SimadaNews.com-Adanya pengajuan DPR–RI mengenai Rancangan Undang-undang (RUU) Pesantren dan Pendidikan Agama, merupakan suatu upaya payung hukum bagi lembaga pendidikan agama. Tetapi, dalam pengajuan RUU itu, hendaknya DPR-RI memahami dan benar-benar mengkaji dampak positif dan negativ apabila undang-undang itu disahkan serta dijalankan.
Hal itu dikemukakan Sekretaris Jendral Gerakan Daulat Desa (GDD), Brigjen (Purn) Victor E Simanjuntak, ketika diminta tanggapannya soal pengajuan RUU pesantren dan pendidikan agama itu, Sabtu (27/10).
Menurutnya, usul para wakil rakyat itu, merupakan hak inisiatif yang menginginkan supaya pesantren, madrasah serta lembaga pendidikan teologia lainnya menjadi sama seperti pendidikan umum sehingga dapat memperoleh alokasi anggaran dari APBN.
Namun, masuknya sekolah minggu dan katekisasi sebagaimana diatur dalam pasal 69 dan 70 RUU itu, terbukti sudah mendapat berbagai tanggapan baik dari Persatuan Gereja Indonesia (PGI) dan lembaga Kristen lainnya.
“Sekolah minggu dan katekisasi tidak sama dengan pendidikan umum lainnya. Sekolah minggu merupakan kebaktian umum yang diadakan pada setiap hari Minggu,” kata pria yang akrab dipanggil Bung Victor itu.
Dia mengungkapkan, sekolah minggu adalah kebaktin umum setiap minggu. Berhubung pesertanya anak-anak, maka liturginya berbeda dengan liturgi kebaktian umum. Liturginya disesuaikan dengan kebutuhan kebaktian anak, berupa ibadah yang isi kegiatannya adalah nyanyian pujian, cerita menarik untuk memaknai firman Tuhan, persembahan dan berkat.
Sedangkan katekisasi atau dalam bahasa Yunani di sebut Katekese, yang berarti memberitakan, memberitahukan atau memberi pengajaran, namun pengajaran ini bukan dalam arti intelektualistis, melainkan bimbingan terhadap seseorang atau beberapa orang tentang iman yang sesuai pemahaman isi Alkitab dalam proses pendewasaan iman sebelum menerima baptisan.
“Karena sekolah minggu dan katekisasi bukan kegiatan dalam arti intelektualistis, tetapi ibadah umum dalam proses pembinaan iman anak. Maka pertanyaannya adalah dapatkah ibadah disamakan dengan pendidikan umum lainnya, sehingga DPR memasukkannya dalam pasal 69 dan 70 RUU itu?,” tannya Bung Victor.
Mantan Direktur Tindak Pidana Khusus Mabes Polri itu menerangkan, adanya syarat satuan pendidikan atau program dengan minimum peserta 15 orang dan kewajiban mendapat izin dari kantor kementerian agama kabupaten/kota, perlu jeli dan benar-benar dirumuskan dengan baik dan benar. Sebab sekolah minggu atau katekisasi itu adalah ibadah umum.
“Kita khawatir, nanti ada pihak yang tidak bertangung jawab memanfaatkan acuan baru untuk mensyaratkan agar ibadah umum harus ada izin,” sebutnya.
“Memaksakan untuk memasukkan sekolah minggu dan katekisasi sebagaimana diatur dalam pasal 69 dan 70 RUU itu, akan memberi peluang kepada kelompok intoleran dan radikal dengan model menghardik dan berteriak memasuki gereja untuk menanyakan izin dari Kemenag. Lalu menghentikan kegiatan sekolah minggu atau katekisasi yang tidak memenuhi persyaratan, padahal saat itu sedang beribadah. Coba dibayangkan dampaknya,” ujarnya lagi.
Victor mengingatkan, supaya seluruh angota DPR-RI belajar dari apa yang sudah terjadi selama ini. Dia mencontohkan, pada pasal 28 E dan pasal 29 UUD 1945, telah memberikan jaminan kebebasan beragama dan beribadah.
Namun muncul Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2016 dengan embel-embel Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, namun BAB IV-V telah menjadi sumber permasalahan sulitnya mendirikan rumah ibadah, bahkan di jadikan Justifikasi untuk menutup rumah ibadah yang telah berdiri belasan tahun yang lalu, di segel hanya dengan alasan formal yang dicari-cari.
“Pengalaman pahit yang dialami oleh umat Nasrani akibat keputusan bersama menteri tersebut, harusnya dicermati dengan baik oleh semua pihak, khususnya dalam membuat undang-undang yang mengatur bidang yang sensitive,” ungkap Victor.
Victor menuturkan, sulitnya mengurus izin pendirian rumah ibadah bagi umat Nasrani dan penutupan beberapa rumah ibadah, merupakan aib memalukan bagi bangsa ini, mengingat negara ini berdasarkan hukum dan UUD 1945 menjamin kebebasan beragama dan beribadah. Dan bila saat ini ada RUU yang mensyaratkan izin untuk anak-anak beribadah yang menjadi hak dasar atau hak asasi manusia seperti ditulis pada UUD 1945, akan memberi peluang munculnya kegaduhan baru kedepan.
“Tidak heran kalau ada yang merasa curiga, mungkinkah ada unsur kesengajaan dari pihak tidak bertanggung jawab untuk mengacaukan negara melalui RUU ini,” cetusnya.
Victor menyampaikan, Gerakan Daulat Desa menduga hal ini terjadi karena ketidaktahuan anggota DPR bahwa sekolah minggu dan katekisasi merupakan ibadah umum, tidak sama dengan pendidikan umum lainnya.
Maka dengan ini, tambah Victor, Gerakan Daulat Desa mengimbau kepada DPR untuk berkoordinasi dengan PGI, MUKI dan KWI serta Lembaga Kristen lainnya untuk menjernihkan masalah ini sebelum dijadikan alat kegaduhan oleh pihak intoleran dan radikal yang akan kita sesali di kemudian hari. (manto/snc)