LUAR BIASA ..! dari sejumlah catatan yang ada termasuk laporan langsung maupun laporan analisa ilmiah, menggambarkan aneka praktek-praktek kejahatan perbankan di Indonesia, yang menyangkut hajat hidup orang banyak, nyaris tidak banyak terpublikasi.
Jumlah perkara yang ditangani penegak hukum yang sampai pada proses peradilan dan diputus inkraht pun sangat sedikit, dibanding putusan pada jenis kejahatan–kejahatan lain.
Entah bagaimana, di lingkungan perbankan terjadi banyak perilaku-perilaku menjijikkan dan menjadi salah satu sumber besar akumulasi kekecewaan, maupun emosi warga masyarakat yang pada gilirannya menjauhkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah bahkan kepercayaan kepada negara.
Bagaimana tidak? Sampai hari ini, dengan mengacu kepada data dan informasi yang ada, masih banyak korban akibat data yang tidak akurat oleh kelalaian dari pihak lembaga keuangan yang tidak meng-up-date informasi terbaru terkait informasi keadaan pinjaman seorang nasabah di lembaga keuangan sebagaimana mestinya.
Dari aneka investigasi, wajarlah jika perbankan menjadi sarang perilaku biadab yang berlangsung dengan melalui data informasi yang tersimpan di lembaga perbankanuntuk kepuasan syahwat “keinginan” pribadi atau kelompok, walau dilakukan pengawasan berkala tiap bulan oleh BI (Sekarang oleh OJK).
Akurasi data menjadi tantangan tersendiri dalam pengelolaan Sistem Informasi Debitur (SID), bagi pihak bank/kreditur selaku pelapor informasi dan Bank Indonesia selaku pihak pengawas berlangsungnya aktifitas perbankan. Kedua pihak ini dituntut untuk selalu bersinergi melakukan kontrol kualitas data yang di-input pada SID secara teratur.
Yang terjadi justru warga yang menjadi korban, antara lain salah mencantumkan penilaian kolektabilitas debitur, data tertukar, penggunaan data tanpa persetujuan nasabah/debitur.
Data tersebut terpulihkan hanya ketika nasabah/debitur melapor tanpa tahu sejak kapan terjadi kesalahan dan bagaimana dampak, respon maupun penyelesaian nasabah lain yang tertukar.
Apakah korban lapor ke polisi?, ajukan pengaduan pakai undang-undang perlindungan konsumen? Sayangnya bahkan ada yang menyampaikan percuma ke OJK nanti ujungnya terpaksa “damai” atau hilang tak terhiraukan.
Dari hal-hal yang diuraikan di atas, dapat disimpulkan telah menjadi sebuah fenomena yang mengancam masyarakat bahkan pada gilirannya dapat mengancam dimensi bernegara.
Hal ini tidak boleh dibiarkan, apalagi kesalahan atau kejahatan di dunia perbankan ini termasuk fenomena kebiadaban perilaku di dalamnya, telah semakin berkembang. Apalagi / bahkan saat ini di negara kita sudah hadir lembaga perbankan syariah.
Kita tahu bahwa perbankan syariah adalah lembaga perbankan yang mengelola dana masyarakat berdasarkan perjanjian menurut hukum islam.
Kita juga tahu pimpinan ekonomi syariah saat ini dipimpin KH Ma’ruf Amin yang sebentar lagi akan dilantik menjadi Wakil Presiden.
Saat ini di kantor hukum yang saya pimpin banyak sekali memperoleh keluhan, bahkan persoalan hukum yang diterima dari aneka latar belakang warga nasabah. Dan sebagai kuasa hukum maupun penasehat hukum, kami masih menangani kasus yang dialami klien kami yang berlatar dugaan “kejahatan perbankan” juga tentang kasus tuntutan ganti rugi, menunjukkan fenomena kebiadaban ini masih berlangsung. Dikhawatirkan,fenomena ini sepertinya dibiarkan menjadi penyakit.
Walau kita ketahui bahwa Tiap orang yang pernah mengajukan kredit ke sistem keuangan di Indonesia, sejarah dan status pembayarannya akan tercatat.
Namun banyak laporan atau keluhan dan fakta yang saya terima, antara lain studi terbaru yang dikemukakan menyebutkan bahwa satu dari empat generasi milenial (atau sekitar 23 persen) memiliki utang kartu kredit selama satu tahun terakhir. Satu dari 10 milenial yang berumur antara 23-38 juga pernah memiliki tunggakan kartu kredit dalam lima tahun terakhir.
Yang berikutnya, melalui pengamatan serta wawancara dengan banyak kalangan, ternyata untuk golongan masyarakat menengah ke bawah, lebih “takut” dan sangat jarang mau spontan bicara lantang dalam menyampaikan keluhan-keluhanya ketika berurusan dengan kantor perbankan dari pada ketika berada di kantor polisi. Menarik sekali bukan ?
Demikianlah terasa seolah ada kekosongan hukum, pembiaran atau bagian dari pemain.
Sampai kapan kebiadaban para penanggung jawab catatan nasabah / debitur perbankan bermain?
Bahwa data-data lebih lengkap tentang kebusukan dan kebiadaban kebanyakan perbankan sesungguhnya sudah kami miliki saat ini.
Sebut saja, seorang ibu rumah tangga bernama Nensy (bukan nama sebenarnya), guna membantu pendapatan suami untuk kelangsungan rumah tangganya pernah mencoba mengajukan kredit (pinjaman uang) penambahan modal usaha kecilnya senilai Rp100 juta pada sebuah Bank Perkreditan Rakyat di daerah Yogyakarta.
Setelah dinilai dan dinyatakan layak untuk menerima pinjaman dan mempunyai kesanggupan membayar cicilan sebagaimana mestinya, ternyata harus gigit jari karena dirinya dilaporkan sebagai seorang debitur pada bank syariah tertentu yang memiliki tunggakan dan dinilai dengan kategori “Kolektabilitas-5” atau “kredit macet”.
Tentulah, semua impiannya tentang perolehan tambahan uang dari keuntungan pengembangan usahanya sirna. Lebih terkejutnya lagi, Bu Nensy dinyatakan memiliki pinjaman senilai lebih dari Rp1,3 miliar dengan agunan sebuah bangunan ruko di daerah Klaten. Dan dengan semua bunganya, tunggakan kreditnya telah menjadi Rp2,5 miliar lebih.
Si perempuan berstatus ibu rumah tangga itu pun terkesima sekaligus sedih. Setelah konsultasi ke beberapa kenalan dan bertanya ke pihak BPR yang sedianya akan memberi pinjaman, maka Bu Nensy menjajaki lebih lanjut perihal statusnya di bank syariah tersebut. Apa yang diperolehnya malah semakin membuatnya terhenyak sekaligus takut untuk melakukan transaksi perbankan terutama pengajuan pinjaman kredit.
Sekalipun memang Bu Nensy yang kebetulan non muslim ini, memiliki buku tabungan/rekening di bank syariah dimaksud, namun selain jumlah saldonya sangat kecil, dia pun memang tak pernah memiliki kredit pinjaman seperti yang dinyatakan padanya.
Lalu dia mengupayakan perolehan informasi lebih jauh seraya meminta pemulihan statusnya pada dokumen “BI-Checking untuk dan atas namanya”. Yang memprihatinkan adalah ternyata, setelah lebih dari 3 bulan sejak diketahuinya dari bank BPR (tempat pengajuan kredit yang menolaknya) barulah catatan Kolektabilitas-5 untuk dan atas namanya dipulihkan sebagaimana diketahui melalui laporan “BI Checking” yang diperoleh dari BI melalui bank syariah tersebut.
Dan ternyata kemudian hari diketahui bahwa informasi pribadinya yang tersimpan pada bank syariah tersebut telah tertukar dengan debitur lain pada bank yang sama. Padahal semua identitas keduanya saling berbeda sama sekali.
Bu Nensy mencoba mengingat-ingat dan berfikir lebih jauh. Pertama, Bu Nensy sama sekali tidak pernah menerima surat peringatan atau surat teguran apapun sama sekali dari bank syariah yang menyatakan dirinya sebagai debitur kolektabilitas-5.
Kedua, kekeliruan catat dengan data tertukar atas nama nasabah/debitur lain telah berlangsung lebih dari setahun. Dia pun tidak habis pikir bagaimana mungkin bisa data-data pribadinya yang tersimpan di bank syariah tersebut tertukar dengan nasabah/debitur lain dan berlangsung sejak lama padahal saldo pada buku tabungannya tak sepadan dengan bayaran cicilan bulanan untuk pinjaman sejumlah Rp1,3 miliar.
Lucunya, sekalipun pihak bank syariah terkait memiliki kewajiban melaporkan semua transaksi dan status keuangan seluruh nasabah dan/ atau debiturnya kepada pihak bank sentral (BI), mengapa pulak pihak BI tak dapat menemukan kesalahan ini dan membiarkan hal ini berlangsung berbulan-bulan? Padahal jelas akan dengan mudah mendeteksi adanya selisih jumlah saldo dan atau ketidaksesuaian antara nama, rekening, agunan, kredit dan cicilan antar nasabah yang tumpang tindih.
Atau sebaliknya jika tidak memiliki sistem/cara mendeteksinya bisa kita bayangkan apa yang terjadi. Berapa banyak potensi kejahatan yang muncul, berapa banyak kejahatan perkreditan yang selama ini berlangsung.
Hasil investigasi, kasus semacam ini sangat banyak terjadi pada perbankan yang memiliki nasabah dari kelompok masyarakat menengah ke bawah yang jumlahnya sangat banyak.
Dari hasil investigasi, dan penelusuran nama dan alamat nasabah/debitur yang informasi/data nya telah tertukar untuk waktu yang sangat lama dengan Bu Nensy, ternyata seorang pria yang cukup dikenal oleh lingkungannya sebagai “pemain mafia kredit perbankan”
Saat ini sekalipun telah melapor kepada pihak kepolisian setempat, kasus Bu Nensy masih belum jelas bagaimana akhirnya. Secara perdata, jelas Bu Nensy mengalami kerugian materil dan telah menjadi korban perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pihak bank syariah terkait.
Perbankan merupakan urat nadi perekonomian Indonesia karena disinilah lalu lintas transaksi keuangan terjadi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi rakyat.
Nasabah memiliki peran penting dalam dunia perbankan karena merupakan salah satu sumber dana utama. Namun, sesuai adagium “Akar dari semua kejahatan adalah uang” dan “dimana ada uang disana ada potensi kejahatan”, maka cenderung potensi timbul praktek kejahatan dengan jumlah korban terbesar adalah dunia perbankan.
Apalagi di masyarakat kita penggunaan uang sebagai alat tukar masih berlangsung untuk taraf pemenuhan “keinginan” bukan sebagai pemenuhan “kebutuhan” masyarakat.
Untuk mewujudkan tujuan perbankan, jaminan dan kualitas hubungan keterikatan (Perjanjian) perbankan dengan masyarakat menjadi utama. Namun dalam prakteknya pihak bank secara sepihak membuat syarat-syarat dan ketentuan yang harus diikuti sepenuhnya oleh nasabah yang mengajukan permohonan dan memiliki kekuatan mengikat.
Dimana biasanya dalam pembuatan perjanjian tersebut, nasabah tidak dalam posisi tawar-menawar (bargaining position) yang menguntungkan karena formulir-formulir perjanjian tersebut tidak dibuat didepan kedua pihak, melainkan disiapkan hanya oleh pihak bank.

Dalam menyelenggarakan fasilitas pinjaman kepada para nasabahnya dan kelangsungan operasional dari perbankan, maka proses penyediaan dana perlu terjamin kelancarannya dengan penerapan manajemen resiko dan identifikasi kualitas peminjam (debitur) juga perlu jaminan disiplin pasar. Sehingga pada gilirannya diperlukan pengaturan tata cara (sistem) pengelolaan informasi debitur yang kemudian dikenal dengan istilah “Sistem Informasi Debitur (SID).(*)
Penulis, Charles HM Siahaan SH, praktisi hukum yang juga Badan Pendiri dan Dewan Pengurus Pusat Gerakan Daulat Desa dan Gerakan Kebajikan Pancasila.