PASAL 28 I ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dengan tegas mengatakan, bahwa “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
Adat budaya Batak mencakup kehidupan manusia sejak dalam kandungan, lahir, dewasa, perkawinan, meninggal, digali tulang-belulangnya serta beraneka ragam elemen segmen kehidupan dalam arti seluas-luasnya.
Jadi, adat budaya tidak bisa dipandang dari skop kecil, dangkal dan seremonial belaka. Bahkan, sanksi sosial “tak beradat” jauh lebih berat dibanding “tak beragama”.
Apakah pandangan seperti itu dianggap keliru atau salah?
Bagi orang-orang mabuk budaya luar, kecanduan agama yang rela membunuh bangsa sendiri demi menegakkan budaya asing sebagaimana dikatakan Bung Karno akan memvonis pandangan seperti itu adalah keliru dan salah.
Mereka lupa atas apa wejangan Sang Proklamator, Penggali Pancasila 1 Juni 1945, Presiden RI Pertama, Bapak Bangsa, mengatakan, “Kalau jadi Hindu janganlah jadi India. Kalau jadi Islam janganlah jadi Arab. Kalau jadi Kristen janganlah jadi Yahudi. Tetaplah jadi orang Nusantara dengan adat budaya Nusantara yang kaya raya ini”.
Adat ialah aturan (perbuatan,dsb) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala; cara (kelakuan, dsb) yang sudah menjadi kebiasaan; wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan yang satu dengan yang lainnya berkaitan menjadi suatu sistem.
Sedangkan budaya ialah pikiran; akal budi; adat istiadat; sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang (beradab, maju); sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sudah sukar diubah.
Dan dalam hal ini, babi sesungguhnya adalah ciptaan Ilahi serta merupakan adat istiadat masyarakat Bangso Batak yang juga bagian dari suku budaya bangsa Indonesia itu sendiri yang mustahil untuk dimusnahkan, apalagi babi sebagai adat istiadat kearifan lokal masyarakat semesta. (*)
Penulis: Mario Oktavianus Sinaga, aktivis Batak Muda Dunia