Spektrum Politik Ajang Kampanye
Kedua, bagaimana kita memperjelas bahwasannya demo-demo waktu itu lebih mengarah kespektrum politik daripada dimensi agama?
Gampang sekali membaca dan membuktikannya, bukan?
Bahwa Ahok dituding menista agama–apalagi dengan dobel digit kekafirannya (katanya) itu. Lantas pertanyaannya, dimana letak korelasinya ketika senjata yang sama, diarahkan ke Jokowi? Bukankah Jokowi seorang pribumi tulen? Bukankah Jokowi seorang muslim yang taat? Kenapa mesti tetap dimusuhi?
Kemudian sangat patut diduga reuni 212 minggu depan itu ajang buat berkampanye. Dan pesertanya ya itu ke itu juga (untuk mendukung paslon lainnya). Bukankah, dengan demikian premis bahwa demo berjilid dulu itu karena dalil-dalil agama menjadi pupus? Jadi, bukankah Itu aktivitas politik yang dibungkus baju agama?
Jika pun masih belum puas dengan argumen diatas tetep kekeh bahwa kita mesti memilih pemimpin yang paling islamiya diadu saja.
Usulkan ke KPU bahwa kedua paslon tersebut-perlu diuji bagaimana cara sholat, mengaji, dst. Sangat sederhana membereskan soalnya, tanpa mesti pakai acara reuni segala macam.
Itulah mengapa, berabad lalu 1128-1198, Ibnu Rusyd sudah mengingatkan kita semua. “Jika ingin menguasai orang bodoh, bungkuslah sesuatu yang bathil dengan agama”.
Dan lebih gilanya lagi yang kini kita rasakan bersama ada model kampanye post truth untuk mengoyak logika kita. Menganomali logika waras. Menebarkan rasa cemas, ketakutan, pesimisme berkolaborasi dengan pemimpin agama yang berpolitik sektarian. Semua demi dan buat menggalang suara pemilih, untuk meraih kekuasaan. (*)