SimadaNews.com-Gerakan Jaga Indonesia (GJI) menyoroti pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) yang terjadi di Indonesia, dan pelanggaran HAM tersebut diminta segera diungkap dan ditangkap para pelakunya.
Sesuai relis yang diterima SimadaNews.com dari Humas GJI, Novy Viky Akihary, menyebutkan, bahwa GJI mengutuk keras penembakan 31 pekerja konstruksi di Jigi, Kabupaten Nduga yang disinyalir dilakukan Kelompok Kriminal Bersenjata pada Tanggal 2 Desember lalu, yang mengakibatkan tewasnya para pekerja tersebut.
Menuntut Pemerintah Indonesia, mengusut tuntas, menyeret pelaku kriminal aksi biadab tersebut ke hadapan hukum. Serta membongkar dalang di balik peristiwa biadab itu.
Menuntut Pemerintah Indonesia, agar serius mencari akar permasalahan atas apa yang selama ini terjadi di Papua. Menemukan solusi, serta menghentikan segala bentuk diskriminasi keamanan politik dan penegakan hukum di seluruh wilayah Indonesia Timur, khususnya di Papua.
Terkait pelanggaran HAM secara menyeluruh di Indonesia, HJI menyoroti enam hal sebagai bentuk pelanggaran serius.
GJI menilai, bahwa kegiatan Reuni 212 , Tanggal 2 Desember lalu, telah mempertontonkn lemahnya rasa kebangsaan serta patriotisme, ditandai dengan bendera HTI (Ar-rayyah) atau panji perang yang menenggelamkan Bendera Merah Putih Bendera Negara Republik Indonesia.
Terdapat juga tulisan “NKRI NO, REFRENDUM YES dimana-mana, yel-yel, slogan-slogan yang mengarah kepada paham Khilafah Islamiyah dengan tujuan mengganti dasar Negara Republik Indonesia. Terang benderang bertujuan menghianati kesepakatan kebangsaan Republik Indonesia sebagaimana awal nagara ini dibentuk dan diupayakan lewat keringat, darah dan air mata para pahlawan bangsa.
“Hal ini Kami soroti sebagai bentuk diskriminasi keamanan politik, dalam penegakan Hukum dan HAM terhadap mayoritas masyarakat Indonesia yang memiliki sikap dan rasa nasionalisme,” tulis Novy Viky Akihary.
Pembiaran atau bahkan keberpihakan kepada pemilik modal, menimbulkan rasa ketidakadilan, juga tidak adanya kepastian hukum terkait pemilikan dan pengelolaan tanah hak ulayat/hak adat yang berujung pada pertikaian kelompok, suku, serta antar golongan disatu sisi, menghadapi pemilik modal dan pemerintah disisi lain.
“Akibat dari gelombang protes atas ketidakadilan tersebut, maka rakyat yang adalah pemilik sah dengan mudah dilabelisasi sebagai OPM. Hal ini tentu kami pahami sebagai pelanggaran HAM serius,” ujarnya.
GJI menilai, gerakan HTI yang semakin masif unjuk gigi dengan menumpangi isu agama, juga perupakan pembiaran yang tidak menutup kemungkinan adalah agen dari kekuatan asing bertujuan merebut Indonesia, termasuk kekayaan alam yang berada di wilayah Indonesia Timur.
Pembiaran terhadap ancaman-ancaman, atau bentuk aksi yang menimbulkan ketakutan masyarakat untuk dapat menyalurkan aspirasi politik secara aman dan damai pada Pilpres 2019, adalah memperlihatkan betapa lemahnya pemerintah dalam melakukan tindakan antisipatif terhadap segala bentuk pembusukan gerakan HTI dengan tujuan merebut kekuasaan lewat Pilpres 2019.
Dalam penutup relisnya, GJI juga menuntut kepada Pemerintah untuk mengusut tuntas dan membongkar siapa dalang penculikan aktifis, dari tahun 1996 sampai dengan Tahun 1998. Dan menuntaskan penembakan terhadap empat mahasiswa pahlawan reformasi yakni, Elang Mulya Lesmana, Hafidin Royan, Hendriawan Lesmana dan Hery Hartanto. (rel/snc)