Selanjutnya, ada kesalahan input data dalam proses perhitungan yang diumumkan di website resmi KPU, sehingga berpotensi menimbulkan ketegangan di tengah-tengah masyarakat, seperti yang terjadi di Pilkada Makassar. Hal ini perlu menjadi perhatian penyelenggara agar dapat memutakhirkan sistem teknologi informasinya yang dapat menunjang kerja-kerja penyelenggara lebih maksimal.
Menurut Sahat, berdasarkan temuan-temuan pengawasan, adanya masyarakat tidak mendapatkan undangan ataupun tidak terdaftar DPT, menunjukkan perlu dilakukan evaluasi terhadap kinerja KPU di daerah.
KPU ke depannya diharapkan dapat bekerja dengan netral, tidak memihak siapapun, dan sesuai rencana waktu yang sudah direncanakan.
Sahat menyebutkan, politik uang masih banyak terjadi di berbagai daerah. Harus ada tindakan tegas dari Bawaslu terhadap temuan-temuan politik uang, khususnya untuk yang sudah memenuhi unsur TSM.
Selain itu, perlu ada sanksi tegas yang sesuai dengan undang-undang supaya menjadi efek jera sehingga Pemilu yang bersih dan demokrasi yang berintegritas dapat diwujudkan di Indonesia.
Sahat melanjutkan, adanya Politik SARA yang ditemukan di beberapa daerah, menjadi kerisauan dan keprihatinan. Apalagi saat ini belum ada peraturan dan sanksi yang spesifik mengenai hal itu dalam undang-undang pemilu.
Sehingga perlu ada evaluasi pasca Pilkada 2018, agar ada peraturan dan sanksi terhadap pelanggaran kampanye kebencian berdasarkan perbedaan SARA. Politik kampanye kebencian berdasarkan SARA sangat mengancam keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.
”Bila politik SARA lebih kental dilakukan dalam Pilkada. Menurut hemat kami, lebih baik bangsa ini tidak perlu lagi melaksanakan Pilkada jika konsekuensinya adalah rakyat menjadi terpecah, saling membenci, dan mencurigai karena perbedaan SARA,” tegas Sahat.
Dia menambahkan, bahwa terdapat partai-partai yang mengaku sebagai partai ber-ideologi Pancasila, nasionalis, dan menolak paham-paham radikal, namun ternyata tetap membiarkan terjadinya politik SARA di dalam koalisi calon yang didukung.
Seharusnya sebagai Partai yang ber-ideologi Pancasila dan nasionalis, pimpinan Partai dapat dengan tegas menolak praktek-praktek politik SARA yang dilakukan oleh tim pemenangan calon yang didukungnya.
”Kami meminta KPU dan semua parpol harus menyepakati dan menandatangani kode etik pelaksanaan Pilkada dan Pemilu, yang salah satu poin kesepakatannya adalah mengenai menolak Politik SARA. Jika ditemukan adanya pelanggaran, maka partai yang bersangkutan harus dibubarkan. Sebab setiap partai harus mengingat bahwa menjaga keutuhan persatuan dan persaudaraan, jauh lebih penting dibanding politik meraih kekuasaan,” ujar Sahat mengakhiri. (rel/snc)