MUNGKIN, anda merasa jijik bila melihat ulat yang satu ini. Postur ulat ini kecil berwarna kuning kecoklatan. Dan mendapatkan ulat ini, juga tidak begitu mudah.
Ya, namanya ulat sagu kalau di Indonesia bagian Timur. Sebab, hewan ini memang lebih banyak dadapati di pohon sagu di daerah sana. Namun di Sumatera Utara khususnya di Simalungun, hewan larva pemilik nama latin rhynchophorus ferruginesus ini, disebut dengan hidu. Di daerah Karo disebut Kidu. Dolok Sanggul dinamai Nasseleng.
Hidu didapati di pohon aren dan kelapa yang sudah membusuk.
merupakan larva dari kumbang merah kelapa yang hidup di batang sagu yang membusuk. Biasanya ada larva yang berasal dari telur kumbang kepala merah dan dalam waktu tertentu, berubah menjadi anak ulat hingga menjadi ulat dewasa.
Di Indonesia Bagian Timur, ulat ini biasa diolah dengan berbagai cara. Misalnya disate atau digoreng kering. Konon, ulat sagu memiliki rasa gurih di lidah.
Ulat mentah memiliki tekstur yang kenyal, serta rasa asam, dan tawar dengan rasa asam yang lebih mendominasi.
Ulat matang akan renyah di bagian kulitnya, dan rasanya cenderung seperti sosis dengan tekstur yang kenyal dan padat.
Kelezatan makanan berbahan dasar ulat sagu dipercaya berasal dari telur yang menetas pasca batang pohon membusuk yang kemudian menyebabkan banyaknya kumbang yang bertelur di situ.
Lemak ulat sagu terdiri dari asam kaprat, asam palmitat dan asam oleat, dengan total keseluruhan mencapai 86 persen. Kandungan tertinggi adalah asam kaprat dan asam oleat. Hal tersebut menunjukkan bahwa lipid ulat adalah sumber lemak yang baik bagi bahan pangan.
Kandungan protein yang tinggi dalam ulat, nantinya akan digunakan untuk membentuk protein structural yang diperlukan dalam pembentukan jaringan tubuh larva.
Proteri hidu, sangat baik untuk kesehatan. Juga baik untuk pertumbuhan anak-anak, untuk wanita hamil agar memperlancar ASI.
Bang Saragih dan Bang Purba, saat ditemui SimadaNews, Senin (5/2) di daerah Sibuntuon sedang mengambil hidu, mengaku hidu memang enak dimakan, baik dimakan mentah maupun dimasak terlebih dahulu.
“Sankin enaknya, kamu lupa terlalu banyak kami makan,” kata Saragih sambil membasuh mukanya yang sudah mulai terlihat membengkak karena kebanyakan makan hidu.
Ya, reaksi protein ulat sagu atau hidu memang cepat. Memang kalau kebanyakan makan hidu di saat bersamaan, maka tubuh khususnya bagian muka bisa terlihat seperti membengkak. Tapi, itu tidak berlangsung lama. Sebab, dengan sendirinya muka yang membengkak akan kembali normal lagi.
Menurut Saragih, bagi orang yang memiliki gejala darah rendah sangat baik mengonsumsi ulat ini, guna menaikkan tekanan darah. Tetapi harus sesuai denga porsinya. Namun bagi pemilik tekanan darah yang tinggi, jangan coba-coba mengonsum ulat ini.
Kedua pemuda ini pun, mengaku ingin meneliti lebih jauh pengembang biakan ulat ini. Begitu jengan konsumsinya, apakah bisa diolah menjadi pil atau sejenisnya, supaya bisa tahan lama dan dikonsumsi kapan saja.
Nah, cara memasak ulat ini gampang saja. Bisa dicampur ke sayur, di sop, digoreng atau disambal bersama ikan.
Untuk pengambilan ulat, yang ada di pohon aren atau kelapa yang sudah lapuk. Pohonnya dibelah dengan kampak atau peralatan lainnya. Jika beruntung akan mendapat jumlah yang lumayan banyak. (pms/kpct/int/snc)