SimadaNews.com – Suasana rapat kerja Komisi IX DPR dengan Kementerian Kesehatan, Selasa (12/1/2021) tiba-tiba hening. Menteri Kesehatan Budi Sadikin yang hadir dalam rapat itu terlihat mencatat.
“Saya enggak mau divaksin. Kalau dipaksa, ini pelanggaran HAM. Misalnya semua anak cucu saya dapat sanksi Rp 5 juta, mending saya bayar,” kata anggota Komisi IX DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Ribka Tjiptaning lantang.
“Saya orang pertama yang menolak vaksin.”
Penolakan dari Ribka itu langsung menjadi pembicaraan. Apalagi penolakan itu dilakukan sehari menjelang dimulainya pelaksanaan vaksin secara nasional.
Pada waktu yang sama gerakan penolakan vaksin juga mewarnai jagad dunia maya lewat tagar #TolakDivaksinSinovac. Dalam tagar itu, warganet menilai tingkat efikasi Sinovac masih rendah.
“Inilah alasan knp masyarakat ada yg #TolakDivaksinSinovac,” demikian tulis akun @demokrasiambyar.
Bahkan twit tersebut juga menjadi viral dengan mendapat lebih dari seribu like dan juga diretweet sebanyak 431 kali.
Penolakan vaksinasi ini sebenarnya bukanlah hal baru. Adanya penolakan itu sudah diprediksi sejak dari awal.
Survei yang digelar Kementerian Kesehatan bersama Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI) 19-30 September lalu menyebut ada 7,6 persen masyarakat ragu dan menolak vaksinasi Covid-19.
Sementara mereka yang bersedia divaksin ada 64,81 persen responden. Sedangkan 30 persen. Yang bimbang ada 27,6 persen.
Dari survei itu, mereka yang tinggal di wilayah Aceh dan Sumatera Barat merupakan yang paling banyak menolak. Kesediaan menerima vaksin Covid-19 di Aceh hanya 46 persen sedangkan di Sumatera Barat sebesar 47 persen.
Jumlah mereka yang menolak meningkat pada Desember 2020. Dalam survei yang digelar Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) periode 16-19 Desember 2020 terhadap 1.202 responden, hasilnya menunjukkan 37 persen menyatakan bersedia melakukan vaksinasi Covid-19. Sementara 17 persen menyatakan tidak akan melakukan vaksin dan 40 persen masih pikir-pikir.
Alasan penolakan terutama karena faktor efek samping bagi kesehatan.
Menurut Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Hiariej, penolak vaksin Covid-19 dapat dipidana penjara paling lama satu tahun dan denda maksimal Rp 100 juta. Dia mengacu pada pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Pasal itu menyebutkan, setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100 juta.
“Jadi ketika kita menyatakan bahwa vaksin ini suatu kewajiban, maka jika ada waraga negara yang tidak mau divaksin, bisa dikenakan denda bisa penjara dan bisa juga kedua-duanya,” ujar dia.
Jurus Pemerintah
Menyadari bakal ada segelintir masyarakat yang menolak, pemerintah langsung menyiapkan jurus. Begitu vaksin tersedia, pemerintah langsung menggandeng MUI. Perwakilan MUI bersama Badan Pengawas Obat dan Makanan sama-sama berangkat ke China, tempat vaksin Sinovac diproduksi.
“MUI pun bisa menyatakan kehalalan sebelum pengumuman BPOM. Jadi masalah halal-haram sudah tidak ada,” ujar pakar imunisasi, Jane Soepardi.
Langkah lainnya, saat vaksinasi dilakukan pada Rabu (13/1/2021), Presiden Joko Widodo menjadi orang yang pertama divaksin. Selain Presiden, vaksinasi awal juga diikuti vaksinasi menteri, kepala daerah, selebritas, dan tokoh-tokoh agama. Langkah itu dilakukan untuk meyakinkan masyarakat bahwa vaksi aman.
Selain itu, pemerintah telah pula melakukan berbagai sosialisasi dan edukasi vaksin kepada tenaga kesehatan. Pemerintah juga menggelar webinar dengan mengajak tokoh-tokoh di sektor kesehatan.
“Vaksin ini juga digunakan untuk melindungi keluarga kita, tetangga kita, melindungi rakyat Indonesia,” kata Menteri Kesehatan Budi, Rabu (13/1/2021). (***)