RAHASIA Bapak sebenarnya sederhana. Bukan suatu hal yang mesti disembunyikan juga tak perlu dibesar-besarkan. Setidaknya begitu menurut Kakakku Tia.
Bapak seorang mantan militer. Pernah terbang ke Kongo dalam kontingen Garuda II untuk misi perdamaian PBB. Tapi Bapak bukan pensiunan militer. Ia diberhentikan dengan tidak hormat bersama komandan regu plus teman satu regunya. Menjadi sekelompok regu tertuduh-lebih tepatnya difitnah-terlibat G 30S/PKI.
“Kejadiannya sudah lama sekali, Mak… kenapa mesti dibesar-besarkan sih?” Tia meradang. Ia yang baru lulus sekolah menengah atas sedikit emosional melihat namanya tidak tertera di lembar pengumuman seleksi penerimaan mahasiswa baru program ikatan dinas perusahaan BUMN.
Mamak yang baru pulang bekerja tak mampu berbuat apa menghadapi pertanyaan putrinya. Dari awal perempuan paruh baya tersebut sudah pesimis, Kak Tia lulus seleksi. Seorang kerabat yang juga bekerja di perusahaan tersebut pernah mengingatkan, kalau salah satu syarat diterima di program perusahaan adalah bersih dan tidak terlibat salah satu partai terlarang dari garis keturunan keluarga manapun.
“Gak kan menang itu anakmu, kalok orangtuanya pernah terlibat.”
Sudah tahun 90, tapi kejadian kelam itu masih jua belum mau sirna dari keluarga kami. Mungkin sampai ke anak cucu, tujuh turunan berikutnya. Aku dan kedua adikku hanya mampu terdiam melihat Kak Tia mulai menangis.
“Waktu seleksi tahap awal aku peringkat ke-3. Masak sekarang aku gak lolos, Cuma gara-gara bapak pernah tertuduh terlibat? Yang benar saja! Hu…hu…hu…”
Tia melemparkan pantatnya ke bale kayu di teras samping rumah.
“Mak…?” tetesan bening mengalir dari kedua kelopak matanya seiring tubuhnya yang mendarat di atas bale.
Mamak meraih kepala Kak Tia ke dalam pelukannya. Mengusapnya sambil berkata lembut,
“Sabar ya, nak…”
“Kenapa harus aku, mak…” ratapnya sebelum tubuhnya terguncang oleh isak.
Mamak menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan tangis agar tidak menambah pilu buah hatinya. Kalah dalam sebuah selesksi karena sebuah kesalahan atau ada yang lebih pantas merupakan suatu hal yang wajar, tapi ‘dikalahkan’ merupakan sesuatu yang berbeda. Meninggalkan deret panjang luka, apalagi oleh sesuatu yang fitnah belaka. Kasihan Kakak ku…
RAHASIA Bapak lainnya yang sebenarnya tak begitu perlu dirahasiakan adalah bahwa ia juga seorang guru. Sebelum menjadi militer Bapak pernah sekolah SGB semacam sekolah khusus untuk calon guru kala itu. Setingkat SLTP dan ikatan dinas.
Setelah tamat dari sekolah tersebut Bapak ditempatkan mengajar di pelosok. Di sebuah Sekolah Dasar negri yang menampung beberapa siswa dengan fasilitas guru penempatan hanya dua orang untuk satu sekolah, sehingga harus merangkap mengajar dua kelas atau lebih sekaligus.
Aku sering bertanya semua itu terjadi pada tahun berapa dan kenapa mesti seperti itu. Tapi seperti rahasia-rahasia lainnya Bapak tak pernah mencatat tempat dan tanggal setiap peristiwa dalam hidupnya dengan detail, hanya mereka-reka saja. Mengkaitkan suatu peristiwa dengan kondisi Negara waktu itu.
“Kalau gak salah waktu itu NICA datang lagi ke Indonesia.”
“Iya, tanggal-tahun-berapa, Pak?”
“Lupa.”
Aku senang mendengarkan Bapak bercerita, meskipun waktu kejadian kurang akurat. Aku penggemar sekaligus pemerhati kisah Bapak.
“Kenapa Bapak berhenti dari guru?” tanyaku kemudian. Bapak mengatur duduknya. Menerawang ke luar jendela sejenak sambil berusaha mengingat-ngingat,
“Setahun mengajar di pelosok, jauh di kaki bukit, mau mandi saja susah. Kelas-kelas hanya dibatasi dengan tepas dan rumbia. Murid-murid tanpa alas kaki dan baju seragam.
Buku-buku lusuh dan kotor. Tak ada lampu apalagi perpustakaan. Aku dan temanku, mengabdi dengan sungguh-sungguh meski tanpa gaji.”
Bapak memilih pergi ke luar kota. Mencoba mencari peruntungan di Jakarta. Seorang temannya memilih tinggal mengajar. Kini ia telah pensiun dari kepala sekolah.
“Coba Bapak dulu bersabar, pasti sudah jadi kepala sekolah juga,” sahutku sambil mengingat teman Bapak yang tempo hari pernah datang berkunjung ke rumah beserta anak-anaknya. Bapak tidak menjawab perkataanku dan melanjutkan ceritanya.
Dari Jakarta Bapak menumpang kapal ke Medan. Berbekal alamat yang diberikan seorang kenalan baik hati selama di perjalanan Bapak beserta kawannya sekampung sampai pada sebuah rumah sederhana di sudut kota. Dari sini lah awal masuknya Bapak menjadi militer. Orang yang ditumpangi Bapak ternyata seorang militer juga.
Ketika itu untuk menjadi seorang militer tidak sesulit sekarang. Bapak ditawari masuk tahun itu juga, meski sebenarnya tubuh Bapak masih sedikit kurang cukup tinggi.
Namun karena latar belakang pendidikan yang dimiliki Bapak lumayan untuk saat itu, ia diikutsertakan dalam test penerimaan sekarang disebut catam. Ia lulus dan langsung ditempatkan di luar kota Medan.
Aku merekam semua cerita Bapak dalam otak, khawatir jika menuliskannya hanya akan membuat Bapak enggan untuk membuka kisah masa lalunya. Aku hanya mendengarkan dengan seksama dan sedikit cemas dengan kelanjutannya apabila sampai saatnya Bapak harus berhenti bercerita untuk melakukan hal-hal lain dan ia lupa untuk melanjutkan ceritanya.
Bapak seperti buku terbuka yang memiliki segudang cerita dan sejarah negri sebelum dan di awal kemerdekaan.
“Bapak pernah tertuduh, jangan pernah bilang sama siapapun kalau Bapakmu ini pernah tentara,” peringat Bapak setiap kali kami berpindah rumah demi menghindari pertanyaan orang yang ingin tau berlebihan dengan asal usul kami.
Adalah Mamak seorang pegawai yang setia mengikuti Bapak kemanapun beruntung tak lantas dipecat dari tempatnya bekerja. Membuat dapur tetap bisa mengepul meskipun dikucilkan di manapun lingkungan pergaulan.
AKHIRNYA Kak Tia diterima di Universitas Negeri di Medan, bagian keguruan. Aku senang karena itu berarti ia tidak jadi pengangguran. Dan tidak sedih lagi karena kalah seleksi tempo hari.
Ia belajar dengan sungguh-sungguh. Berbagai beasiswa berhasil diraihnya sebagai wujud kerja kerasnya dalam mengejar prestasi.
Hal-hal yang dikhawatirkannya tidak pernah terjadi, tapi tetap saja Bapak dan Mamak melarangnya terbuka pada siapa saja tentang Bapak yang mantan militer dan guru. Seolah sebuah aib memalukan yang tabu untuk dibuka. Entah la.
Sampai suatu ketika di tahun terakhir Kakak di perguruan tinggi dan aku kelas enam SD, ia harus pulang sesegera mungkin. Bapak masuk rumah sakit karena sakit jantung.
“Sejak kapan Bapak punya penyakit jantung, Mak?” serbunya sesampainya di depan ruang ICU Rumah Sakit Tentara. Rahasia Bapak yang lain kah? Bapak tak pernah sedikitpun menunjukkan tanda-tanda mengidap kelainan jantung, atau beliau terlalu apik menyimpan penyakit itu dari anak-anaknya?
“Sebenarnya Bapak tak pernah benar-benar mendamaikan konflik perang di Kongo waktu itu. Ketika terjun payung pertama dini hari di sana, Bapak langsung pingsan dan dilarikan ke rumah sakit PBB di sana.
Setelah diperiksa secara intensif, diagnosa menunjukkan kalau jantung Bapak bermasalah akibat perbedaan tekanan dan suhu udara ekstrim di sana. Bapak dirawat hampir selama dua bulan. Setelah dianggap cukup sehat, Bapak dipulangkan ke Indonesia dan ditempatkan di bagian administrasi militer.
“Tidak boleh melakukan latihan berat dan kegiatan yang menguras fisik,” tutur Bapak setelah keluar dari ruang ICU dan dipindahkan ke ruang rawat inap.
Latar belakang di bidang akademik sebagai guru membuat Bapak tidak mengalami kesulitan dalam beradaptasi dari pasukan lapangan menjadi pegawai kantoran yang lebih banyak berhubungan dengan kertas dan alat tulis.
Sebuah rahasia lain yang mengejutkanku. Setiap prajurit akan merasa bangga dengan perannya membela ‘kebenaran’. Bukan sebagai tukang tulis atau tukang catat yang hanya duduk di dalam ruangan.
Cara Bapak menyimpan rahasia penyakitnya selama ini yang sudah diidapnya sejak di Kongo dulu, serta mata yang menerawang sendu ke luar jendela kamar tempatnya dirawat menunjukkan perasaan kecewanya terhadap takdir.
Aku tergugu, menyimpan semua rahasia Bapak mungkin tak masalah, tapi kenyataan bahwa Bapak tak pernah mengangkat senjata sebagai pasukan PBB yang bertugas di daerah konflik menimbulkan perasaan berbeda. Apa hebatnya?
Aku tak perduli lagi seberapa banyak rahasia yang belum diceritakan Bapak padaku. Aku kecewa. Bapakku tak pernah benar-benar mendamaikan pertikaian di daerah konflik di Kongo. Dan menyimpan rasa kecewa itu untukku sendiri. Aku tak mau Kak Tia dan saudaraku yang lain merasakan hal sama denganku.
“Bapak kemudian menjadi tukang bangunan. Banyak bangunan megah dan mewah yang berhasil Bapak bangun di kota ini. Dari hasil menukang itu lah, kami menguliahkan Kakakmu hingga sarjana,” ujar Bapak menyambung ceritanya, rahasia Bapak yang lain.
Aku mendengarkan setengah hati. Tak lagi antusias seperti sebelumnya. Semuanya tak lagi sama setelah aku mengetahui sebuah kenyataan yang kurasa paling rahasia di antara rahasia-rahasia yang dimiliki Bapak. (*)
ManikHataran, 4 Januari 2018