SimadaNews.com-Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia Cabang Pematangsiantar-Simalungun, meminta para calon Gubernur Sumatera Utara (Cagubsu) yang akan ditetapkan KPU Sumut 12 Pebruari, mendatang supaya tidak hanya tebar pesona di hadapan masyarakat. Tapi, harus menyampaikan gagasan membangun dan menyelesaikan permasalahan di Sumut.
Hal itu disampaikan Sekretaris Cabang GMKI Siantar-Simalungun Lampola Uli Sitorus, menyikapi pelaksanaan Pilkada Sumut 2018, Kamis (1/2).
Lampola menuturkan, Sumut adalah representasi dari kekayaan kebudayaan dan suku yang ada di Indonesia. Cerminan kecil dari Kebhinekaan yang Indonesia miliki ada di Sumut dan masih sangat terawat hingga sekarang.
Tetapi harus difahami, dimana ada perebutan kekukasaan di situ rentan terjadi konflik apabila sudah di bumbuhi dengan “SARA”.
Lampola menyebutkan, kegiatan tebar pesona secara politik yang mulai dilakukan para pasangan calon Cagub dan Cawagub yang dibalut dalam bentuk deklarasi harusnya dirangkai dengan menyampaikan gagasan yang positif untuk merebut hati rakyat.
Tetapi yang terjadi, para paslon melakukan pembohongan publik, menyatakan diri siap untuk mengabdi bagi kepentingan rakyat pada hal nyatanya tidak.
Terbukti dengan terjeratnya 2 gubernur SUMUT dengan kasus tindak pidana korupsi. Orientasi para calon pemimpin Sumut merupakan hal yang perlu untuk digodok sehingga sesuai dengan kebutuhan rakyat.
“Sudah saatnya para paslon mengubah paradigma masyarakat yang telah terbentuk di dua kepemimpinan terakhir ini, dimana hal tersebut mengeluarkan cost politik yang besar pada saat tebar pesona kemudian setelah terpilih malah melakukan pengembalian cost politik bahkan mempersiapkan cost politik untuk pertarungan berikutnya,” kata Lampola.
Lampola mengungkapkan, Sumut adalah provinsi dengan potensi kemajuan yang sangat besar melalui aset-aset yang dimilikinya apabila dikelola dengan baik dengan berasaskan kepentingan umum.
Mulai dari sektor pariwisata, sektor industri bahkan sektor pertanian. Walaupun saat ini Provinsi Sumut memiliki masyarakat miskin sebanyak 1.326,57 (9,28 persen) menurut data dari Badan Pusat Statistik yang dirilis Januari 2018.
“Sudah saatnya SUMUT memiliki pemimpin yang berintegritas, yang mengutamakan kepentingan rakyat, bukan kepentingan segelintir pihak. Rakyat SUMUT sudah terlalu banyak dibohongi dengan janji-janji manis para calon,” tegasnya.
Hal senada disampaikan Ketua Cabang GMKI Siantar-Simalungun Wahyu Siregar. Dia memaparkan, Sumut sangat kaya akan Sumber Daya Alam terkhusus dengan cadangan tambang alam mineral yang belakangan ini mulai terekspos.
Kondisi itu, sangat rentan dengan adanya pelanggaran HAM bagi masyarakat apabila ada oknum yang ingin menguasai kekayaan alam itu.
Data dari “Kontras” tahun 2016 Sumut menduduki nomor urut dua setelah Jakarta tindak pelanggaran HAM dan yang paling besar kasusnya di bagian Konflik Agraria.
ada sebanyak 49 kasus pelangaran Ham, 72 orang mengalami luka, 17 orang diskriminalisasi dan 1 orang meninggal dunia.
Ada beberapa kasus besar terkait penyerobotan lahan milik masyarakat yang dilakukan Perusahaan Perkebunanan maupun Tambang.
Secara umum, penyerobotan lahan yang berujung konflik antara masyarakat versus perkebunan terjadi dalam 3 zona.
Pertama di areal Hak Guna Usaha (HGU), yakni HGU yang terbit sebagai dasar perusahaan perkebunan beroperasi justru berada dalam kawasan masyarakat hidup dan berkehidupan. Kedua, tanah Non HGU, yakni kondisi dimana perusahaan justru mengelola tanah diluar luasan HGU yang diterbitkan. Ketiga, Konflik di tanah-tanah eks HGU.
“Kita masih ingat bagaimana kasus konflik PT.Toba Pulp Lestari di kabupaten Humbang Hasundutan yang memakan banyak korban dan disini lawan dari masyarakat “head to head” adalah aparat keamanan dengan alasan keamanan, dan di ranah hukum dimenangkan oleh corporation si pemilik modal asing, dan saat ini hutan ekaliptus ini sudah tersebar hingga ke kabupaten Tobasa (Parsoburan),” tuturnya.
Wahyu merunut, Sumut adalah provinsi yang memiliki cadangan mineral terbesar Indonesia dan beberapa perusahaan yang sudah berdiri diantaranya PT. Sorik Mas di Madina, PT.Martabe di Batang toru Tapanuli Selatan, PT Dairi Prima Mineral di Dairi yang sebagian konsesinya berada pada kawasan hutan lindung yang nantinya segera melakukan penambangan galian Pb (Timah hitam), dan PT SOL di beberapa titik yang ada di Pahae Tapanuli Utara dan beberapa tambang lainnya.
Pada akhirnya akan kembali berbicara konflik agraria yang nantinya akan berujung kepada lahan-lahan masyarakat adat setempat akan dirampas.
Dan masyarakat yang tinggal diwilayah tambang, umumnya akan lebih kuat melawan untuk mempertahankan tanah leluhur mereka yang secara legalitas tidak dimiliki mereka.
Untuk itu, lanjut Wahyu, demi kepentingan umum pemerintah harusnya memperhatin serius membangun regulasi dengan mementingkan hak-hak masyarakat.
Melihat kondisi itu, Wahyu berpendapat perlunya penghentian perusakan hutan yang cukup tinggi, pelanggaran HAM dan kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan di Sumut.
“Jika tidak, delapan atau 10 tahun akan datang, anak cucu kita takkan lagi bisa merasakan hijaunya daun, kesegaran udara di negeri ini. Karena di Negeri ini bukan milik Corporation tertentu tetapi milik seluruh rakyat Indonesia, dan kami mendesak kepada seluruh Institusi yang terkait di dalamnya untuk tegas dalam menjalankan konstitusi yang ada di negara ini dan berpihak kepada masyarakat untuk kepentingan hajat orang banyak bukan lagi korporasi,” tegas Wahyu.
Wahyu menambahkan, solusi menyelesaikan konflik agraria adalah melakukan percepatan reforma agraria sebagaimana yang telah dijanjikan oleh Presiden Jokowi.
Distribusi lahan kepada petani, bukan kepada perusahaan atau preman tanah harus segera dilaksanakan oleh pihak pemerintah provinsi Sumatera Utara.
Secara konstitusi telah dijelaskan dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria pasal 9 ayat 2 bahwa “Tiap-tiap warganegara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.” maka pada dasarnya Negara sebagai intitusi eksekutor setiap UU menjamin hak masyarakat, terutama petani mendapatkan lahan untuk digarap demi kelangsungan hidup.
“Dan ini suara kami kepada pasangan calon agar melihat Sumatera utara tidak sebagai lahan garapan baru, tetapi menjadi pekerjaan rumah besar yang dikerjakan bersama mulai dari daerah hingga ketingkatan pemerintah pusat,” kata Wahyu mengakhiri. (mas/snc)