SimadaNews.com-Kebijakan pemerintah melakukan impor jagung melalui Perum Bulog 100 ribu ton di tengah produksi jagung sedang surplus adalah upaya dalam menstabilkan harga dan mengatasi berbagai masalah distribusi pasar serta kebutuhan pakan ternak.
Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian Syukur Iwantoro, saat menggelar konfrensi pers di Geduang A Kementerian Pertanian (Kementan), Jalan RM Harsono, Ragunan Jakarta Selatan, Sabtu (3/11), menerangkan, kondisi terkini sebenarnya produksi jagung nasional di Tahun 2018 mengalami surplus 12,98 juta ton pipilan kering. Bahkan, surplus produksi itu membuat Indonesia mampu mengekspor jagung sebanyak 372.990 ton ke Filipina dan Malaysia.
Syukur mengaku, data surplus berdasarkan selisih antara perkiraan produksi jagung nasional dengan proyeksi kebutuhan jagung nasional sesuai data BPS yang mencapai 30 juta ton pipilan kering.
Syukur yang didampinggi sejumlan Dirjen di lingkungan Kementan, mengungkapkan, kebijakan melakukan impor jagung bertujuan menstabilkan harga jagung yang melewati harga pokok penjualan (HPP) yang dipatok Rp4 ribu per Kilogram.
“Berdasarkan data Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT) harga jagung sudah mencapai Rp5.200 hingga Rp5.300 per Kilogram,” katanya.
Selain itu, lanjut Syukur, impor maksimal 100 ribu ton itu merupakan salah satu upaya menutupi kebutuhan para petani ternak mandiri.
“Jadi impor itu hanya bagi yang membutuhkan. Dalam hal ini yaknu para peternak mandiri,” sebut Syukur.
Lebih jauh Syukur menjelaskan masala distibusi, dimana terdapat perbedaaan biaya transportasi tujuan penjualan pasar domestik dan tujuan ekspor. Sebagai contoh, biaya tranportasi Tanjung Priok, Jakarta ke Tanjung Pandan, Belitung lebih mahal dibandingkan biaya transportasi Tanjung Priok ke Pelabuhan Port Klang Malaysia.
Untuk transportasi dari Tanjung Priok ke Pelabuhan Tanjung Pandan, tiket untuk mobil angkut dengan kapasitas 14 ton sebesar Rp33 juta. Biaya itu, belum termasuk biaya solar mobil dan biaya lainnya.
Sementara Tanjung Priok ke Pelabuhan Port Klang Malaysia dengan kapasitas 24-27 ton hanya membutuhkan biaya USD 1.750 atau sekitar RP 2,6 juta. Biaya tersebut tersebut sudah termasuk dengan pengurusan semua dokumen.
Dia menceritakan, harga jagung yang dinilai meningkat akhir-akhir ini bukan karena kekurangan stok. Karena dari harga di tingkat petani tersebut, ditambahkan dengan biaya processing dan penyusutan bobot akibat pengeringan sebesar 15 persen, maka harga jagung di pengguna akhir tidak lebih dari Rp4.250 per Kilpogram.
“Ini menunjukkan disparitas harga di petani dan di industri yang menjadi indikasi diperlukannya pembenahan rantai pasok jagung,” sebut Syukur.
Syukur menambahkan, persoalan jagung bukan hanya masalah produksi, tapi persoalan konektivitas sentra produksi yang hanya berpusat di beberapa daerah saja. Sehingga, dalam mengatasi masalah itu, Kementan berinisiatif menyediakan 1.000 alat pengering (dryer) untuk pengolahan pasca panen, agar jagung bisa disimpan dan ditransportasikan dengan baik sehingga bisa meminimalisir terjadinya disparitas harga.
Syukur menegaskan, Kementan akan senantiasa membantu industri pakan atau pengguna lainnya yang kesulitan mencari jagung. Pengguna yang kesulitan mendapatkan jagung dapat langsung berkomunikasi dengan Direktorat Serealia Kementan. Dalam jangka panjang, Kementan menyatakan siap mendampingi terbentuknya kemitraan Business to Business (B to B) antara industri pakan dengan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) sehingga industri mendapat jagung sesuai spesifikasi yang diinginkan dan pasokan jagungnya terjamin. (manto/snc)