SimadaNews.com-Tragedi berdarah 3 Maret 1946,yang terjadi di Simalungun, dinilai tidak memenuhi syarat sebagai peristiwa “Revolusi Sosial”. Namun yang terjadi sebenarnya, adalah suatu peristiwa pembantaian terhadap raja-raja (kaum bangsawan) Simalungun.
Paling tidak, itu salah satu kesimpulan yang diperoleh dari Hasil Forum Grup Discusion (FGD) yang digelar di Rumah Hordja yang diinisiasi Sanggar Budaya Rayantara, Minggu (3/3) malam.
Dipandu Hermanto Sipayung, sebagai moderator, diskusi mengenang Revolusi Sosial, berlangsung alot, hangat dan membuat suasana seperti kembali pada zaman yang mencekam ketika sejumlah bangsawan keturunan raja-raja Simalungun, dihabisi para pemberontak.
Pdt Juadaha Raya Purba Dasuha, yang diberikan kesempatan memulai penuturan sejarah, menceritakan, berdasarkan fakta revolusi sebenarnya adalah gerakan dari rakyat yang ingin mengganti tatanan sosial yang dinilai korup, otoriter, sentralistik, lamban, semena-mena.
Tetapi, pada faktanya pembunuhan bangsawan Swapraja Simalungun adalah mandat yang direncanakan 1 Maret 1946 di Simalungun Club dan dilaksanakan pada dinihari 2 Maret 1946. Perintah gerakan diterima sore hari 2 Maret 1946 dari Medan kepada Saragih Ras di Siantar.
Menurut Juanda, sangat keliru apabila alasan pembunuhan bangsawan Simalungun karena tidak mendukung Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Sebab pada masa-masa memperjuangkan Kemerdekaan, para bangsawan Simalungun sudah banyak teribat memperjuangkan kemerdekaan.
Hal senada disampaikan Keturunan Raja Panei, Tuan Kamen Purba Dasuha. Dia mengaku, pada zaman itu masih kecil dan selamat dari gerakan pembantaian itu karena sedang berada perladangan bersama sejumlah keluarga lain. Tetapi, nyawa beberapa abangnya dihabisi para pemberontok.
“Padahal, abang-abang saya sudah ada yang mengabdi pada Negara ini. Ada yang masuk tentara, tapi tetap dihabisi juga,” kenang Tuan Kamen.
Dia juga mengaku, pada masa-masa itu dia juga mengalami pengungsian supaya terhindar dari pemberontakan. Selain mengungsi, bersama dengan keluarga yang masih selamat, menjadi tawanan.
“Kami sering mengungsi hingga menjadi tawanan. Yang saya ingat sekali, mengungsi di daerah Pematang Simalungun eks Kerajaan Siantar,” aku Tuan Kamen.
Tuan Kamen menegaskan, sebenarnya Raja-raja Simalungun sudah menyatakan berdiri di belakang Soekarno sebagi pendukung Republik Indonesia.
“Abangku saja Tuan Margabulan Purba Dasuha yang dibunuh sudah aktif di pemerintahan RI sebagai pegawai dan anggota pasukan Marsuse RI” sebutnya.
Dia menambahkan, motif tragedi berdarah 1946 lebih dominan karena dua faktor yakni politik dan kecemburuan. Politik dimaksud, karena adanya penyusunan strategi yang terencana dan diberikan perintah memanfaatkan kebencian para pemberontak.
Kemudian, adanya pelampiasan balas dendam dan ingin penguasaan tanah serta perampokan harta benda raja-raja untuk memperkaya diri/kelompok mengatasnamakan perjuangan kemerdekaan.
“Karena posisi raja saat itu adalah kepala adat dan kepala pemerintahan dalam lingkungan pemerintahan swapraja (Zelfbestuurende Landschappen). Pasca tragedi, banyak aset harta milik raja dan kerajaan yang dialihkan/beralih kepada pihak yang bukan ahli waris raja. Bahkan ada waris raja/bangsawan yang kehilangan sama sekali tanah pusaka leluhur,” sebutnya.
Juandaha dan Kamen begitu juga Sarmedi Purba, sepakat bahwa Saragih Ras dan beberapa pelaku sebenarnya, turut menjadi korban yang tanpa mereka sadari.
Terbukti bahwa ketika kerabat Raja Panei membesuk ke penjara saat Saragih Ras ditahan, Saragih Ras menyatakan penyesalannya. Mereka dijadikan ‘pion’ untuk menghabisi para bangsawan yang merupakan kerabat mereka sendiri.
“Nasionalisme dan kecintaan Sarqagihras kepada perjuangan Indonsia, telah dimanfaatkan petualang politik untuk menghabisi kepala adat/kepala pemerintahan tradisional suku Simalungun,” sebut mereka.
Sarmedi menyarankan, kiranya ada rekonsialisasi seluruh pihak terkait Tragedi 1946, supaya ada pengakuan kesalahan Negara atas terjadinya tragedi itu.
Pernyataan sama juga disampaikan Herman Sipayung, Agus Erdimana Purba dan peserta diskusi lainnya.
“Membahas tragedi 1946, bukan untuk menciptakan keingian balas dendam. Tapi kita menginginkan, supaya Negara ini mengaku kesalahan yang terjadi di tahun itu. Sebab, itu terjadi setelah Indonesia Merdeka yang sudah memiliki pemerintahan,” kata mereka.
Selain Negara diminta mengaku kesahalan dan meminta maaf kepada Suku Simalungun, peserta diskusi juga menyarankan supaya ada tindak lajut FGD menjadi Seminar Nasional bersama korban pembantaian 1946 di Sumatera Timur yakni Simekar (Simalungun, Melayu dan Karo).
Nantinya, hasil seminar itu menjadi kajian dan rekomendasi untuk tindaklanjut rekonsiliasi dan rehabilitasi hak-hak kaum bangsawan Sumatera Timur yang hilang sejak 1946.
Diskusi itu juga menyarakan, supaya tokoh-tokoh Simalungun dimana saja berada supaya mengesampingkan kepentingan sektoral, ego kelompok demi kepentingan suku Simalungun yang lebih besar.
Sultan Saragih dari Sanggar Budaya Rayantara, sebagai suhut bolon FGD, pada kesempatan itu menyampaipan apresiasi dan terimakasih kepada peserta yang hadir di FGD.
Dia meyebutkan, tujuan FGD hanyalah sebagai pencerahan sejarah bagi generasi mengenai revolusi sosial, supaya generasi mengetahui sejarah sebenarnya.
“Generasi kita harus memberi jawaban mengajukan solusi rekonsiliasi, terutama ketika saksi hidup masih ada agar tidak kembali menjadi pertanyaan gelap yang sama setiap zaman,” ujarnya.
Sultan menambahkan, pelaksanaan rumusan dan tindak lanjut FGD juga nantinya ada pengakuan negara guna rehabilitasi dan rekonsiliasi tingkat lokal, regional hingga nasional.
“Kita akan membangun komunikasi dengan pihak-pihak sesuai hasil FGD nantinya,” ujar Sultan. (*/snc)