Oleh | Raden Zieo Suroto
Fenomena “Kampung Milyader Tuban” seyogianya warga membentuk sebuah lembaga ekonomi masyarakat yaitu koperasi untuk solusi ekonomi gotong royong bagi warga tersebut dan supaya bermanfaat bagi masyarakat secara luas.
Warga Desa Sumurgeneng, Kecamatan Jenu, Tuban, menjadi sorotan atas aksi memborong mobil usai menerima uang ganti rugi lahan dari Pertamina.
Namun tidak semua warga di kampung miliarder menerima uang miliaran rupiah tersebut langsung membeli mobil.
Salah satunya Tain (38), warga Dusun Pomahan, Desa Sunurgeneng. Ia memilih tidak membeli mobil dulu, meski sudah mendapatkan uang ganti rugi dari kilang minyak Pertamina.
“Saya belum beli dan belum ada rencana, tapi saudara-saudara saya sudah beli semua. Kalau dapat berapa jumlahnya (Uang ganti rugi) ya alhamdulillah banyak. Tapi mohon maaf berapa angkanya saya nggak mau ngomong,” jelas Tain kepada Raden Zieo Suroto, Minggu (21/02/2021).
Sejarah koperasi di Indonesia sudah ada sejak zaman kolonial Belanda.
Setelah Republik Indonesia berdiri, salah satu proklamator, Mohammad Hatta, membuat gagasan cemerlang untuk menjadikan bangsa ini bisa mandiri.
Untuk itu, Bung Hatta lebih memilih konsep mengembangkan koperasi sebagai motor perekonomian Indonesia.
Ia enggan mengadopsi sistem ekonomi yang diusung negara Barat ataupun beraliran kiri, lantaran tidak cocok diterapkan di Tanah Air.
Pada 12 Juli 1951, Bung Hatta menyampaikan pidato untuk menyambut Hari Koperasi di Indonesia. Karena identik sebagai pribadi yang bertanggung jawab dan berdisiplin tinggi, lima hari kemudian, ia diangkat menjadi Bapak Koperasi Indonesia dalam sebuah kongres di Bandung.
Keputusan itu diambil juga atas dasar besarnya aktivitas Bung Hatta dalam gerakan koperasi.
Menyandang label Bapak Koperasi Indonesia, Bung Hatta memiliki misi untuk menghadirkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Semangatnya untuk mengentaskan kemiskinan dengan menyusun perekonomian atas asas kekeluargaan, lebih cocok dengan menerapkan manajemen koperasi.
Konsep itu dirancangnya dengan penuh pertimbangan matang.
Bung Hatta sadar, mayoritas masyarakat Indonesia masih hidup dalam jerat kemiskinan.
Untuk bisa menyelesaikan persoalan mereka semua secara rata, pemilihan kebijakan dengan mendorong berkembangnya koperasi merupakan langkah tepat.
Hal ini mengingat ciri usaha koperasi lebih mengutamakan perkumpulan anggotanya, bukan pemilik modal yang sangat sesuai dengan realita yang dihadapi bangsa ini.
Artinya, koperasi bisa lebih diandalkan sebagai organisasi yang dapat mengabdi dan memakmurkan orang yang terlibat di dalamnya.
Apalagi, semangat koperasi yang dijalankan dengan gotong royong berdasarkan persamaan derajat, hak, dan kewajiban anggotanya sangat sesuai dengan nafas keadilan yang tertuang dalam Pancasila.
Sayangnya, seiring berjalannya waktu, garis ekonomi yang diterapkan pemerintah tidak sejalan dengan nafas hidup koperasi.
Dampaknya, ruang gerak koperasi tergencet oleh gurita perbankan yang memasuki setiap sendi kehidupan masyarakat.
Masalah lain yang turut menyumbang terpinggirnya koperasi adalah disebabkan semakin sedikitnya pemahaman masyarakat terkait fungsi koperasi.
Bisa jadi, karena tidak lagi dikelola secara amanah, atau mayoritas warga pernah punya pengalaman tidak mengenakkan saat bekerja sama dengan pengurus koperasi, membuatnya tidak lagi dirindukan masyarakat.
Alhasil, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap koperasi semakin rendah. Konsekuensi itu membuat tidak sedikit koperasi tinggal papan nama saja.
Kenapa koperasi harus ada, karena kalau uang yang diterima tidak dikelola dengan baik dan hanya dibelikan barang yang mengeluarkan uang, Kampung Milyarder tersebut hanya tinggal kenangan dan tidak meninggalkan bekas yang baik untuk kepetingan masyarakatnya.
(Penulis, Ketua Umum DPP Dulur Ganjar Pranowo (DGP) dan pemerhati ekonomi kerakyatan/koperasi)