AKU terhenyak di atas bangku jelek sedikit bau dan banyak cicak di dalam ferry penyeberangan.
Langit masih sangat biru sebiru air laut yang perlahan tersibak oleh gerakan badan ferry yang mulai melaju. Menciptakan riak dan gelombang berbuih putih di balik jendela bulat di samping kananku.
Aku terkesiap, menyadari gerakan ferry yang semakin kencang, dan aku sendiri tanpa sanak family maupun teman seperti saat berangkat menuju pulau beberapa waktu lalu. Bagaimana kalau mesin ferry tiba-tiba mati dan kami tenggelam. Aku tidak bisa berenang sama sekali. Pasti aku akan hanyut dibawa arus dan tubuhku ditemukan telah mengambang kaku di laut.
Laut selalu menakutkan. Birunya hampir selalu membuatku mual. Membuatku kebelet pipis akut. Sebentar tadi sebelum menemukan bangku sesuai nomor tiket, sempat kulirik kamar mandi dengan tulisan TOILET di atas pintunya dengan spidol hitam.
Ruangan sempit dengan kondisi pintu yang berlubang di dekat pegangan pintunya. Yang kuartikan sengaja dibolongin untuk tempat mengintip.
Dan sekarang aku sudah sangat kebelet. Keringat mulai mengucur di keningku. Tak mungkin kutahan lebih lama lagi. Aku harus ke toilet sekarang, jika tidak ingin mengompol. Kulihat mata-mata nanar berbaris di depan lorong menuju kamar mandi. Aku merengut, memasang tampang kesal agar berkesan sangar. Dengan sedikit tarikan keras kututup pintu toilet. Dan benar saja, sebiji mata tetiba telah menempel di balik lubang dekat pegangan pintu.
“Heh!” aku menghardik. Mata itu lenyap. Kusumpal lubang itu secepatnya, dan segera memuaskan hasrat dengan sedikit terburu. Taka pa, yang penting tersalurkan. Sambil menutup hidung karena kotoran yang tidak sempurna disiram akibat persediaan air yang tidak memadai ( keran air tumpat ) dan air di bak penampung keruh serta kotor, aku segera menyelesaikan urusan di toilet bau tersebut.
Hmm…lega rasanya.Kulihat mata-mata nanar tadi telah beranjak sedikit menjauhi pintu toilet yang kubuka lagi-lagi dengan sedikit paksa. Mungkin kebauan dengan sumpal kaos kaki bauku di lubang pintu. Rasain. Siapa suruh mengintip.
Begini lah jadinya akibat membeli tiket murah untuk ferry penyeberangan. Tapi masih lebih baik dari pada aku frustasi ‘terdampar’ di pulau seberang tempat harapan dan cita-cita masa depan gemilang terkubur sia-sia.
Meski diganjar uang jutaan rupiah sekalipun aku tak akan sudi kembali ke pulau itu lagi. Tak akan. Kuharap laut segera mengasinkan masaku di pulau itu hingga garam memutihkan segalanya. Aku tak ingin kembali.
Ketika itu prosesi acara wisuda kuabaikan karena tanggal keberangkatan yang berbarengan dengan hari itu. Setelah menyelesaikan semua administrasi yang harus kuselesaikan meskipun tidak mengikuti acara wisuda sarjana, aku melangkah pasti di bandara international. Bergabung dengan rekan-rekan yang lulus testing penyaringan menjadi karyawan di perusahaan yang lumayan bonafit di pulau seberang.
Pulau yang indah tempat begitu banyak manusia tua-muda menggantungkan harapan akan masa depan mereka. Termasuk aku dan rekan-rekan yang berhasil lolos. Iming-iming gaji dan segala fasilitas lengkap sangat menggiurkan kami. Dan aku mantab meninggalkan kota asal dan orangtua demi itu semua.
Perusahaan memang menepati semua janji yang tertera di surat kontrak perjanjian kerja. Kami ditempatkan di dormitory yang lumayan nyaman di lantai dua sedikit jauh dari komplek gedung perusahaan. Sehingga untuk pergi dan pulang kerja kami diberi fasilitas layanan antar jemput dengan mobil karyawan. Begitu hari baru berawal aku dan rekan-rekan langsung sibuk oleh aktifitas yang padat.
Satu dua hari di dormitory aku mulai menemukan teman akrab. Begitu pun di perusahaan. Rekan satu shift menjadi semakin akrab satu sama lain. Kehidupan perlahan mulai semakin cepat hingga hari demi hari berlalu dengan aktifitas padat. Hanya pada saat off beberapa pekerja menyempatkan keluar. Begitu juga dengan rekan-rekan satu dormitory denganku, tanpa kutau kemana dan apa saja yang mereka kerjakan di luar jam kerja. Karena waktu offku belum tiba.
Akhirnya waktu offku datang juga. Aku bersiap untuk ke luar, mungkin ke pasar yang katanya serba ada atau ke supermarket, atau ke kantor pos. Beberapa kartu pos mungkin cocok kukirim buat keluarga di rumah.
“Kita jadi ke luar kan, Nin?” tanyaku pada rekan di sebelah ranjangku yang juga sedang off.
“Tentu,” jawabnya singkat.
“Kemana kita pergi?” tanyaku lagi.
“Liat nanti aja.”
“Baik lah. Ayo kita berangkat,” ucapku sambil membuka pintu dan melangkah ke luar, menuruni tangga dan hap! Kami sudah di luar, menunggu taksi. Tak lama taksi datang. Argo mulai menyala dan jalan. Nina menyuruh supir berhenti di dekat pasar serba ada tak jauh dari gerbang Utara komplek industri paling terkenal di pulau ini.
Nina yang sudah pernah off tampaknya tau kemana harus melangkah. Aku menurut di belakangnya. Gadis itu masuk dan keluar pasar dengan santai. Tanpa menoleh ke sana ke mari mencari-cari sayur dan bumbu seperti yang kulakukan sehingga sering tertinggal jauh di belakangnya.
Setelah mengeposkan beberapa kartu pos kami memutuskan untuk kembali ke kamar. Nina melambai pada sebuah taksi yang berjalan perlahan di ujung jalan. Aku hampir menutup pintu taksi ketika mataku menangkap sebuah adegan yang tak biasa kulihat di tempat asal di seberang jalan di depan taksi kami yang berhenti.
Mungkin aku salah mengenal orang, mungkin aku sudah demikian kelelahan berkeliling seharian. Seorang gadis persis seumuran denagn kami sedang bersama lelaki yang jelas lebih dewasa dari kami. Berpelukan dan…oh mereka berciuman!
Astagfirulloh. Nina menarik tanganku ke dalam taksi.
“Cepat. Taksi sudah mau berangkat. Argonya sudah hidup.”
Geragap aku membanting pintu dengan tatap masih ke arah mereka di balik kaca taksi yang mulai bergerak. Nina diam. Tapi aku tau ia pura-pura diam sementara tangannya sibuk mengaduk belanjaan di samping duduknya. Kepalaku berdentang ketika tiba-tiba mendapat sebuah nama.
“Desi. Itu tadi kan Desi!” teriakku parau ditengah semerbak pewangi dan argo taksi yang melaju.
Seorang teman telah salah arah. Bergaul terlalu bebas yang sedianya dijauhi semua anak rantau. Kupikir jika seorang penghuni telah segitunya dalam bergaul dengan lawan jenis, bukan tidak mungkin yang lain juga akan seperti itu. Hal semacam itu kan sangat mudah menjangkit dan menular kalangan perantau yang notabene jauh dari pengawasan orangtua dan kerabat hingga merasa lebih bebas.
Ah…semoga tidak seperti itu. Semoga kekhawatiranku tidak sepenuhnya benar. Mungkin anggapanku keliru. Mungkin sebaiknya aku fokus pada pekerjaan saja. Dan melupakan soal kejadian di dekat pasar kemarin.
Aku bergegas hendak ke kamar mandi, buat persiapan mau berangkat kerja. Namun aku melihat Nina membungkuk di tepi bak air.
“Nina…kenapa?” tanyaku ketika kulihat ia berbalik sambil membungkuk. Dari mulutnya keluar suara seperti orang menahan muntah. Aku mendekat dan membantunya dengan mengkusuk bagian tengkuknya.
“Kamu kenapa, Nin?”
Ia tak menjawab, keringat dingin membuncah di kening dan hidungnya. Tubuhnya gemetar. Ia semakin membungkuk sambil memegang perut.
“Nina kamu sakit. Kita ke klinik yuk,” ajakku melihat suara muntahnya semakin hebat meski tak ada apapun yang dimuntahkannya. Nina menggeleng.
“Ayo lah. Kan gak perlu bayar. Ditanggung kantornya,” lanjutku lagi sedikit memaksa dengan menarik sikut Nina.
“Gadis, tolong aku ke tempat tidur. Aku mau tidur saja.”
“Tapi kamu sakit ni.”
Sia-sia aku memaksa. Ia semakin kuat menggeleng dan memaksa melangkah ke luar kamar mandi. Susah payah aku memapah dan membaringkannya di tempat tidur di sebelah tempatku.
Nina terlelap tak lama setelah menumpahkan kisahnya padaku dengan terbata. Belum genab setahun di pulau…
“Kamu sudah test?” tanyaku berharap gadis di hadapanku salah.
“Belum. Tapi…sepertinya…”
“Jangan menduga-duga, tak baik mengambil kesimpulan dari menduga yang belum pasti. Sebaiknya kita periksa ke klinik,” paksaku menutupi rasa khawatir yang bertalu-talu. Apaka temanku hamil di luar nikah?
“Gadis, jangan bilang siapa-sipa ya?”
Ada ketakutan yang samar di wajahnya. Pertanyaan Nina bergema di kepalaku.
Nina, Desi dan penghuni dormitory yang berasal dari tempat asal yang sama, semakin abai dengan kenyataan yang tadinya sekedar berita ‘burung’. Aku dan satu dua gadis yang tersisa seakan semakin tersingkir dengan keadaan kami yang tidak seperti mereka. Tidak bergaul ke sana kemari dan memiliki teman dari seberang dormitory bahkan dari perusahaan berbeda di luar kawasan industry ini.
Mungkin memang aku tidak pintar bergaul. Begitu juga dengan gadis-gadis yang tersisa. Buktinya kami lebih sering di rumah saat off. Tidak seperti Nina, Desi dan gadis sepergaulan mereka yang santai setelah periksa testpack dan terbukti hamil. Entah kemana mereka menghilangkan isi perut mereka hingga tak kelihatan membesar setelah sekian bulan. Entah.
Aku sudah tak ingin tau lagi, terlalu bosan menyaksikan kecuekan mereka terhadap aturan dan tata karma yang ditanamkan orangtua.
Aku bekerja semakin tekun, bukan karena panggilan hati tapi sekedar melaksanakan kewajiban. Untuk melupakan pergaulan bebas teman-teman yang semakin hari semakin membuatku tak nyaman.
“Sebentar ya aku mau ke HRD”, ucapku pada QC yang bertugas bersamaku hari itu di space. Dari pagi tadi barang menumpuk di departemen kami untuk di periksa sebelum kami beri stempel QC passed dan disimpan di gudang menunggu dikirim.
Aku sudah sangat tidak betah di dormitory dengan teman-teman yang bergaul bak orang Barat. Aku harus melapor ke HRD supaya dipindahkan.
“Masuk.”
Kudengar suara Pak Alex dari dalam. Sukur lah, aku bisa bebas berkeluh kesah. Segera kudorong pintu kayu itu perlahan dan menutupnya kembali setelah berada di dalam. Tampaknya beliau sedang sendiri, duduk di balik mejanya di ujung sana dekat dinding kaca yang menghadap ke luar.
“Silahkan duduk. Ada yang bisa saya bantu?” sapanya dengan keramahan sama yang ditunjukkannya beberapa bulan lalu ketika merekrut kami.
Aku segera duduk di kursi di hadapannya. Dan mulai bercerita. Pak Alex melepas kaca mata dan pandangan dari laptop di hadapan. Ia mendengarku dengan seksama. Melihat sikapnya, aku seakan berbicara pada kawan yang sudah kenal lama. Tanpa sungkan dan rasa takut sama sekali. Ia mengangguk sesekali sambil menimpali ucapanku dengan, “Hmmm…hmmm…”
Hingga tanpa kusadari awalnya, ia telah menggenggam jemariku yang tadi bebas bergerak ke sana kemari mengikuti irama bicaraku. Lalu entah bagaimana aku sudah terdorong ke sudut ruangan yang agak terlindung di balik lemari.
“Astagfirulloh…” adrenalinku bergerak cepat. Menendang dan merontakan kaki dan tanganku ke sana ke mari. Menghalangi gerakan kasar lelaki di hadapanku. Sekertika ia berubah monster. Hilang segala keramahan yang ia tunjukkan dari awal kenal dahulu.
Aku menendang tak tentu arah. Tangan pria itu terlepas sebentar dari tubuhku karena tendanganku di perutnya. Membuat celah untukku melepaskan diri darinya. Kutarik pintu dan membantingnya sekuat yang aku bisa agar orang mendengar apa yang barusan terjadi.
Setelah semua orang di perusahaan tak pernah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di balik pemecatanku yang tiba-tiba dan tanpa sebiji rekomendasipun, rasanya pantas jika aku berang menuntut keadilan. Tak perduli betapa lelaki itu telah mengancam akan membunuhku bila buka mulut. Langkahku tetiba terhenti di depan pintu ruangan HRD. Saat ini aku ingin pulang.
Biar saja orang bilang aku gagal di rantau. Langsung menyerah oleh cobaan yang segitu rupa. Aku merasa tempatku bukan di sini. Tidak bersama gadis-gadis seperti Nina dan Desi yang sedang bersama Pak Alex! (*)