SimadaNews.com-Peran pemimpin, mulai dari tingkat pusat hingga daerah, sangat penting dalam merealisasikan gerakan memerangi stunting. Kampanye cegah stunting tidak akan berjalan dengan baik kalau pemimpin tidak menunjukkan komitmen dan menjalankan kepemimpinannya dengan baik
Pernyataan itu ditegaskan Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Brian Sriprahastuti saat menghadiri Deklarasi ‘Geunting’ atau ‘Gerakan Upaya Pencegahan dan Penanganan Stunting’ di Lapangan Blang Padang, Banda Aceh, Minggu (3/2).
Stunting adalah sebuah kondisi di mana tinggi badan seseorang jauh lebih pendek dibandingkan tinggi badan orang seusianya. Penyebab utama stunting karena kekurangan gizi kronis sejak bayi dalam kandungan hingga masa awal anak lahir yang biasanya tampak setelah anak berusia 2 tahun.
Pemerintah gencar mengkampanyekan gerakan pencegahan dan penanganan stunting karena saat ini prevalensi stunting bayi berusia di bawah lima tahun (balita) Indonesia pada 2018 sebesar 30,8 persen.
Angka ini berada di atas ambang yang ditetapkan WHO sebesar 20%. Menjadi perhatian juga karena prevalensi stunting/kerdil balita Indonesia ini terbesar kedua di kawasan Asia Tenggara di bawah Laos yang mencapai 43,8 persen.
“Penyebab stunting ada banyak hal, multifaktor, karena itu penyelesainnya harus dilakukan secara multisektor. Di sinilah komitmen pemimpin negara harus kuat, yang selanjutnya diteruskan di level pemimpin daerah hingga kabupaten dan kota,” kata doktor kesehatan masyarakat dari Universitas Indonesia ini.
Brian menjelaskan, keberanian Presiden Jokowi untuk mengakui bahwa stunting merupakan persoalan serius bangsa ini merupakan sikap yang luar biasa.
“Dua kali pidato kenegaraan Presiden Jokowi pada 16 Agustus menekankan pencegahan stunting sebagai prioritas nasional untuk menciptakan sumber daya unggul Indonesia yang mampu bersaing dengan bangsa lain. Selanjutnya, Presiden Jokowi menetapkan daerah-daerah yang menjadi prioritas dalam rencana strategis pencegahan stunting,” jelasnya.
Menurut Brian, pemerintah pusat tak akan mampu mengatasi persoalan stunting sendirian.
“Pemerintah daerah juga harus punya komitmen untuk memobilisasi sumber dana dan sumber dayanya dalam kampanye cegah stunting. Begitupula dengan dunia usaha dan masyarakat sipil,” ungkapnya.
Secara khusus, Brian memberikan apresiasi karena dalam lima tahun pemerintah provinsi Aceh mampu menurunkan prevalensi stunting dari 41,5 persen di 2013 menjadi 37,3 persen pada 2018.
“Itu artinya pemerintah Aceh menyelamatkan 18 ribu balita dari stunting,” ungkapnya.
Meski demikian, Aceh tetap harus bekerja keras karena berada di peringkat ketiga prevalensi stunting tertinggi di Indonesia di bawah Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Barat.