ISU gender kini bukan lagi menjadi diskursus eksklusif di ruang akademik atau aktivis tertentu.
Ia telah menjadi perhatian global karena menyangkut keadilan, kesetaraan hak, serta peran manusia dalam membangun peradaban.
Di tengah masyarakat yang masih patriarkis, suara perempuan kerap terpinggirkan. Bukan karena mereka tidak mampu, tetapi karena sistem belum sepenuhnya berpihak.
Di sinilah pentingnya kehadiran organisasi perempuan seperti Korps HMI-Wati (KOHATI). Sebagai organisasi semi-otonom di bawah naungan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), KOHATI bergerak di bidang keperempuanan dengan membawa misi utama: “Terbinanya Muslimah Berkualitas Insan Cita.”
Kualitas yang dimaksud mencakup insan akademis, pencipta, pengabdi, dan insan yang bertanggung jawab.
KOHATI dan Keadilan Gender
Proses kaderisasi yang dijalankan KOHATI tidak hanya menitikberatkan pada keilmuan agama, tetapi juga pada pengembangan kepemimpinan, advokasi, serta kepedulian sosial.
Melalui penanaman nilai-nilai Islam, KOHATI membentuk kader yang melek terhadap isu sosial, termasuk ketimpangan gender yang menjadi penghalang tercapainya cita-cita masyarakat adil dan makmur.
Perlu dipahami, kesetaraan gender bukan berarti menyamakan laki-laki dan perempuan dalam segala hal, melainkan memastikan setiap individu mendapat hak, peluang, dan perlakuan yang adil tanpa diskriminasi.
Dalam konteks ini, KOHATI memiliki peran strategis sebagai pelopor perubahan cara pandang—baik di internal organisasi maupun di masyarakat luas.
Kader Perempuan: Mandiri, Kritis, dan Visioner
Peran ini tentu tidak bisa dijalankan hanya dengan memahami konsep kesetaraan secara teoritis. KOHATI harus mendorong para HMI-wati untuk membekali diri dengan penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, dan keterampilan lainnya.
Ini adalah modal penting agar perempuan mampu bersaing, memimpin, dan menghadapi berbagai persoalan sosial secara solutif.
Kader HMI-wati harus tampil sebagai pribadi yang seimbang antara kecerdasan intelektual dan ketegasan sikap—mandiri, kritis terhadap kondisi sosial, serta berani mengambil keputusan, khususnya terkait isu hak dan keadilan gender.
Setiap langkahnya harus berpijak pada nilai Islam yang membebaskan, ilmu pengetahuan yang rasional, dan nilai-nilai kemanusiaan yang universal.
Dari Kaderisasi ke Ruang Perjuangan
Dengan kapasitas tersebut, KOHATI bukan hanya simbol keperempuanan dalam organisasi, tetapi kekuatan aktif yang mendorong perubahan—baik di internal HMI maupun masyarakat luas.
Komitmen terhadap kesetaraan gender tidak boleh berhenti pada tataran wacana, tetapi harus diwujudkan dalam ruang nyata melalui proses kaderisasi yang inklusif, kritis, dan progresif.
KOHATI adalah lebih dari sekadar ruang berkumpulnya perempuan HMI. Ia adalah “sekolah kehidupan”—tempat para kader perempuan belajar mengenali jati diri, memahami masyarakat, serta menyelami isu-isu kontemporer, khususnya yang menyangkut perempuan dan keadilan sosial.
Membangun Kesadaran, Meruntuhkan Stigma
Dalam isu gender, KOHATI memiliki tanggung jawab besar untuk mendorong kader memahami hak-hak dasar perempuan serta membongkar mitos dan stigma yang membatasi ruang gerak perempuan.
KOHATI harus aktif menyuarakan dan memperjuangkan hak-hak tersebut melalui diskusi, forum, pelatihan, aksi sosial, hingga kerja sama lintas organisasi dan lembaga.
Namun perjuangan ini tidak bisa berjalan sendiri. KOHATI harus menggandeng kader HMI-Wan sebagai bagian dari gerakan kolektif. Melalui pendidikan gender dan dialog terbuka, kita membangun kesadaran bahwa isu gender bukan pertarungan antara perempuan dan laki-laki, melainkan perjuangan bersama demi keadilan.
Laki-laki harus diajak menjadi bagian dari solusi, bukan sekadar penonton.
Suara Perempuan Adalah Suara Perubahan
Dengan terus berjuang mewujudkan kesetaraan gender, KOHATI turut menciptakan masyarakat yang adil dan makmur, sebagaimana visi besar HMI. Suara perempuan adalah suara perubahan—dan dalam tubuh KOHATI, suara itu tidak boleh diredam.
Ia harus lantang, konsisten, dan berpihak pada keadilan.
KOHATI tidak cukup hanya menjadi ruang kaderisasi. Ia harus menjadi ruang perjuangan. Karena ketika perempuan bergerak, perubahan bukan lagi sekadar mimpi, melainkan kenyataan.
Kini saatnya kita bertanya pada diri sendiri: mau diam atau ikut bersuara? (*)
Penulis: Khairunisa, Kabid Eksternal KOHATI SAINTEK UINSU 2024–2025