SimadaNews.com-Revisi UU Desa telah sampai kepada tahap pembahasan tingkat I oleh DPRRI melalui Baleg dengan Pemerintah dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri pada tanggal 6 Pebruari 2024 lalu.
Hasilnya menyetujui Revisi UU Desa untuk dilanjutkan kepada tahap pembahasan tingkat 2 yakni pengambilan keputusan rapat paripurna yang kabarnya akan diadakan pasca Pemilu 2024 mendatang.
Dalam kesepakatan yang menjadi poin krusial mengenai revisi masa jabatan Kepala Desa yang sebelumnya 6 tahun perperiode maksimal 3 periode menjadi 8 tahun per periode maksimal 2 periode.
JAMSU sebagai jaringan NGO yang konsen dalam isu desa dan demokrasi berpandangan bahwa genjotan pembahasan Revisi UU Desa ini terkesan memanfaatkan momentum politik yang tinggal hitungan hari, bukan hal substansial untuk kemajuan desa.
Hal ini jelas diakui oleh Koordinator
Nasional Desa Bersatu, Asri Anas menyebut pengesahan revisi UU Desa tidak lepas dari keluhan Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia, dan tidak memungkiri bahwa mereka memanfaatkan momentum politik pemilu untuk menekan para legislator mengesahkan revisi UU Desa.
Bahkan ia menilai, DPR butuh suara desa dan desa butuh aspirasi mereka dikabulkan,
artinya ada simbiosis mutualisme politik. Sehingga tak mengherankan jika tak ada satupun fraksi parpol yang menolak wacana ini.
Lebih jauh kepentingan politik ini juga disinyalir tak terlepas adanya upaya memenangkan salah satu paslon capres-cawapres, sebab diketahui APDESI sebagai garda terdepan yang menyuarakan RUU Desa merupakan satu dari delapan organisasi kepala dan perangkat desa yang pamer dukungan kepada salah satu paslon untuk Pilpres 2024 melalui acara Desa Bersatu di
Stadium Gelora Bung Karno pada Minggu 19 November 2023 lalu.
Mengenai substansi penambahan masa jabatan Kepala Desa menjadi 8 tahun per periodenya, JAMSU menilai akan memperparah tindakan koruptif dalam penyelewengan anggaran desa, sebab
dengan masa jabatan 6 tahun perperiode Kepala Desa saat ini saja, sudah banyak kepala desa yang
tersandung korupsi.
Berdasarkan data Sentra Advokasi untuk Hak Dasar Rakyat (SAHdaR) Sumut, kasus korupsi di Sumut pada tahun 2023 meningkat 40 persen, dimana yang terbanyak adalah korupsi dana desa yang diketahui sebanyak 28 kasus.
Adapun aktor dalam korupsi dana
desa tersebut Kepala Desa 14,4 persen dengan jumlah 17 orang, Aparatur Desa 16,9 persen dengan jumlah yang terdiri dari Bendahara Desa, Sekretaris Desa. Sehingga apabila benar-benar diperlukan RUU Desa, seharusnya yang terpenting bukanlah untuk menambah masa jabatan Kepala Desa, melainkan penguatan sistem pengawasan pengelolaan anggaran dana desa itu
sendiri, dengan memanfaatkan kemajuan teknologi sistem elektronik dan berintegritas.
JAMSU menilai masa jabatan kepala desa tidak substansial diperdebatkan apalagi menjelang pemilu 2024,karena persoalan desa sesungguhnya adalah minimnya kemampuan dalam mengelola sumber daya
dan keuangannya, ketidakbebasan kepala desa dalam mengelola serta adanya praktek korupsi dari supra desa untuk menggerogoti keuangan desa.
Pemilu 2024 ini dimanfaatkan menjadi jembatan bagi para politisi dan oligarki untuk
melanggengkan berbagai tindakan yang mencoba mengintervensi dan mengkooptasi desa dengan penambahan jabatan Kepala Desa agar memuluskan proyek-proyek strategis yang mengeksploitasi sumber daya alam di pedesaan.
Oleh karena itu JAMSU menyerukan, supaya
DPR RI dan pemerintah supaya membatalkan pembahasan revisi UU Desa, karena revisi
UU Desa pada dasarnya tidak mendesak dan terlihat jelas merupakan agenda gelap
politik menjelang pemilu 2024 untuk meraup suara, dan pelanggengan kekuasaan supra
desa untuk mengintervensi dan meng-kooptasi desa, dimana nantinya hal itu untuk
memuluskan proyek-proyek strategis yang mengeksploitasi sumber daya alam di
pedesaan.
Tolak masa jabatan 8 tahun perperiode sebab disinyalir kuat memperparah tindakan
koruptif atas penyelewengan dana desa, dan mencederai norma yang terdapat dalam
konstitusi sebagaimana dalam Pasal 7 UUD 1945 tentang pembatasan masa jabatan
presiden dan wakil presiden yang merupakan referensi dari seluruh pembatasan masa
jabatan eksekutif baik di tingkat pusat maupun daerah maka akan menciptakan
harmonisasi dan keadilan dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia.
Menolak memobilisasi kepala desa untuk mendukung paslon tertentu yang berpotensi
penyalahgunaan. (snc/ril)