SEMINGGU sudah reuni 212 di Kawasan Tugu Monas berlalu. Lantas apa yang tersisa? Tampaknya, hanya letupan kemarahan Capres Prabowo Subianto, akibat tidak banyak media dan jurnalis yang meliput dan memberitakannya.
Seorang teman justeru mengeluarkan istilah jurnalis hitam. Mungkin ikut geram, sebab para jurnalis cenderung dinilai tidak mandiri dan independen. Lagi-lagi karena tidak meliputnya.
Kemarahan Prabowo dan kegeraman teman tersebut, menarik untuk disimak, disingkap, dan bahkan ditelisik. Apalagi, sang teman, menyebutnya sebagai tindakan kekejaman.
Adalah benar peristiwa itu merupakan peristiwa yang cukup besar. Peristiwa yang mampu membangkitkan gairah banyak umat Islam untuk menghadirinya.
Peristiwa itu pantas pula disebut sebagai peristiwa bersejarah. Ada zikir, doa, dan peringatan maulid atau ada syiar agama dirangkai di dalamnya.
Semangat penguatan nilai kesatuan bangsa, serta penegasan terhadap NKRI dan Pancasila juga tampak di dalamnya.
Apakah kemudian terasa aneh manakala media dan para jurnalis tidak meliput ini? Sehingga kemudian menilai mereka sebagai jurnalis hitam yang terlibat lingkaran setan atau iblis yang dinilai menjauh dari peristiwa besar agama dan kenegaraan?
Idealnya, pandangan bahwa setiap peristiwa apapun bentuk peristiwanya apalagi menyangkut skala manusia yang begitu besar seharusnya harus menjadi perhatian media, ada benarnya. Sebab tugas jurnalis adalah aktivitas mencari, mengolah, menulis, dan menyebarluaskan informasi kepada publik melalui media.
Adalah benar jika media tidak boleh menutup informasi ke publik, terlepas apakah materi berita peristiwa itu positif dan negatif.
Selain itu tugas suci dan mulia para jurnalis adalah menyampaikan keadilan dan kebenaran.
Fakta bersama di hadapan kita, adalah kondisi bahwa bangsa ini sedang berada di tahun politik.
Kita memahami peristiwa reuni 212 sebagai luapan dan letupan emosional kelompok Islam yang pada tahun lalu mempersoalkan penistaan agama yang dilakukan Ahok.
Reuni ini dipastikan menjadi peristiwa politik, sebab dihadiri hanya oleh salah satu capres, yakni Prabowo, yang kemudian belakangan marah karena tidak diliput.
Andai peristiwa itu murni menjadi gerakan moral dan tidak dipengaruhi oleh kepentingan politik, atau dihadiri para capres dan cawapres yang sedang bertarung “head to head” ini, maka peristiwa itu pantas untuk diberitakan.
Pantas pula jika pertemuan itu menjadi momentum silaturrahim nasional umat Islam dengan para calon pemimpin bangsa.
Silakan masing-masing capres berorasi pada momentum silaturrahim nasional itu. Media mana yang tidak akan meliputnya.
Mengingat peristiwa itu syarat dengan kepentingan politik capres tertentu, maka adalah wajar jika kepentingan politik capres lainnya mempengaruhi media dan jurnalis untuk tidak meliputnya.
Belum lagi, tiap media dan jurnalis memiliki kepentingan dan pertimbangan sendiri tersendiri untuk meliput atau tidak peristiwa itu.
Justru di suasana politik yang semakin menghangat saat ini, media dan jurnalis akan lebih cerdas dan berhati-hati menempatkan diri dan peran mereka.
Kontroversi diliput atau tidaknya peristiwa reuni 212, yang muncul setelah meledaknya kemarahan capres yang hadir itu, sejatinya tidak melahirkan justifikasi media dan jurnalis sebagai banci, hitam, atau kejam. Itu penilaian yang berlebihan.
Peristiwa Reuni 212 cenderung menjadi radar yang kemudian mengukur tingkat rasionalitas, emosionalitas, dan spiritualitas anak bangsa.
Peristiwa itu menjadi filterisasi yang kemudian mampu menilai kualitas anak bangsa; masih memiliki nalar dan emosi yang sehat, atau sebaliknya cenderung melahirkan sikap menghujat yang cenderung jahat.
Lihat saja saat ini, seminggu setelah peristiwa reuni digelar; masih membekaskah peristiwa itu sebagai ikhtiar jihad? Atau justeru berlalu begitu saja tanpa kesan.
Semoga saja reuni yang didamba oleh banyak ummat itu, kemudian tidak sekedar pepesan kosong belaka. Wallahu a’lam. (*)
Penulis adalah Cendikawan Muslim di Sumatera Utara