasi itu, bermula dari ketidakpuasan sekolompok elit politik terhadap Presiden RI ke-2 Jenderal (Purn) Soeharto yang memimpin selama 32 tahun.
Sekelompok elit politik dan sejumlah orang pintar yang punya kemampuan membaca laju pertumbuhan perekonomian bangsa, menyebut Soeharto pemimpin tirani. Rezim Soeharto dinilai “memenjarakan” kebebasan menyampaikan pendapat.
Setiap tindakan atau siapa pun yang mengkritisi rezim Soeharto, akan diperhadapkan dengan pisau hukum yang disebut Undang-Undang Subversif, dan sebagainya dan sebagainya.
Sekelompok elit politik dan sekelompok orang pintar di negeri ini, dengan narasi-narasi yang mendiskreditkan kepemimpinan Soeharto, berhasil menggelorakan emosional berbagai kalangan untuk turun ke jalan, dengan agenda menurunkan Soeharto dari singgasana kekuasaannya.
Rasa ketidakpuasan itu—dengan mengerahkan ribuan massa turun ke jalanan—akhirnya menjadi sebuah kekuatan, dan berhasil menggiring Soeharto untuk mengumumkan pengunduran dirinya sebagai pemimpin negara, yakni PRESIDEN.
Setelah era Soeharto berhasil ditekuklututkan, lahirlah era Reformasi.
Bebaskah menyampaikan pendapat?
Bebas memang. Namun kelompok tertentu mengimplementasikan kebebasan menyampaikan pendapat dengan sikap kebablasan. Tidak lagi beradab, tidak lagi bermartabat, tidak lagi beradat-budaya dan tidak lagi beretika.
Reformasi di negeri ini pun, sudah 23 tahun berjalan.
*****
PARA elit politik, sudah dua dasawarsa lebih era reformasi.
Tindakan terpenting dari reformasi adalah: dimulainya kebebasan pers, pemberian izin pendirian partai-partai politik dan serikat-serikat buruh baru, pembebasan tahanan-tahanan politik, pembatasan masa jabatan presiden menjadi dua periode lima tahun, dan desentralisasi kekuasaan ke daerah.
Megawati Soekarnoputri, puteri Presiden pertama Indonesia Soekarno, mendirikan partai baru PDI-P (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) pada tahun 1998 setelah dikeluarkan dari PDI (Partai Demokrasi Indonesia) pada tahun 1996.
Karena warisan ayahnya dan perlawanannya terhadap Orde Baru menjelang akhir pemerintahan Soeharto, ia menikmati popularitas yang tinggi (terutama di Jawa dan Bali). Mirip dengan ayahnya, dia menekankan persatuan nasional dan mengkampanyekan nasionalisme sekuler.
Abdurrahman Wahid—akrab dipanggil Gus Dur—mendirikan PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) pada tahun 1998. Sebelumnya, dia menjabat sebagai ketua organisasi Muslim terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU), tapi kemudian mengarahkan tujuannya untuk menjadi presiden.
Gus Dur mengkampanyekan nasionalisme toleran dan mengandalkan dukungan popular dari masyarakat Muslim tradisional (sebagian besar di Jawa).
Namun dua pendatang baru, keduanya tidak ikut dalam pemilu 1999, sangat menarik perhatian. Yang pertama adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS), partai yang menempatkan penekanan besar pada peran Islam dalam kehidupan publik. Partai ini menerima tujuh persen suara dalam Pemilu 2004.
Yang kedua adalah Partai Demokrat (PD). Partai ini adalah kendaraan politik Susilo Bambang Yudhoyono (sering disebut sebagai SBY), Menteri Koordinator Politik dan Keamanan dalam kabinet Megawati. Yudhoyono berharap untuk menjadi wakil presiden pada tahun 2001 namun kalah dengan Hamzah Haz.
Prabowo Subianto yang kontroversial mendirikan partai politik baru: Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Kemudian, muncul partai baru lainnya, seperti Partai Nasional Demokrat (Nasdem, Surya Paloh), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), PKPI, Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Partai Sosial Indonesia (PSI), Partai Berkarya dan Partai Garuda.
Reformasi pun semakin diramaikan dengan hiruk-pikuk para politisi, yang lebih mempersoalkan hasil kerja kabinet yang dipimpin Presiden terpilih. Ketimbang memberi dukungan terhadap pembangunan berkelanjutan menuju sejahtera untuk mengejar ketertinggalan dari bangsa-bangsa lainnya di ASEAN, Asia dan dunia.
*****
REFORMASI di negeri ini, sudah 23 tahun berjalan.
Dua dasawarsa lebih yang sudah dilalui, tidak cukup hanya masuk dalam perenungan atau bernostalgia bagaimana sebuah pergerakan yang sampai menelan korban jiwa itu, sehingga sampai pada tujuan lengsernya Soeharto.
Para inisiator gerakan reformasi di negeri ini, patut mengintrospeksi diri terhadap apa yang sebenarnya sudah, sedang dan akan mewarnai era Reformasi.
Para inisiator yang akhirnya melahirkan era Reformasi, seyogianyalah tampil sebagai garda terdepan untuk mengimplementasian perubahan demi perubahan untuk menghasilkan pembaruan.
Reformasi itu, seharusnyalah melahirkan pembaruan dalam mengisi pembangunan Negara. Era Reformasi adalah era perubahan untuk pembaruan.
Semua elemen yang terlibat dalam menggelorakan semangat reformasi negeri ini—yang disebut-sebut sebagai “bapak reformasi” maupun aktivis reformasi—memiliki tanggungjawab penuh untuk mengawal dan mewujudkan perubahan untuk pembaruan.
Reformasi tidak memberikan makna yang lebih berarti, jika para penggelora semangat reformasi, tidak menunjukkan peran aktif dan bersentuhan langsung untuk “memberangus” para politisi busuk, penjahat politik, politisi sakit jiwa (depresi), konglomerat hitam dan mafia proyek/anggaran di tubuh Ibu Pertiwi.
Reformasi itu—disadari atau tidak disadari—sebenarnya sangat selaras dengan apa yang disebut Presiden RI ke-7, Joko Widodo sebagai “Revolusi Mental”.
Reformasi itu harus diikuti dengan gerakan “revolusi mental”. Gerakan ini pula yang membedakan era Soeharto dengan era Reformasi.
Jika para politisi busuk, penjahat politik, politisi sakit jiwa (depresi), konglomerat hitam dan mafia proyek/anggaran masih “bermain-main” di tubuh Ibu Pertiwi, maka era Reformasi jauh dari pengharapan adanya perubahan yang signifikan untuk pembaruan.
*****
REFORMASI di negeri ini, sudah 23 tahun berjalan. Siapakah “bapak reformasi” negeri ini?
Sepertinya, “bapak reformasi” ini perlu dicari dan diberi peran lebih besar untuk mengendalikan era reformasi yang diinginkan sebelum melengserkan Soeharto bersama rezim ketiraniannya.
Para penggerak reformasi yang berperan di tahun 1998 itu, harus menunjukkan perannya terhadap pertumbuhan pembangunan Indonesia ke depan. Agar negeri ini, tidak berkutat pada area puas atau tidak puas dengan kepemimpinan Presiden terpilih.
Ketika Soeharto dilengserkan, awalnya adalah dari rasa ketidakpuasan, dan tidak tersalurnya sahwat politik untuk meraih kekuasaan.
Saat BJ Habibie menggantikan Soeharto, kemudian masuk era Gus Dur, era Megawati Soekarnoputri, era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan kini era Joko Widodo, ketidakpuasan demi ketidakpuasan, tetap dijadikan sebagai alat untuk berunjukrasa.
Jika ketidakpuasan demi ketidakpuasaan yang senantiasa dibesar-besarkan, lantas makna era Reformasi itu seperti apa? Apa sih yang dimauin gerakan reformasi 1998? Kapan era Reformasi akan menjadi garda terdepan sebuah perubahan untuk pembaruan pembangunan Indonesia yang maju dan melaju.
Jawabannya ada di saku masing-masing pemimpin partai politik di negeri ini.
Para pemimpin partai politik-lah yang berperan besar dalam mengisi dan mempersiapkan arah pembangunan Indonesia agar lebih maju dan melaju mengejar ketertinggalan dengan bangsa-bangsa lain di dunia ini.
Jadi, era Reformasi sebagai era perubahan, akan menjadi bermanfaat bagi rakyat Indonesia, ya sangat tergantung pada mau tidaknya pemimpin partai politik melakukannya.
Semoga para pemimpin partai politik di negeri ini menyadarinya.
@Penulis, wakil pemimpin redaksi simadanews.com, mentor Gerakan Daulat Desa (GDD) Sumatera Utara, Bidang Humas dan Sosial DPP Dulur Ganjar Pranowo (DGP)