SimadaNews.com-Pemerintah Kabupaten Simalungun meminta PT Toba Pulp Lestari (TPL) dan Komunitas Adat Sihaporas menurunkan tensi pascabentrok yang terjadi pada Senin (22/9/2025).
Dalam rembuk damai yang difasilitasi Pemkab bersama Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda), Rabu (24/9/2025), Wakil Bupati Simalungun Benny Gusman Sinaga menegaskan bahwa rapat ini merupakan langkah awal mencari solusi yang adil.
“Rapat koordinasi ini merupakan upaya pemerintah dalam memfasilitasi keutuhan sosial. Bahwa konflik lahan bukan hanya sebatas hak, tapi juga memiliki sejarah. Kita harus mampu memberikan langkah konkret,” ujar Benny.
Benny menambahkan, Pemkab akan berkoordinasi dengan pemerintah pusat untuk penyelesaian struktural.
Sementara itu, ia meminta PT TPL, masyarakat adat Lamtoras-Sihaporas, serta pemangku adat Simalungun menjaga ketenangan agar situasi tidak kembali memanas.
Kapolres Simalungun, AKBP Marganda Aritonang, mengingatkan pentingnya partisipasi semua pihak.
“Kami minta semua pihak sabar menjalani tahap demi tahap. Semua pendapat harus dihargai. Jangan sampai ada lagi korban akibat konflik susulan,” tegasnya.
Partumpuan Pemangku Adat Budaya Simalungun Tolak Klaim Tanah Ulayat
Di tengah forum, Ketua DPP Partumpuan Pemangku Adat Simalungun (PPABS), Jantoguh Damanik, menyatakan penolakan terhadap klaim tanah ulayat oleh Komunitas Adat Sihaporas-Ambarita.
“Tidak ada istilah tanah adat di Simalungun. Simalungun memiliki kerajaan yang terstruktur sejak masa Nagur hingga Maropat dan Marpitu. Tidak ada sejarah pemberian tanah kepada pendatang,” ucap Jantoguh.
Ia menegaskan, PPAB bersama Partuha Maujana Simalungun/PACS, sudah menyurati kementerian terkait, Komnas HAM, Ombudsman hingga Presiden untuk menekankan pentingnya mendahulukan masyarakat setempat dengan kearifan lokal.
Ketua Bidang Hukum PPABS, Hermanto Hamonangan Sipayung, menegaskan bahwa secara perundang-undangan maupun Peraturan Daerah (Perda), belum ada yang mensahkan atau menyatakan ada istilah Tanah Adat Simalungun. Dan bila nantinya ada aturan dibuat, maka untuk penetapan Tanah Adat, harus sesuai dengan fakta sejarah yang ada yakni wilayah Simalungun merupakan eks wilayah Harajaon Simalungun.
“Soal penegagasan tanah adat, sudah ada seminar dan FGD yang dilakukan bersama Pemkab Simalungun. Hasilnya jelas, bila ada tanah adat harus sesuai dengan hasil seminar dan FGD itu,” tegas Hermanto.
Dia menambahkan, bahwa pihak PPABS sudah pernah mendapatkan surat dari Kementerian LHK, begitu juga dengan masyarakat Sihaporas.
“Dalam surat itu tegas dinyatakan, bahwa belum ada penetapan Masyarakat Hukum Adat (MHA) di wilayah Simalungun. Jadi kita hargai semua keputusan perundang-undangan dan aturan yang ada. Jika ada yang melanggar aturan, maka silahkan prosedur hukum berjalan,” tambah Hermanto.
PT TPL dan Komunitas Sihaporas Sama-Sama Tegaskan Hak
Pihak PT TPL yang diwakili Jandres H. Silalahi menegaskan bahwa sejak 1992 perusahaan telah mengantongi hak kelola hutan produksi dengan persetujuan KLHK.
“Di Simalungun, TPL mengelola 18.874 hektare, dan 9.188 hektare di antaranya sudah ditanami,” jelasnya.
Namun, klaim berbeda disampaikan Mangitua Ambarita, tetua adat dari Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras).
Ia menuturkan leluhur mereka sudah bermukim di Sihaporas sejak 1800-an, jauh sebelum kehadiran PT TPL.
“Leluhur kami, Ompu Mamontang Laut Ambarita sebagai Tuan Sihaporas telah membuat sumpah-janji batas tanah dengan Raja Siantar Damanik. Kami sudah turun-temurun hidup di wilayah Sipolha. Bahkan mata air yang dipakai PT TPL, itu dari kawasan kami,” ungkap Mangitua.
Banjir Argumen, Solusi Belum Tuntas
Rembuk damai yang digelar Pemkab Simalungun berlangsung panas dengan banjir argumentasi antara Komunitas Adat Lamtoras-Sihaporas dan Partuha Maujana Simalungun. Pemerintah daerah menegaskan akan terus memediasi, namun penyelesaian menyeluruh menunggu keputusan pemerintah pusat. (SNC)
