Simada News
Rabu, 17 September 2025
No Result
View All Result
  • News
  • Ekbis
  • Jagad Raya
  • Komunitas
  • Sudut Pandang
  • Simadagros
  • Asahan
  • Simada TV
Simada News
No Result
View All Result
Simada News
No Result
View All Result
  • SMSI
  • google news
  • News
  • Ekbis
  • Jagad Raya
  • Kesehatan
  • Komunitas
  • Labuhan Batu Raya
  • Pesona
  • Sudut Pandang
  • Tokoh
  • SimadaTV
Home Sudut Pandang
Jovi Andrea Bachtiar SH

Jovi Andrea Bachtiar SH

Revisi Undang-Undang KPK, Melemahkan atau Memperkuat?

Simadanews.com by Simadanews.com
28 September 2019 | 17:33 WIB
in Sudut Pandang
Share on FacebookShare on Twitter

SUATU keniscayaan bagi kaum intelektual di tanah air mengetahui adanya pandangan dari Pramoedya Ananta Toer yang menyatakan bahwa, “Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.”.

Penyikapan terhadap agenda Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), baik mendukung atau menolak seharusnya dilakukan berdasarkan pada obyektivitas keilmuan hukum, khususnya berkaitan dengan bidang Hukum Pidana, Hukum Administrasi Negara, dan Hukum Tata Negara.

Sebab secara substansial perubahan terhadap UU KPK mencakup wacana pembentukan Dewan Pengawas, pengaturan terkait mekanisme perijinan dalam proses penyadapan, dan pemberian kewenangan kepada penyidik lembaga anti rasuah tersebut untuk menerbitkan Surat Penghentian Penyidikan dan Penuntutan Perkara (SP3).

Sehingga perlu bagi kalangan akademisi maupun praktisi hukum sejak awal sebelum menentukan arah penyikapan terhadap isu yang beredar di masyarakat untuk melakukan pengkajian secara komprehensif terkait substansi perubahan sebagaimana menjadi politik huku (rechtpolitiek) dalam agenda revisi UU KPK.

Hal tersebut bertujuan untuk menghindari adanya bias pemahaman terhadap isu utama yang berpotensi menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Terlebih secara teoritis perubahan terhadap peraturan perundang-undangan dalam kerangka konseptual Civil Law System sangat mungkin terjadi. Karena pada hakikatnya, hukum akan selalu berjalan tertinggal secara tertatih-tatih di belakang suatu peristiwa (het recht hinkt achter de feiten aan). 

Adagium tersebut memang terkesan sangat puitis tetapi demikian realita yang terjadi dalam proses pembentukan dan penerapan peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Pembentukan Dewan Pengawas, Apa Pentingnya? 

Sebelum menjawab pertanyaan terkait urgensi pembentukan Dewan Pengawas di tubuh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sangat diperlukan adanya pemahaman mengenai kedudukan lembaga anti rasuah tersebut dalam struktur ketatanegaraan di tanah air.

KPK yang dibentuk dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 merupakan lembaga negara bantu (State Auxiliary Institution) sebagaimana dalam pelaksanaan fungsinya tidak memposisikan diri sebagai salah satu dari tiga lembaga kekuasaan sesuai teori Trias Politica.

Lembaga negara bantu dalam studi Hukum Tata Negara (Constitutional Law) juga sering disebut sebagai cabang kekuasaan keempat (The Fourth Branch of Executive). 

Kategori lembaga negara demikian memang secara normatif tidak disebutkan dalam Undang-Undang Dasar. Namun, tidak tepat pula dikatakan terdapat larangan untuk membentuknya. Sebab ada suatu konsep pemikiran hukum yang tidak terlepas dari asas legalitas sebagaimana menyatakan bahwa, “jika tidak diatur, maka dapat diartikan adanya perbuatan yang boleh untuk dilakukan.” Sehingga pembahasan selanjutnya harus ditujukan untuk mengetahui politik hukum di balik pembentukan UU KPK a quo. 

Merujuk Pasal 3 UU KPK diketahui bahwa lembaga negara bantu ini didirikan dengan tujuan untuk melakukan pemberantasan terhadap praktik tindak pidana korupsi secara independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.

Isu hukum (legal issue) terkait independensi KPK semakin muncul ke permukaan menjadi bahan perdebatan yang cukup hangat ketika Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 36/PUU-XV/2017 menegaskan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki hak angket terhadap lembaga anti rasuah tersebut. Kini pembahasan terkait independensi KPK kembali menguat pasca munculnya wacana pembentukan Dewan Pengawas dalam agenda revisi terhadap UU KPK.

Perbedaannya terletak pada jenis pengawasan yang menjadi fokus kajian. Hak DPR untuk mengajukan angket terhadap KPK termasuk dalam kerangka konseptual terkait sistem pengawasan politik antar lembaga negara. Sedangkan keberadaan Dewan Pengawas dalam agenda Revisi UU KPK tidak terlepas dari adanya teori pengawasan internal. Pertanyaannya, “apakah KPK perlu diawasi?” Secara kelembagaan tentu KPK perlu diawasi.

Hal ini tidak terlepas dari adanya adagium yang dikemukakan oleh Lord Acton, “power tends to corrupt, absolute power tends to corrupt absolutely.” Setiap kekuasaan tentu terdapat kemungkinan untuk terjadinya penyimpangan. Pertanyaan selanjutnya, “apakah penyimpangan yang mungkin terjadi di dalam tubuh KPK?” Setidaknya terdapat 3 (tiga) jenis penyimpangan yang sangat mungkin terjadi di dalam KPK. 

Pertama, penyimpangan dalam alokasi dan penggunaan anggaran secara institusional. Kedua, penyimpangan terkait fungsi KPK sebagai organ yang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi sebagaimana dilakukan oleh pejabat pemerintahan. Ketiga, penyimpangan terhadap etika profesi dalam menyelenggarakan fungsi dan tugas pokok.

Jenis penyimpangan pertama tersebut selanjutnya dapat dipahami berupa adanya penyimpangan terkait pengalokasian dan penyerapan anggaran tahunan KPK sebagai lembaga bantu negara (state auxiliary institution). Selain itu, tidak menutup kemungkinan adanya praktik korupsi di dalam tubuh KPK sekalipun para komisioner telah mendapatkan gaji pokok dan tunjangan jabatan yang cukup besar secara nominal.

Permasalahan terkait penyimpangan dalam pengalokasian dan penyerapan anggaran tahunan telah dapat diatasi dengan sistem pengawasan politik melalui hak angket DPR yang memiliki fungsi anggaran berdasarkan Pasal 69 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Namun, permasalahan terkait mekanisme penyelesaian hukum atas kemungkinan terjadinya korupsi di tubuh KPK masih menjadi perdebatan yang cukup hangat dan memiliki urgensi tersendiri untuk segera ditemukan solusi terbaik.

Mengingat terdapat asas hukum yang menyatakan bahwa tiada satupun orang atau lembaga yang dapat menjadi hakim untuk perkaranya sendiri (nemo judex indoneus in propria causa). Selain besaran gaji pokok dan tunjangan kerja yang besar, agenda pembentukan Dewan Pengawas dalam revisi UU KPK memiliki tujuan yang sama untuk mencegah adanya penyimpangan baik berupa praktek korupsi internal kelembagaan (suap dan/atau gratifikasi), permasalahan etika profesi, maupun penyimpangan dalam kinerja pelaksanaan tugas dan fungsi.

Peristiwa Cicak vs Buaya yang terjadi pada pertengahan tahun 2014 silam hingga berujung pada batal dilantiknya Budi Gunawan sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia pasca penetapan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi tepat 3 (tiga) hari sebelum Fit and Proper Test di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) secara historis menunjukan urgensi tersendiri untuk membentuk Dewan Pengawas.

Sebab suatu kejanggalan apabila KPK baru menetapkan seseorang sebagai tersangka untuk kasus yang telah dilakukan penyelidikan lebih dari 2 (dua) tahun. Padahal syarat untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka menurut Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak sulit, yaitu minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana telah ditegaskan kembali oleh Mahkamah Konstitusi secara mutatis mutandis dalam Putusan Nomor 20/PUU-XIV/2016.

Artinya, cukup bagi KPK untuk menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka jauh sebelum hari diselenggarakannya fit and proper test di DPR hanya berdasarkan bukti berupa surat, transkip hasil penyadapan dari operator jaringan seluler berkaitan dengan proses penyelidikan tindak pidana korupsi, dan/atau keterangan saksi.

Hal ini selaras dengan doktrin terkait Sunrise Principle dalam proses penyidikan yang memberikan kemungkinan berupa kemudahan bagi penyidik untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Kenyataan empiris tersebut memberikan pengetahuan secara implisit kepada masyarakat bahwa terdapat kemungkinan permainan atau intrik dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntuan yang dilakukan oleh oknum KPK, khususnya pada proses penetapan seseorang sebagai tersangka tindak pidana korupsi.

Meskipun keberadaan Dewan Pengawas diperlukan untuk melakukan pengawasan secara internal kelembagaan KPK. Namun, perlu dilakukan pengkajian lebih mendalam terkait mekanisme dan prosedur serta output dari pengawasan yang akan dilakukan oleh Dewan Pengawas. Keberadaan dari Dewan Pengawas tidak akan cukup optimal apabila tidak diikuti oleh adanya revisi terhadap ketentuan terkait Larangan (Pasal 36 dan Pasal 37) serta Sanksi (Pasal 65 s/d Pasal 67) UU KPK.

Revisi tersebut diperlukan untuk merumuskan ulang terkait klasifikasi pelanggaran etika dan perbuatan pidana yang mungkin dilakukan oleh Pimpinan maupun Anggota KPK. Sebab secara normatif, terdapat keanehan dalam formulasi larangan beserta sanksi yang mungkin dapat diberikan kepada Pimpinan dan Anggota KPK berdasarkan pengaturan a quo.

Pertama, tiadanya pembedaan secara spesifik antara larangan yang berkaitan dengan etika profesi dan perbuatan pidana dalam melaksanakan perintah jabatan sebagaimana diberikan oleh undang-undang.

Kedua, Pasal 36 UU KPK mencampuradukan larangan mengenai etika profesi dengan perbuatan pidana dalam melaksanakan perintah jabatan. Misalnya, seorang Pimpinan dan/atau anggota KPK dapat dipidana penjara maksimal 5 (lima) tahun apabila melakukan rangkap jabatan sebagai komisaris atau direksi suatu perseroan, organ yayasan, pengurus koperasi, dan jabatan profesi lainnya. Sehingga patut dipahami bahwa kebutuhan akan Dewan Pengawas seharusnya tidak memberikan kewenangan kepada sub-organ dalam institusi KPK tersebut untuk melakukan proses pemidanaan secara pro justitia terhadap Pimpinan dan/atau Anggota lembaga anti rasuah.

Melainkan semata-mata untuk menegakan etika dan memastikan kinerja Pimpinan dan/atau Anggota KPK sesuai dengan Standard Operational Procedure (SOP) yang telah ditetapkan, baik berdasarkan peraturan perundang-undangan maupun peraturan internal kelembagaan.

Keluaran (output) dari pengawasan internal yang dilakukan oleh Dewan Pengawas seharusnya hanya ditujukan sebagai rekomendasi bagi Presiden untuk memberhentikan Pimpinan lembaga anti rasuah yang terbukti melakukan pelanggaran etika profesi dalam melaksanakan tugasnya. Sebab Pasal 32 ayat (3) UU KPK a quo menyatakan bahwa pemberhentian terhadap Pimpinan KPK ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia.

Salah satu alasan bagi Presiden untuk menetapkan pemberhentian terhadap Pimpinan KPK berdasarkan Pasal 32 ayat (1) angka 3 UU KPK adalah karena dikenai sanksi berdasarkan undang-undang tersebut. Sehingga dapat diperoleh pemahaman bahwa adanya suatu keharusan bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat untuk merumuskan secara spesifik terkait jenis larangan bagi Pimpinan dan/atau Anggota KPK, baik berkaitan dengan etika profesi maupun sanksi terhadap perbuatan pidana yang dilakukan dalam jabatan.

Sebagai acuan dalam pembentukan norma terkait kedudukan dan kewenangan Dewan Pengawas, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama dengan Presiden dapat merujuk pada pengaturan terkait Majelis Kehormatan Konstitusi sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2014.

Perlukah Penyadapan Dilakukan oleh KPK atas Ijin Tertulis dari Dewan Pengawas?

Isu hukum (legal issue) yang terdapat di dalam pertanyaan tersebut berkaitan dengan konstitusionalitas mekanisme persetujuan tertulis pihak ketiga (the third party written approval) pada proses hukum sebagaimana dilakukan oleh KPK terhadap subyek hukum yang diduga melakukan tindak pidana korupsi.

Merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XII/2014 perihal Pengujian Pasal 224 dan Pasal 245 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diketahui bahwa mekanisme persetujuan tertulis pihak ketiga pada proses hukum, baik penyelidikan, penyidikan, maupun penyidikan tidak bertentangan dengan konstitusi.

Berbeda dengan penegasan terhadap kedua ketentuan dalam UU MD3 tersebut, mekanisme persetujuan tertulis pihak ketiga pada proses hukum yang dilakukan oleh KPK tidak terlepas dari raison d’etre berupa perlindungan terhadap hak privasi (privacy rights) sebagaimana merupakan bagian hak asasi manusia dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR). Konstruksi pemikiran demikian selaras dengan sistem Due Process of Law yang diterapkan di Indonesia.

Sistem tersebut berpostulat pada suatu pemahaman secara komprehensif terhadap pentingnya hak asasi manusia dalam upaya penegakan hukum pidana materiil. Artinya, penyadapan seharusnya dilakukan oleh KPK berdasarkan prosedur baku dalam peraturan perundang-undangan untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan (abuse of power). Sebab sekalipun pada proses penyelidikan KPK telah memperoleh bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka. Namun, praduga tidak bersalah (presumption of innoncence) harus diterapkan selama proses hukum berlangsung hingga memperoleh kekuatan hukum mengikat (in kracht van bewijz) melalui putusan lembaga peradilan.

Penyadapan dilakukan oleh KPK tidak diperkenankan apabila berlandaskan pada asumsi bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana tanpa berdasarkan bukti permulaan yang cukup.

Sebab terdapat suatu asas hukum in dubio pro reo yang sangat relevan untuk menegaskan adanya larangan menggunakan asumsi dalam proses penegakan hukum pidana materiil, yaitu lebih baik membebaskan 1000 orang bersalah dibandingkan menghukum 1 orang tidak bersalah.

Asas tersebut menjadi sangat penting untuk dipahami karena sistem pembuktian yang diterapkan di Indonesia adalah pembuktian negatif (negative wettelijk bewijz theorie). 

Pembuktian menitikberatkan pada keyakinan hakim yang disertai dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Ketentuan demikan dapat dilihat dari rumusan Pasal 193 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan bahwa, “hakim tidak boleh menjatuhkan putusan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan, bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”. 

Pelaksanaan proses penyadapan oleh KPK seharusnya dilakukan berdasarkan pada prosedur baku sebagaimana dinyatakan secara expressis verbis dalam Undang-Undang. Sebab kewenangan penyadapan yang diberikan kepada KPK secara normatif sedikit berbeda dengan penyadapan terhadap seseorang sebagaimana diduga merupakan pelaku tindak pidana terorisme.

KPK berdasarkan Pasal 12 ayat (1) huruf a UU KPK dapat melakukan penyadapan mulai dari tahap penyelidikan. Sementara penyadapan menurut Pasal 31 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Terorisme menjadi Undang-Undang hanya dapat dilakukan berdasarkan bukti permulaan yang cukup, yaitu pada tahap atau guna kepentingan penyidikan. Ketentuan demikian secara lex generalis selaras dengan rumusan dalam Pasal 47 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981.

Bahkan penyadapan hanya dapat dilakukan setelah mendapat ijin atau berdasarkan perintah dari Ketua Pengadilan Negeri. Artinya, sejak awal pembentukannya UU KPK secara substansial dapat dikatakan telah berorientasi pada pelanggaran terhadap prinsip perlindungan hak asasi manusia dalam kerangka konseptual terkait sistem Due Process of Law. Sehingga perlu adanya pembaharuan hukum terkait kewenangan KPK dalam melakukan penyadapan.

Terlebih Pasal 31 juncto Pasal 47 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebaimana telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 mengatur terkait larangan penyadapan dengan sanksi berupa pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (Delapan Ratus Juta Rupiah).

Bahkan perluasan obyek praperadilan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 menjadi dasar bagi penyelidik maupun penyidik KPK agar berhati-hati dalam melakukan penyadapan. Sebab penetapan status tersangka yang dilakukan berdasarkan bukti sebagaimana diperoleh secara melawan hukum dapat menjadi obyek praperadilan dan berpotensi menurunkan kredibilitas lembaga anti rasuah tersebut.

Sehingga perlu ada pembaharuan mekanisme dan prosedur baku terkait penyadapan yang dilakukan oleh KPK. Setidaknya penyadapan dilakukan harus berdasarkan pada bukti permulaan yang cukup. Seandainya pembentuk undang-undang menginginkan mekanisme kontrol pihak ketiga dalam kegiatan penyadapan, maka pihak ketiga yang mendekati standar kepatutan untuk terlibat dalam proses perijinan melakukan penyadapan adalah Mahkamah Agung dan bukan Dewan Pengawas.

Usulan demikian hanya dapat dipahami apabila merujuk pada ketentuan terkait penyadapan dalam Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. Penyadapan secara normatif dan lex generalis hanya dapat dilakukan setelah mendapat ijin atau berdasarkan perintah dari Ketua Pengadilan Negeri.

Terdapat 2 (dua) rasio pemikiran terhadap usulan terkait politik hukum pemberian kedudukan dan kewenangan kepada Mahkamah Agung untuk memberikan ijin atau persetujuan tertulis dilakukannya penyadapan oleh KPK.

Pertama, Pasal 56 UU KPK yang berlaku a quo secara expressis verbis menyatakan bahwa Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terdiri atas hakim Pengadilan Negeri dan hakim ad hoc. Artinya, sekalipun tindak pidana korupsi termasuk dalam hukum pidana khusus tetapi proses peradilan tetap diselenggarakan di lingkungan peradilan umum sebagaimana secara struktural kelembagaan berdasarkan Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman berada di bawah Mahkamah Agung.

Kedua, meskipun kepolisian dan kejaksaan masing-masing dapat melakukan penyelidikan serta penyidikan terhadap perkara tindak pidana korupsi. Namun, terdapat kemungkinan perkara tersebut diambil alih oleh KPK sebagaimana merupakan lembaga bantu negara yang berkedudukan di Jakarta (centralized organ). 

Artinya, ada kemungkinan perkara tindak pidana korupsi langsung diproses sejak tahap penyelidikan hingga penuntutan oleh KPK tanpa menunggu proses hukum dari kepolisian dan kejaksaan yang bersangkutan. Sehingga untuk efisiensi dan efektivitas kinerja KPK, mekanisme persetujuan tertulis pihak ketiga guna kepentingan penyadapan seharusnya diberikan kepada Mahkamah Agung dan bukan Dewan Pengawas.

Pengawasan terhadap KPK dalam melakukan penyadapan memang diperlukan untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan. Namun, pemberian kewenangan kepada Dewan Pengawas untuk menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyadapan dalam Pasal 12A, Pasal 12B, Pasal 12C, Pasal 12D, dan Pasal 12E Draft RUU KPK secara konstruksi hukum berpotensi menimbulkan permasalahan hukum pada proses penerapannya.

Pertama, apabila penyelidik dan penyidik KPK telah melakukan penyadapan sebelum ijin tertulis diberikan oleh Dewan Pengawas dan Dewan Pengawas menolak permohonan ijin susulan yang diajukan oleh KPK dalam jangka waktu 1×24 jam pasca dilakukannya penyadapan, maka penetapan tersangka berdasarkan bukti permulaan sebagaimana diperoleh dari penyadapan tanpa ijin tersebut menjadi dasar bagi seseorang untuk mengajukan praperadilan. Sebab ternyata penyadapan dilakukan oleh penyelidik dan/atau penyidik KPK secara melawan hukum.

Kedua, pemberian kewenangan kepada Dewan Pengawas untuk menentukan penyadapan yang akan dilakukan oleh KPK berpotensi menimbulkan konflik internal kelembagaan dan menghambat laju pemberantasan tindak pidana korupsi.

Sebab keputusan Dewan Pengawas dalam mekanisme penyadapan pada proses penyelidikan dan penyidikan berdasarkan Pasal 2 huruf d Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara tidak termasuk sebagai obyek Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang dapat diajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sekalipun gugatan untuk meminta agar Pengadilan menetapkan dikeluarkannya Surat Ijin atau keputusan diakomodir dengan Pasal 53 ayat (5) dan ayat (6) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Perbedaan pandangan antara Pimpinan KPK dengan Dewan Pengawas berpotensi pada dilakukannya penyadapan secara melawan atau melanggar hukum karena Dewan Pengawas menolak permohonan persetujuan tertulis yang diajukan oleh KPK.

Adapun keterlibatan Dewan Pengawas dalam proses penyadapan seharusnya sebatas hanya memberikan pertimbangan bagi KPK sebelum mengajukan permohonan persetujuan tertulis kepada Mahkamah Agung.

Perlukah KPK diberikan kewenangan untuk menerbitkan Surat Penghentian Penyidikan dan Penuntutan Perkara (SP3)?

Diskursus terkait pemberian kewenangan kepada KPK untuk menerbitkan Surat Penghentian Penyidikan dan Penuntutan Perkara (SP3) secara teoritis tidak terlepas dari keberadaan doktrin Sunrise Principle dan Sunset Principle dalam proses penegakan hukum pidana materiil.

Sunrise Principle secara sederhana dapat dipahami sebagai suatu landasan bagi penyidik untuk menetapkan status seseorang sebagai tersangka dan melanjutkan proses hukum terhadapnya apabila ditemukan bukti permulaan yang cukup.

Sedangkan Sunset Principle merupakan prinsip hukum acara pidana yang memberikan hak bagi penegak hukum (baik kepolisian maupun kejaksaan) menghentikan proses penyidikan dan penuntutan apabila bukti sebagaimana telah ditemukan sebelumnya tidak cukup kuat untuk dirumuskan dalam matrikulasi Surat Dakwaan di persidangan.

Penerapan Sunrise Principle dan Sunset Principle masing-masing dapat ditemukan pengaturannya dalam Pasal 1 angka 14 dan Pasal 7 ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Secara kasuistis, perkara tindak pidana korupsi pada program kebijakan Payment Gateway Passport yang sempat muncul ke permukaan pada pertengahan tahun 2014 silam merupakan salah satu alasan tersendiri terkait urgensi pemberian kewenangan kepada KPK menerbitkan Surat Penghentian Penyidikan dan Penuntutan Perkara (SP3) apabila bukti yang ditemukan tidak cukup kuat untuk mengubah status seseorang dari tersangka menjadi terdakwa atau bahkan terpidana.

Prinsip kehati-hatian harus menjadi acuan bagi KPK dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan serta menetapkan status seseorang sebagai tersangka tindak pidana korupsi. Sebab sistem Due Process of Law diterapkan dengan tujuan agar terciptanya iklim obyektivitas dalam proses penegakan hukum di Indonesia yang mengacu pada prinsip perlindungan terhadap hak asasi manusia.

Status quo berdasarkan pengaturan dalam UU KPK pasca dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016, seorang yang ditetapkan sebagai tersangka dengan bukti permulaan bersifat premature hanya dapat mengajukan pembatalan penetapan status tersebut sebagaimana berimplikasi pada pemberhentian proses penyidikan dan penuntutan melalui mekanisme praperadilan.

Kontras dengan UU KPK yang berlaku a quo, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memberikan kewenangan kepada penyidik untuk menghentikan penyidikan apabila tidak ditemukan bukti yang cukup kuat dalam rangka melanjutkan proses hukum terhadap seseorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka sebelumnya.

Artinya, UU KPK belum mengakomodir hak-hak tersangka untuk diadili berdasarkan bukti permulaan yang cukup.

Padahal secara normatif terdapat perbedaan makna antara tersangka dan terpidana yang seringkali bias dipahami oleh masyarakat. Seorang yang telah terlanjur ditetapkan sebagai tersangka sering mendapatkan intimidasi bahwa ia adalah pelaku tindak pidana.

Lantas, bagaimana jika penetapan status seseorang sebagai tersangka tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan bukti permulaan yang tidak cukup? Apakah seseorang tersebut wajib untuk selamanya dalam jangka waktu yang tidak ditentukan oleh perundang-undangan tetap mengemban status sebagai tersangka sementara penetapan tersebut dilakukan secara melawan hukum? Jawaban terkait pertanyaan, “Apakah Revisi UU KPK dapat dipersamakan dengan melemahkan lembaga anti rasuah tersebut?” dikembalikan kepada masing-masing pribadi.

Sebab standar noetika seseorang dalam memahami suatu permasalahan berbeda tergantung pada latarbelakang pendidikan, niat dalam penyikapan, dan afiliasi politik tertentu. Namun, sebagai seorang Sarjana Hukum hendaknya argumentasi hukum lebih utama untuk digunakan daripada sekedar agitasi politik bersifat propagandis semata. Salam Konstitusi!!!. (*)

Penulis: Jovi Andrea Bachtiar SH, Sarjana Hukum, Departemen Hukum Tata Negara, Universitas Gadjah Mada

 

 

Share224Tweet140Pin50

Berita Terkait

Hermanto Hamonangan Sipayung, SH, CIM

Amnesti-Abolisi Hasto dan Lembong:  Bukan Sekadar Maaf tapi Peluang Koreksi Hukum

01/08/2025

PEMBERIAN  amnesti dan abolisi kepada Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong dalam kasus menyeret nama mereka ke dalam pusaran polemik hukum,...

PILKADA 2024, ANAK MUDA BISA APA?

02/07/2024

PEMILU  Tahun 2024 sudah selesai, sebentar lagi pemilihan kepala daerah yang hakikinya dilaksanakan sekali setiap lima tahun akan dimulai. Secara...

Aspek Positif dan Negatif dari Perubahan Umur Calon Presiden dan Wakil Presiden

04/06/2024

PEMILIHAN Presiden pertama kali di Indonesia bukan dari pemilihan umum yang langsung dipilih oleh rakyat. Pemilihan Presiden pada awal tahun...

Prof Dr Heri Budi Wibowo

Indonesia Menuju Swasembada Pangan dan Makan Siang Gratis dengan Modifikasi Cuaca

17/05/2024

KETAHANAN pangan menjadi salah satu sasaran program jangka Panjang pemerintah sampai tahun 2040 menuju Indonesia emas. Target utama dari ketahanan...

Pematangsiantar Butuh Pemimpin Berani dan Akses Alternatif Hadirkan Dana Pembangunan

16/04/2024

SimadaNews.com-Pemilihan kepala daerah, termasuk di Kota Pematangsiantar, menjadi sorotan pada tahun ini. Sejumlah calon wali kota potensial telah mulai muncul...

Selamat Datang Era Legitimasi Vs Legalitas

16/02/2024

PUJI Syukur pada Sang Ilahi ! Pemilu Serentak 2024 sampai saat ini berjalan sesuai agendanya.. Ternyata jnggulan pilihan politik perwakilan...

Berita Terbaru

News

Traffic Light Sering Mati, Terminal Bayangan Masih Marak di Kota Siantar

17 September 2025 | 07:44 WIB
News

DPRD Tolak Kehadiran Bajai Online di Kota Pematangsiantar

16 September 2025 | 21:23 WIB
News

Amaliun Hotel Apresiasi Layanan Indibiz Telkom Pada Hari Pelanggan Nasional 2025

16 September 2025 | 20:51 WIB
News

PW KAMMI Sumut Gelar Diskusi Kebangsaan: Supremasi Sipil dan Desakan Investigasi Kerusuhan Agustus jadi Sorotan

16 September 2025 | 20:30 WIB
News

DPRD Soroti Hilangnya Program Kota Layak Anak di Pematangsiantar

16 September 2025 | 20:12 WIB
News

Pagi Tragis di Huta Baru Simantin Pane Dame, Seorang Petani Akhiri Hidup di Ladang Jagung

16 September 2025 | 09:24 WIB
News

Telkom Sumut Gelar Health Leaders Gathering Bersama Rumah Sakit se-Sumatera Utara

15 September 2025 | 21:28 WIB
News

IIER dan PSPK Sukses Gelar Workshop Keamanan Anak di Ruang Digital

15 September 2025 | 20:31 WIB
News

Enam Hari Tak Keluar Rumah, Hotma Justina Sidabalok Ditemukan Sudah Meninggal

15 September 2025 | 16:38 WIB
News

Wesly Silalahi Hadiri Penutupan Dikmata Infanteri TNI AD Gelombang II TA 2025

14 September 2025 | 16:32 WIB
News

Rumah Wartawan di Pematangsiantar Didobrak OTK, Keluarga Ketakutan

14 September 2025 | 14:25 WIB
News

Wesly Silalahi Lepas Atlet Wushu Naga Sakti Bertanding ke Malaysia

13 September 2025 | 19:38 WIB
  • Redaksi
  • Terms
  • Policy
  • Pedoman

© 2018-2024 Simada News

rotasi barak berita hari ini danau toba sumber

  • slot gacor
  • slot gacor
  • slot gacor
  • slot gacor
  • slot gacor
  • slot gacor
  • slot gacor
No Result
View All Result
  • News
  • Ekbis
  • Jagad Raya
  • Komunitas
  • Sudut Pandang
  • Simadagros
  • Asahan
  • Simada TV

© 2018-2024 Simada News

rotasi barak berita hari ini danau toba sumber

xnxx