SimadaNews.com-Sebanyak 15 organisasi masyarakat sipil yang peduli akan isu perempuan, lingkungan, masyarakat adat dan demokrasi, Rabu (1/8) menggelar urung rembug mengenai substansi Rancangan Undang-undang (RUU) Masyarakat Adat.
Saat ini, RUU Masyarakat Adat yang diiniasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan para pendukungnya, masih dalam proses persetujuan di DPR. RUU ini perlu mendapatkan dukungan dari kelompok masyarakatsipil yang lebih luas.
Ini mempertimbangkan bahwa Masyarakat Adata dalah komponen penting bangsa Indonesia yang berperan menunjukkan identitas keberagaman bangsa, menjaga keberlangsungan lingkungan hidup, dan penyumbang pengetahuan dan ekonomi.
Dalam pertemuan itu, Ketua Umum Perempuan AMAN Devi Anggraini, menegaskan bahwa RUU Masyarakat Adat bukan hanya perlindungan atau pemenuhan Hak Masyarakat Adat saja. Tetapi kelangsungan dan keberlanjutan hidup bangsa Indonesia ke depan.
Bangsa Indonesia menikmati banyakmanfaat dari apa yang dipraktikkan Masyarakat Adat di kehidupannya dalam melindungi alam.
“Semua itu akan hilang jika kita tidak menaruh perhatian pada kebijakan yang sedang dibahas,” ujarAnggraini.
Anggraini mengungkapkan, proses menggoalkan RUU Masyarakat Adat dimulai sejak Tahun 2012 dengan liku-liku yang panjang.
Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi, menyampaikan bahwa RUU ini mendapat dukungan DPR pada periode sebelumnya.
“Tapi ketikaPresiden SBY menunjuk Kementrian Kehutanan memimpin penyelesaian RUU ini dari pihak pemerintah, malah pembahasan RUU ini mandeg,” ujar Rukka.
Dia melanjutkan, pada tahun 2018, RUU Masyarakat Adat masuk Prolegnas dan menjadi inisatif DPR. Partai Nasional Demokrat (NasDem) merupakan partai yang mengusung dan mendorong RUU ini untuk disahkan oleh DPR.
Presiden Jokowi sudah menerbitkan Surat Presiden (Supres) dengan menunjuk Kemendagri sebagaikoordinator, dan lima kementrianlainnya, yaitu KLHK, Kemenhukham, Kemendes, ATR/BPN dan KKP, untuk membahas RUU Masyarakat Adatdari pemerintah.
“Kita perlu mengawal terus proses ini, karena jika tidakRUU MA akan hilang seperti yang lalu,” tutur Sombolinggi.
Menurut Arimbi Heroepoetri dari debtWATCH Indonesia, setidaknya ada tiga hal utama yang perlu diatur dengan jelas dalam RUU Masyarakat Adat. Pertama, fungsi, kedudukan dan hak-hak perempuan adat. Hal ini penting diatur sehingga tidak ada ruang penafsiran lagi dalam hal menghormati dan melindungi hak-hak khas Perempuan Adat.
Kedua, mengenai eksistensi keturunan Sultan dan Raja-raja di Nusantara, dan Ketiga, tentang organisasi-organisasi yang lahir dengan berbasis adat.
”RUU Masyarakat Adat perlu meletakkan dengan tegas perbedaan antara komunitas kesultanan, kerajaandan Organisasi Adat dengan Masyarakat Adat. Masyarakat Adat memiliki hubungan yang kuat dengan habitat dan teritorinya sebagai sumber pengetahuan, ekspresi dan sum berpenghidupan,” pungkas Arimbi.
Menurut Anggraini, hak kolektif perempuan adat tidak memiliki tempat di pelbagai kebijakan. Aturan hukum yang ada hanya mengatur hak individual. CEDAW (Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan) bahkan tidak mengatur soal hak kolektif ini.
“Kami melihat RUU Masyarakat Adat ini menjadi ruang hukum yang kuat untuk melindungi hak kolektif perempuan adat,” tutur Anggraini.
Andik Hardijanto dariPerkumpulan HuMA berpadangan, pengakuan Masyarakat Adat sebagai subjek hukum pada dasarnya sudah tutas ketika sudah ada Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 35. Akan tetapi perlu kepastian hukum tentang Masyarakat Adat untuk memastikan Negara berhubungan dan memfasilitasi Masyarakat Adat.
Dia menambahkan, tidak ada alasan hukum apapun untuk menunda RUU ini menjadi Undang-undang Masyarakat Adat yang mengakui, menghormati danmelindungi Masyarakat Adat di Indonesia.
Adapun organ masyarakat sipil yang melaksanakan urung rembug yakni Koalisi Pendukung Masyarakat Adat Persekutuan Perempuan Adat Nusantara (PEREMPUAN AMAN), Perkumpulan HuMA, debtWATCH Indonesia, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).
Kemudian, Kalyanamitra, Perhimpunan Pembela MasyarakatAdat Nusantara (PPMAN), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Jurnal Perempuan, Merdesa Institute, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Rimbawan Muda Indonesia (RMI), Sawit Watch, serta individu-individu yang menaruh perhatian pada isu perempuan, lingkungan, masyarakat adat dan demokrasi. (rel/snc)