SimadaNews.com-African Swine Fever atau ASF menjadi salah satu pembahasan penting dalam pertemuan ASEAN Sectoral Working Group on Livestock. Tidak hanya menjadi pembahasan antar anggota negara ASEAN, namun juga melibatkan mitra kerja ASEAN yakni Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) dan Badan Kesehatan Hewan Dunia (OIE).
Hal itu disampaikan Fadjar Sumping Tjatur Rasa, Direktur Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, seusai memimpin ASEAN Sectoral Working Group on Livestock (ASWGL) yang diselenggarakan pada 24-26 April 2019 di Bali.
Pertemuan ASWGL merupakan wadah bagi 10 negara anggota ASEAN, yang terdiri dari Brunei Darussalam, Cambodia, Indonesia, Laos PDR, Myanmar, Malaysia, Philippines, Singapura, Thailand, dan Vietnam, dalam membahas berbagai permasalahan di bidang peternakan dan kesehatan hewan di wilayah Asia Tenggara.
Penyelenggaraan ASWGL tersebut dilaksanakan oleh negara anggota ASEAN secara bergilir setiap tahun, dimana tuan rumah penyelenggara akan menjadi pimpinan ASWGL dan seluruh kegiatan ASWGL selama tahun berjalan. Pada tahun 2019 ini, Indonesia mendapat giliran menjadi pimpinan ASWGL dan menjadi tuan rumah pertemuan ASWGL ke-27.
Pada pertemuan ASWGL ke-27 tersebut, dihadiri oleh negara anggota ASEAN kecuali Brunei Darussalam dan Myanmar yang berhalangan hadir.
Disamping itu turut hadir Pham Quang Minh dan Maharti Rihana dari ASEAN Secretariat, serta mitra kerja ASEAN yakni Wantanee Kalpravidh dan Kanchen Wongsathapornchai dari FAO, Catlin Holley dan Lauree Weber-Vintzel dari OIE, George Hughes dari Australia, dan Mars Pet Nutrition Southeast Asia.
Lebih lanjut Fadjar juga menyampaikan bahwa ASF saat ini telah menyebar di Mongolia, Cina dan 2 negara anggota ASEAN, yakni Vietnam dan Cambodia.
“ASF merupakan penyakit hewan yang bersifat lintas batas, sehingga penyebarannya perlu diwaspadai oleh negara-negara disekitar wilayah yang tertular,” ungkapnya.
“Indonesia perlu waspada, risiko masuknya ASF ke Indonesia bisa melalui terbawanya virus pada produk-produk makanan yang mengandung babi yang dibawa oleh turis China dan juga sisa makanan dari kapal atau pesawat terbang ke wilayah Indonesia, khususnya yang mempunyai populasi babi tinggi seperti Bali dan Manado” tambah Fadjar.
Fadjar melanjutkan, pada pertemuan ASWGL ke-27 tersebut, FAO menyampaikan komitmennya untuk memberikan dukungannya terhadap kesiapsiagaan dan respons darurat untuk ASF di wilayah Asia Tenggara.
“Indonesia akan memperketat penyidikan dan pengawasan penyakit hewan untuk mencegah dan mengantisipasi penyebaran ASF masuk ke wilayah Indonesia. Dan laboratorium kita sudah siap untuk pelaksanaan deteksi penyakit ini,” tegas Fadjar.
Fadjar juga menekankan pentingnya peternak menghindari pemberian pakan babi yang bersumber dari sisa-sisa makanan (swill feed) yang tidak diolah/dipanaskan lebih lanjut.
Disamping itu, diantara berbagai hal yg dibahas pada pertemuan ASWGL ke-27 di Bali menurut Fadjar, juga dibahas perkembangan persiapan ASEAN Economic Community dibidang peternakan, yakni penyusunan ASEAN Good Animal Husbandry Practices (GAHP) untuk sapi potong dan kerbau, sapi perah, kambing dan domba, serta itik.
“Indonesia sebagai lead country dalam penyusunan ASEAN GAHP kambing dan domba. Sebelumnya Indonesia juga menjadi lead country penyusunan ASEAN GAHP broiler dan layer yang telah di endorse oleh ASEAN,” imbuh Fadjar.
Terkait penyusunan pedoman ASEAN GAHP terhadap komoditi peternakan tersebut, Fadjar menjelaskan bahwa Indonesia perlu mempersiapkan diri dengan melakukan pembinaan terhadap para peternak di Indonesia agar dapat memenuhi standar yang ditetapkan dalam ASEAN GAHP.
Apabila Indonesia dapat melaksanakan standar ASEAN bahkan melampauinya, maka akan meningkatkan peluang ekspor ternak dan produknya ke negara anggota ASEAN.
“Pada pertemuan ASWGL ke 27 tersebut, juga disepakati bahwa Indonesia menjadi Co-reference Laboratorium Avian Influenza, dan menjadi koordinator ASEAN Animal Health Cooperation Website” pungkasnya. (rel/snc)