SimadaNews.com – Ali Kalora adalah ‘petinggi’ yang tersisa dari kelompok militan Islam yang berbasis di Poso, Sulawesi Tengah, semenjak Santoso alias Abu Wardah tewas dalam penyergapan aparat keamanan pada 2016 lalu.
Dia juga ditunjuk sebagai pemimpin kelompok itu menyusul diringkusnya pentolan kelompok Muhajidin Indonesia Timur (MIT) Basri alias Bagong, di tahun yang sama.
Menurut polisi, semenjak dua tahun lalu, kelompok ini mengalami penyusutan jumlah anggota, karena sebagian besar ditangkap atau tewas dalam baku tembak dengan pasukan gabungan TNI-polisi dalam operasi Tinombala.
Ridlwan Habib, pengamat terorisme dari Universitas Indonesia, menilai Ali Kalora tidak memiliki pengaruh sekuat Santoso, yang mampu merekrut puluhan orang. Namun namanya mulai disebut-sebut lagi setelah temuan mayat tanpa kepala di Kecamatan Sausu, Kabupaten Parigi Montong, Sulteng, baru-baru ini.
Di media, foto terbarunya kembali beredar, yang nampak berbeda dari foto yang dipampang Polisi di pusat keramaian di Sulawesi Tengah pada 2016 lalu. Siapakah Ali Kalora?
‘Bukan figur kombatan’
Ridlwan Habib menganggap Ali Kalora bukanlah figur kombatan, tidak memiliki keahlian apa-apa, serta kemampuan gerilyanya sangat terbatas, karena dia belum pernah ke medan konflik.
“Kecuali kemampuannya untuk bertahan hidup dalam pelarian,” kata Ridlwan dalam wawancara dengan wartawan BBC News Indonesia, Silvano Hajid, Rabu (02/01).
“Dengan logistik yang terbatas, Ali Kalora bisa menjadi apa saja, menyamar menjadi warga lokal, bahkan petani dan jalan sejauh itu,” tambahnya.
Sosok Ali Kalora ini, menurutnya, berbeda jauh dengan bekas pemimpin MIT, Santoso, yang tewas dalam baku tembak dengan TNI-polisi dua tahun lalu. Yang disebut terakhir ini memiliki keahlian propaganda.
Adapun Ali Kalora, tambahnya, saat ini menghindar dari kejaran aparat TNI-polisi dengan “menyamar menjadi warga lokal”.
Karena itulah, Ridlwan menilai, insiden baku tembak dan ditemukan korban mutilasi akhir Desember lalu adalah kebetulan belaka.
“Jika itu terencana dan sistematis, akan banyak korban dan tekniknya berbeda, mereka belum sempat kabur jauh, sehingga terjadi kontak senjata,” ujarnya.
Ridlwan juga meyakini bahwa MIT gagal setelah salah-seorang pemimpinnya, Santoso, tewas.
“Mujahid Indonesia Timur (MIT) sudah dilupakan, dan dianggap tidak penting lagi bagi Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) karena dianggap gagal,” tambah Ridlwan.
Semula Ridlwan menganggap Ali Kalora sudah menyerahkan diri kepada aparat kepolisian – secara diam-diam – setelah istrinya tertangkap.
“Karena kami tak mendengar kabarnya lagi dari (dusun) Tamanjeka (di Poso) selama 1,5 tahun, tapi ternyata dia masih ada,” katanya. (bbcindonesia)