SimadaNews.com – Tim Penasihat Hukum Julham Situmorang menyatakan keberatan atas penetapan klien mereka sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi retribusi parkir di Rumah Sakit Vita Insani (RSVI) Kota Pematangsiantar.
Mereka menilai sangkaan yang dikenakan, yakni Pasal 12 huruf (e) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tidak tepat dan tidak memenuhi unsur hukum yang berlaku.
“Kami menghormati proses hukum yang berjalan, tetapi pemberantasan korupsi harus dilakukan secara adil dan menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah,” ujar Gifson SGP Aruan, SH, salah satu anggota tim kuasa hukum, dalam pernyataan tertulis, Selasa (29/7/2025).
Julham Situmorang yang menjabat sebagai Kepala Dinas Perhubungan Kota Pematangsiantar ditetapkan sebagai tersangka karena diduga menyalahgunakan wewenangnya dalam pengelolaan retribusi parkir di RSVI.
Ia disangkakan melanggar Pasal 12 huruf (e) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, yang menyebut tentang penyelenggara negara yang memaksa pihak lain memberikan sesuatu secara melawan hukum.
Namun, menurut kuasa hukumnya, unsur-unsur dalam pasal tersebut tidak terpenuhi.
Julham disebut tidak mengambil keuntungan pribadi maupun memaksa pihak lain dalam pengelolaan retribusi tersebut.
“Klien kami telah menyetor seluruh retribusi parkir dari RSVI untuk periode Mei, Juni, dan Juli 2024 ke kas daerah sebesar Rp48.600.000 secara resmi. Tidak ada keuntungan pribadi atau paksaan yang dilakukan,” tegas Aruan.
Tim kuasa hukum juga mengutip hasil pemeriksaan Inspektorat Daerah yang menyatakan bahwa pungutan retribusi parkir di RSVI memang dilakukan tanpa dasar kewenangan dan prosedur yang sah. Namun, tindakan tersebut dikategorikan sebagai pelanggaran disiplin dan bukan tindak pidana korupsi.
“Inspektorat hanya merekomendasikan pembentukan tim pemeriksa oleh Wali Kota Pematangsiantar untuk menyelidiki dugaan pelanggaran disiplin terhadap Julham Situmorang dan Tohom Lumban Gaol,” jelasnya.
Oleh sebab itu, Tim Hukum Julham Situmorang menilai bahwa sanksi yang pantas diberikan hanyalah sanksi administratif, bukan proses pidana. Mereka berencana mengajukan eksepsi atau keberatan dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Medan.
“Kami akan menyampaikan fakta-fakta hukum dan bukti yang menguatkan bahwa pasal yang disangkakan tidak sesuai dengan perbuatan klien kami,” tutup Aruan, didampingi rekan-rekannya Chandra Pakpahan, SH, Parluhutan Banjar Nahor, SH, Agusman Silaban, SH, Adven Zetro, SH, dan Dame Jonggi Gultom, SH. (SNC)
Laporan: Romanis Sipayung