SimadaNews.com-Vonis bebas majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Kota Siantar terhadap Mangara Tua Siahaan terhadap Jolio Sinaga, bocah 2,5 tahun yang dianiaya hingga meninggal Desember 2017 lalu, kembali dipersoalkan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA).
Dalam siaran persnya Ketua Umum Komnas PA Arist Merdeka Sirait, Kamis (15/3) siang sekira pukul 12.15 WIB, menyatakan vonis bebas Mangara Tua Siahaan dinilainya akibat lemahnya sumber daya penyidik kasus anak.
Hal itu didasari penyidik kasus anak minim memberikan bukti sehingga menjadi alasan majelis hakim memvonis bebas Mangara Tua Siahaan tersebut.
“Dari minimnya bukti yang diajukan penyidik tersebut membuktikan lemah sumberdaya penyidik untuk kasus-kasus anak di Siantar,” ujarnya.
Dia menjelaskan, dari pengamatan Komnas PA selama memberikan pendampingan bagi korban kasus kekerasan seksual anak, penanganan kasus-kasus anak tersebut belum dilakukan dalam pendekatan sensitif anak sebagai korban.
Disamping keterbatasan tenaga penyidik khusus anak baik di tingkat Polres maupun polsek di wilayah hukum Siantar juga minimnya pemahaman dan keberpihakan aparatur penegak hukum, baik di lingkungan penyidik, penuntut umum, pembela maupun hakim.
Di samping keterbatasan polisi sebagai penyidik anak, jaksa anak dan hakim anak di lingkungan lembaga penegak hukum di Siantar.
Fakta-fakta dan pengalaman empirik Komnas PA mendampingi dan memberikan pembelaan terhadap kasus-kasus kekerasan seksual anak di Siantar, dipandang perlu untuk memutus mata rantai kekerasan terhadap anak di Kota Siantar, tidak cukup hanya berharap dan menutut aparatur penegak hukum saja.
Sebab nyata-nyata peran kelembagaan itu sangat terbatas maupun kepada lembaga-lembaga pegiat perlindungan anak saja, namun sudah saatnya diperlukan langkah konkrit dan terukur dengan melibatkan peran serta masyarakat untuk menjaga dan melindungi anak.
Melindungi anak harus dimulai, dari lorong ke korong pemukiman penduduk, dari sekolah ke sekolah lainnya, pelibatan lembaga atau istitusi lintas keagamaan dan tokoh adat di Siantar. Keterlibatan kalangan akademisi dan kampus, serta peran dan kontrol media massa dengan fasilitasi dan komitmen anggaran pemerintah melalui dukungan wakil rakyat.
Arist menambahkan, berbagai peristiwa pelanggaran hak anak di kota Siantar pada akhir-akhir ini cukup mengundang keprihatinan dan kemarahan mendalam. Dari tahun 2017, Komnas PA mendapat laporan 69 kasus pelanggaran hak anak di kota Siantar. Rinciannya, 39 kasus adalah kasus kekerasan seksual baik dilakukan secara perorangan dalam lingkungan terdekat anak, yakni rumah dan sekolah.
Kemudian, sepanjang 2 bulan di tahun 2018 Januari-Februari dilaporkan 12 kasus didominasi kasus kekerasan seksual anak.
Tidak itu saja, Sesuai data dikumpulkan Kantor Lembaga Perlindungan Anak (LPA) sebagai kantor Mitra Komnas PA di Kota Siantar bahwa 52 persen dari kasus-kasus yang dilaporkan didominasi kasus kekerasan seksual baik yang dilakukan secara perorangan oleh orang terdekat korban yang juga dilakukan dengan cara bergerombol dengan perlakuan sadis.
Lingkungan rumah, tempat bermain anak bahkan lingkungan sekolah tidak lagi memberikan rasa nyaman dari ancaman kejahatan terhadap anak.
Sebaran kasusnya juga merata terjadi dari lorong ke lorong, dari satu kelurahan ke kelurahan lainnya, dan dari sekolah ke sekolah lainnya pula. Ironisnya fakta menunjukkan para predatornya atau pemangsanya justru datang dari sekitar lingkungan terdekat anak baik dilingkungan rumah, lingkungan sekolah, lingkungan sosial anak bahkan rumah, panti atau pondok-pondok sosial anak yang seharusnya menjadi garda terdepan untuk menjaga dan melindungi anak.
Komnas PA sebagai lembaga independen yang diberi tugas dan fungsi memberikan pembelaan dan perlindungan anak di Indonesia, memandang perlu mendorong Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Siantar yang mengurusi hak anak atas pendidikan untuk segera mewajibkan lingkungan sekolah menjadi lingkungan “zona zero” kekerasan terhadap anak dengan melibatkan orangtua, peserta didik dan komite sekolah serta menciptakan dan mendekleir lingkungan sekolah sebagai tempat pengaduan dan perlindungan anak alternatif di samping kantor polisi, mengingat ketersediaan kantor polisi lebih sedikit dari sekolah atau lembaga pendidikan.
“Saya sebagai putra Siantar mengajak segera Pemko Siantar untuk berkenan segera mengkoordinasi atau mengorganisir kebulatan tekat masyarakat melalui pencanangan Rencana Aksi Masyarakat untuk memutus mata rantai dan mengakhiri Kekerasan terhadap Anak di Siantar,” kata Arist. (esa/mas/snc)