Oleh: Matheos Viktor Messakh
KALIAN aktifis dan politisi mau memaki dia bagaimanapun, orang kecil macam kami ini punya kekaguman pada dia adalah kekaguman sederhana, polos, dan tulus.
Dia memang manusia biasa, pasti ada salah. Tapi persoalannya belum pernah ada yang seperti dia. Kalau sudah ada tolong beritahu kami. Kalau kalian yang mulut berbusa dan gampang berkata bisa tunjukkan diri lebih baik dari dia, tolong beritahu kami agar kami memilih kalian. Di level RT saja juga baik, tak usah tinggi-tinggi.
Kekaguman kami pada dia mungkin di luar kerangka analisis dan akal sehat. Mungkin. Kami adalah orang-orang kecil yang lama tertindas dan terpuruk. Apa yang kami lihat dari dia bukan dari kaca mata ilmu politik, atau ilmu apapun.
Kami begitu sayang kepada dia karena dia adalah kami. Kami melihat diri kami, penderitaan kami, kebersahajaan kami, ndeso kami di dalam dia. Itu saja. Kami tak butuh analisis muluk-muluk. Tapi tak satu pun ilmu-ilmu yang kalian banggakan itu mampu menyaingi apalagi mematahkan kekaguman kami padanya. Karena dia adalah kami.
Logika yang kalian agung-agungkan tak akan mampu menjelaskan mengapa seorang kakek tua membawa kain tenun (mungkin yang terbaik yang ia punyai) untuk mencegat lelaki itu di tengah iring-iringan untuk memberikan kepadanya. Logika itu tak sanggup menjelaskan mengapa seorang pemuda rela membawa sebuah berdera bertiang sekedar untuk menyambutnya di tengah jalan. Logika itu tak akan memahami mengapa perempuan-perempuan kampung rela menerobos iring-iringan sampai membuat paspamres terjatuh hanya untuk mendekat kepadanya.
Ya mungkin kalian akan melihat sebagai kebodohan saja, akibat kemiskinan dan keterbelakangan, tapi pernahkah sejengkal saja kepintaran kalian membuat manusia bergerak tanpa intimidasi, todongan senjata atau hegemoni? Pernahkah? Bukankah kebodohan dan kemiskinan yang sama sering kalian exploitasi dengan dalih untuk membela keadilan dan kebenaran? Jadi jangan salah-salahin mereka hanya karena mereka ingin mendekat kepada orang yang mereka anggap sama dengan diri mereka.
Ada cermin yang tak bisa kalian lihat diantara kami. Cermin yang tak akan dilihat oleh mereka yang tak pernah merasakan kesusahan seperti kami. Cermin yang tak akan pernah nampak bagi para pengamat dan politisi. Cermin yang tak akan pernah dilihat oleh para tukang omong dan tukang bicara. Cermin yang tua setua penderitaan rakyat. Di situlah kemewahan kami satu-satunya dimana kami bisa melihat diri kami tersenyum. Tersenyum kepada dia.
Di situlah kami bisa berteriak dan menggapai. Berteriak dan menggapai kepadanya. Di situlah kami bisa mendekat. Mendekat kepada bayangan diri kami. Di situlah kami tanpa sadar terharu. Terharu kepada dia. Karena dia adalah kami sendiri. (***)