SimadaNews.com – Para koruptor yang memiliki tanah kini boleh jadi deg-degan. Aset yang mereka yang peroleh dari perbuatan haram itu akan mudah terlacak latar belakang kepemilikannya. Hal itu bisa dilakukan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) lewat sistem yang disebut single administration atau integrasi data pertanahan, perumahan, dan data properti. “Dengan (single administration) ini akan membuat pencarian pemilik tanah dengan harta yang halal atau haram akan lebih mudah,’’ tegas Menteri ATR/BPN Sofyan A. Djalil dalam forum JUMATAN – Jumpa PPATK Pekanan, akhir pekan lalu di Kantor Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) di Jakarta.
“Kami tidak bisa menangkap, tapi kami dapat membantu aparat penegak hukum,’’ tegas Menteri Sofyan lagi. Lebih jauh ia menegaskan komitmen Kementerian ATR/BPN dalam mendukung penegakkan hukum, khususnya anti pencucian uang.
Mengenai isu mafia tanah, Menteri Sofyan tegas menjawab bahwa kementerian yang dipimpinnya itu secara sistematik memerangi praktik mafia tanah tersebut. Ia menguraikan praktik “bersih-bersih” di internal Kementerian ATR/BPN terhadap mereka yang terlibat mafia tanah. Sejumlah sanksi diberlakukan di antaranya dalam bentuk pencopotan, penurunan pangkat (demosi), pemindahan ke tempat lain alias dimutasi, non-job, dan berbagai tindakan lainnya guna memberikan penghukuman dan efek jera.
Menteri Sofyan menegaskan bahwa Kementerian ATR/BPN sangat serius dan pantang kalah dalam memerangi mafia tanah. Hal ini mengingat seringnya terjadi kasus penyalahgunaan sertifikat tanah oleh mafia tanah. “Ini merupakan bagian dari program pemerintah yang sangat ingin memerangi mafia tanah, dengan tujuan akhir menciptakan pertanahan lebih baik,” ucap Menteri Sofyan dalam siaran pers, Kamis (03/06/2021). Dia mengungkapkan, Pemerintah tidak boleh kalah oleh mafia tanah karena negara harus tampil melindungi hak-hak masyarakat.
Dalam kesempatan itu, Menteri Sofyan juga menjelaskan mengenai pengembangan kerja sama antara Kementerian ATR/BPN dengan PPATK dalam membina profesi Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT). Termasuk menekankan perlunya PPAT menerapkan Prinsip Mengenal Pengguna Jasa (PMPJ) atau yang juga dikenal know your customer. Dengan menerapkan PMPJ ini tidak tertutup kemungkinan PPAT akan melaporkan transaksi jual beli tanah yang mencurigakan kepada PPATK sebagai Key Performance Indicator (KPI) dari PPAT. Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak koruptor menyembunyikan harta kekayaannya dalam bentuk aset berupa tanah dan property.
“Kita akan tekankan bahwa setiap upaya menjadikan transaksi tanah sebagai bagian dari pencucian uang, penghindaran pajak, dan segala kejahatan lainnya,” pungkas Menteri Sofyan. Ia menjelaskan bahwa data pertanahan akan sangat krusial dalam membantu proses penegakkan hukum, sekaligus mendorong optimalisasi asset recovery.
Apa yang dilakukan oleh Kementerian ATR/BPN ini tampaknya sejalan dengan cita-cita Kepala PPATK Dian Ediana Rae. Dian pernah mengungkapkan bahwa berdasarkan hasil pemantauan PPATK, bahwa upaya asset recovery atas hasil tindak pidana di Indonesia belum optimal, khususnya perampasan terhadap hasil tindak pidana yang tidak dapat atau sulit dibuktikan tindak pidananya, termasuk di antaranya hasil tindak pidana yang dimiliki atau berada dalam penguasaan tersangka atau terdakwa yang telah meninggal dunia.
Dengan melacak kepemilikan tanah atau properti berdasarkan transaksi yang dicatat oleh Pejabat Pembuat Akte Tanah/PPAT maka praktis nanti akan memudahkan upaya asset recovery dengan merampas kembali tanah atau properti atas hasil tindak pidana korupsi.
Pembahasan RUU Perampasan Aset Dalam Tindak Pidana
Kini di DPR sedang dibahas RUU Perampasan Aset Dalam Tindak Pidana, yang mengatur upaya paksa yang dilakukan oleh negara untuk mengambil alih penguasaan dan/atau kepemilikan Aset Tindak Pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap tanpa didasarkan pada penghukuman terhadap pelakunya
“Yang dimaksud dengan Perampasan Aset Terkait Dengan Tindak Pidana dalam RUU ini adalah upaya paksa yang dilakukan oleh negara untuk mengambil alih penguasaan dan/atau kepemilikan Aset Tindak Pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap tanpa didasarkan pada penghukuman terhadap pelakunya,” jelas Dian.
Dian mengakui bahwa selama ini regulasi di Indonesia memiliki keterbatasan dalam melakukan penyelamatan aset (asset recovery) yang merupakan hasil tindak pidana. Belum adanya UU tentang asset recovery membuat pelaku kejahatan dan pencucian uang tidak jera terhadap hukuman yang diterimanya karena yang bersangkutan masih dapat menikmati harta – dalam bentuk uang, tanah, atau properti – dari hasil kejahatannya setelah menjalani hukuman badan.
Dengan UU Perampasan Aset (jika sudah diketok palu oleh DPR nantinya) maka Dian berharap instrumen hukum ini dapat digunakan untuk mengejar aset hasil kejahatan – bukan terhadap pelaku kejahatan. Dengan demikian, keberadaan UU Perampasan Aset telah mengubah paradigma dari hukum pidana mulai dari yang paling tradisional, yakni untuk menimbulkan efek jera dengan suatu pembalasan (retributionist), bahkan yang paling mutakhir sekalipun, yakni rehabilitasi (rehabilitationist).
Kepala PPATK itu meyakini bahwa dengan ditetapkannya RUU Perampasan Aset Dalam Tindak Pidana dapat membantu pengembalian kerugian negara baik yang berasal dari hasil tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, dan tindak pidana ekonomi lainnya. “Upaya penegakan hukum kejahatan ekonomi tidak akan pernah tuntas tanpa menimbulkan efek jera kepada para pelaku kejahatan, yang hanya dapat dilakukan melalui penerapan pasal-pasal pencucian uang dan mekanisme pemulihan kerugian negara (asset recovery) yang efektif,’’ jelasnya.
Kini Kementerian ATR/BPN bersama PPATK sedang dalam proses pembangunan Nota Kesepahaman untuk makin melancarkan kerja sama yang telah terbangun secara konstruktif – khususnya dalam membantu proses penegakkan hukum, sekaligus mendorong optimalisasi asset recovery. (***)