LABUHAN Batu adalah sebuah kabupaten yang kini nyaris kehilangan identitas kulturalnya. Sejak berdiri pada tahun 1945, daerah ini perlahan-lahan mengalami pengikisan jati diri, terutama karena minimnya penggalian dan pelestarian adat serta budaya lokal.
Kabupaten yang dulu dikenal sebagai “Bertuah Malaka” kini hanya menyisakan serpihan-serpihan sejarah yang tak utuh, tanpa sejarawan yang mencatat, dan tanpa generasi yang diwarisi nilai-nilai budaya secara turun-temurun.
Warisan Leluhur yang Masih Mengalir: Sungai Bilah
Dari sekian banyak peninggalan leluhur, hanya satu yang masih eksis dan tak mampu dilenyapkan oleh waktu maupun manusia: Sungai Bilah.
Sungai ini tetap mengalir dengan tenang dari pegunungan Bukit Barisan, menyusuri enam kecamatan di Labuhan Batu—Bilah Barat, Rantau Utara, Rantau Selatan, Pangkatan, Bilah Hilir, dan Panai Hulu—sebelum akhirnya bermuara ke Sungai Barumun dan melanjutkan perjalanan hingga ke Selat Malaka.
Sungai dengan kedalaman 2 hingga 8 meter ini menjadi saksi bisu sejarah panjang peradaban Melayu di Labuhan Batu.
Terdapat empat jembatan yang melintas di atasnya, termasuk di Kota Rantau Prapat, jalan lintas timur Sumatera (By Pass), dan jalur penghubung ke Negeri Lama di Kecamatan Kualuh Hilir.
Sungai yang Melahirkan Peradaban: Kesultanan Bilah
Sungai Bilah awalnya disebut Sungai Bila, merujuk pada pohon nibung (disebut “bilah nibung” atau “bilah rotan”) yang tumbuh subur di tepinya.
Sungai ini tak hanya menjadi jalur transportasi dan sumber penghidupan bagi masyarakat, tetapi juga gerbang masuk peradaban dan perdagangan.
Sekitar tahun 1630, Sultan Tahir Indra Alam—putra dari Sultan Mahmud Perkasa Alam, penguasa Kesultanan Kualuh—mengukir sejarah besar di tepian Sungai Bilah. Dari sinilah lahir Kesultanan Bilah, yang berlokasi di Negeri Lama, Kecamatan Bilah Hilir.
Kesultanan ini adalah bagian dari garis keturunan Kesultanan Pinang Awan dan Kerajaan Kota Pinang, yang merupakan turunan dari Kerajaan Pagaruyung di Sumatera Barat. Jejak genealogis ini memperlihatkan betapa dalamnya akar budaya Melayu di kawasan ini.
Kerajaan Panai dan Bukti Peradaban Kuno
Selain Kesultanan Bilah, kawasan Labuhan Batu juga dipercaya sebagai tempat berdirinya Kerajaan Panai, sebuah kerajaan bercorak Buddha yang berdiri antara abad ke-11 hingga ke-14 di lembah Sungai Panai dan Sungai Barumun. Raja-raja Panai bergelar Sri atau Maharaja, berbeda dari sistem kesultanan.
Keberadaan Kerajaan Panai diperkuat oleh artefak sejarah seperti Candi Bahal di kawasan Padanglawas dan Prasasti Tanjore dari Kerajaan Chola (India Selatan), yang menyebut nama Kerajaan Panai sebagai target penaklukan dalam ekspedisi Chola terhadap Sriwijaya.
Semua ini menunjukkan bahwa sungai-sungai di Sumatera adalah urat nadi peradaban besar masa lampau.
Sungai Bilah di Era Modern: Antara Ikon Pembangunan dan Ancaman Eksploitasi
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, banyak kerajaan dan kesultanan di Nusantara yang mengalami pembubaran akibat gerakan Revolusi Sosial.
Kesultanan Bilah adalah salah satu yang menjadi korban, bersamaan dengan Kesultanan Kualuh, Na IX-X, dan Kota Pinang. Sejak itu, kebesaran Sungai Bilah meredup bersama dengan hilangnya struktur kerajaan yang selama ini menjaganya.
Namun demikian, Sungai Bilah masih memegang peran penting di era modern. Ia kini menjadi sumber bahan galian berupa pasir dan kerikil, yang sangat diminati hingga ke kabupaten lain. Material ini menjadi elemen vital pembangunan infrastruktur di Labuhan Batu dan sekitarnya.
Sayangnya, aktivitas penambangan galian C di Sungai Bilah kerap dilakukan tanpa pengawasan memadai. Jika dikelola dengan benar—oleh Dinas PUPR, Distamben, DLH, atau Kementerian ESDM—potensi ini bisa menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan kesejahteraan masyarakat.
Namun jika dibiarkan tanpa regulasi dan hanya menguntungkan segelintir pengusaha, maka eksploitasi ini justru akan mempercepat kerusakan ekosistem dan pendangkalan sungai.
Menjaga Warisan, Mengalirkan Kesadaran
Sungai Bilah bukan sekadar aliran air. Ia adalah aliran sejarah, budaya, dan warisan yang tak ternilai. Ia adalah pengingat bahwa suatu bangsa yang melupakan sejarah dan leluhurnya akan mudah kehilangan arah.
Kini saatnya Pemerintah Daerah, sejarawan, budayawan, dan masyarakat kembali menyatukan langkah: menggali, merawat, dan menghidupkan kembali jati diri Labuhan Batu—sebuah negeri Melayu yang dahulu bertuah dan bersinar lewat Sungai Bilah. (*)
Penulis: Sigondrong dalam Diam