SATU bulan lebih sudah kita memasuki tahun yang baru 2019 dengan melewati tahun 2018 dengan gegap gempita dan semangat baru. Tahun 2019 kelak akan menjadi tahun yang lama juga, jangan sampai posisi kita tetap sama.
Berkaryalah dan jangan tunda, sebab tahun 2019 menyiratkan semangat dan optimisme untuk menggapai harapan, cinta dan cinta yang selaknya harus terus di perjuangkan dan diwujudnyatakan.
Indonesia pada tahun 2019 mencatat sejarah dengan menyelenggarakan pemilihan umum secara serentak yang nantinya akan menghasilkan presiden dan wakil presiden, 575 anggota DPR-RI, 136 DPD RI,19.817 DPRD Provinsi dan Kota/Kabupaten.
Seharusnya pembahasan ini menjadi menarik dan relevan untuk dibahas dan dimengerti oleh semua kalangan, khusunya pemuda atau yang lebih santer dikenal dengan kaum milenial. Namun yang terjadi saat ini adalah bahwa dominan dimata pemuda politik menjadi hal yang tabuh dan kotor dengan sederat kasus yang ada didalamnya sehingga menyebabkan banyak pemuda ketika berbicara politik menjadi apatis dan bias.
Menurut Alvara Research Center bahwa Kaum milenial mayoritas apatis terhadap politik dengan persentase hanya 20 persen sementara 70 persen lainnya lebih menyukai pemberitaan liestyle, musik, IT, maupun film.
Ini tentu akan menjadi sebuah persoalan mengingat menjelang perhelatan akbar politik nasional, Indonesia akan memiliki pemilih pemula baru sekitar lima (5) juta orang dan ada sekitar 40 persen pemilih milenial dari total keseluruhan Daftar Pemilih Tetap (DPT).
Dengan daftar pemilih tetap mencapai 40 persen posisi kaum milenial akan sangat diperhitungkan namun dengan rendahnya tingkat partisipasif kaum milenial di sektor politik dikawatirkan akan menciderai martabatdemokrasi Indonesia dengan adanya golput, politik transaksional, tidak kritis dan selektif dalam menentukan pilihan, pelanggaran, kecurangan dan ketakukan dengan adanya hoaks dan ujaran kebencian.
Hal ini akan menjadi preseden buruk untuk demokrasi kita ditambah lagi kita akan memasuki bonus demografi dimana kaum milenial inilah yang nantinya menjadi pemimpin, pengelolah sistem, pengatur dan pemangku kebijakan jika hal ini terus terjadi dengan masih apatisnya kaum milenial akan politik.
Sejatinya politik adalah etika untuk melayani melalui pendistribusian kekuasaan sesuai dengan kemampuan dan bagian masing-masing. Bukan politiknya yang kotor namun politisinya yang melakukan sejumlah pelanggaran yang menciderai konstitusi dan amanat rakyat itu sendiri.
Momentum 2019 dan pesta demokrasi ini, kita harus perkuat dengan budaya milenial yang produktif dan kritis. Khususnya di bonapasogit kita tercinta kabupaten Humbang Hasundutan. Pada tahun 2018 data Komisi Pemiliha Umum (KPU) pada kontestasi pemilihan gubernur menunjukkan ada sekitar 124.149 jiwa pemilih yang diantaranya pemilih laki laki berjumlah 61.074 jiwa dan pemilih perempuan ada sebanyak 63.075 jiwa ditambah lagi dengan pemilih difabel sebanyak 127 jiwa.
Merujuk dari pemilihan gubernur tingkat partisipasif masyrakat humbang hasundutan masih tergolong rendah dengan dalam menggunakan hak pilihnya terlihat dengan jumlah pemilih yang mengunakan haknya sebanyak 80.206 dan jika dipersentasekan hanya sekitar 64 persen yang artinya bahwa masih ada sekitar 45.110 jiwa yang tidak menggunakan hak pilihnya.
Kita berharap akan lebih banyak masyarakat sadar tentang pentingnya memilih khusunya kaum millenial yang ada di humbang hasundutan dengan memandang Tahun politik dan demokrasi bak pesta yang harus kita rayakan bersama-sama dan mendatangkan kegembiraan untuk kita semua, terlebih rakyat yang akan memilih dan meiliki pemimpin-pemimpin baru.
Salah satu hadiah terbaik dalam kehidupan adalah perjumpaan dan jangan sampai hadiah ini menjadi celaka bagi kita dengan salah memilih para pemimpin yang akhirnya berjumpa dan mewakili aspirasi dan kepentingan kita nantinya.
Jangan sampai kita mengorbakan martabat demokrasi kita dan kehidupan berbangsa dan bermasyarakat selama lima tahun kedepan ditangan orang yang salah hanya karena kita salah memilih.