BEBERAPA hari ini kita disuguhi kontroversi Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang diajukan oleh DPR.
Di tengah kontroversi dan kekonyolan tentang RUU HIP itu, ada sejumlah pertanyaan yang perlu diajukan seputar Pancasila sebagai ideologi.
Pertama, apakah Pancasila memenuhi syarat disebut sebagai ideologi? Kedua, benarkah Pancasila dalam perjalanannya lebih banyak diselewengkan dan didangkalkan maknanya daripada ditegakkan dan diamalkan? Ketiga, apa bahayanya negara tanpa ideologi? Dan keempat, apa upaya yang musti kita lakukan untuk menghidupkan api Pancasila agar berfungsi sebagai ideologi negara?
Memenuhi Syarat sebagai Ideologi
PANCASILA sebagai dasar negara (philosofische grondslag) dan pandangan hidup (weltanschauung) bangsa Indonesia sudah final, dan harusnya tidak perlu dipersoalkan lagi. Namun, dasar hukum penyebutan Pancasila sebagai ideologi negara masih menimbulkan perdebatan.
Dalam Penjelasan Pasal 2 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan: “… Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis negara sehingga setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.”
Terlepas dari kuat atau tidaknya dasar hukum penyebutan Pancasila sebagai ideologi negara, Pancasila sebenarnya memenuhi syarat disebut sebagai ideologi.
Secara terminologis, ideologi adalah cara pandang atau seperangkat konsep tentang sikap dan tindakan yang dirumuskan dari buah pikir atau kerangka berpikir yang mencerminkan identitas atau jati diri suatu kelompok masyarakat. Dengan demikian, suatu cara pandang atau konsep tentang sikap dan tindakan dapat disebut sebagai ideologi jika memuat cita-cita ideal yang hendak dicapai, merupakan kerangka berpikir yang bersifat mendasar dan rasional, serta merupakan metode untuk mewujudkan tujuan dan mengevaluasi suatu tindakan.
Pancasila memuat cita-cita luhur yang akan dicapai, yaitu masyarakat adil dan makmur yang merata baik materiil maupun spirituil bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila memiliki nilai-nilai falsafah yang mendasar dan rasional yang digali dari nilai-nilai luhur bangsa yang mendahului, ada, dan tumbuh di Indonesia.
Tidak hanya itu, Pancasila juga merupakan cara pandang dan sistem untuk mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sebagai ideologi yang hidup, Pancasila telah menjadi kerangka berpikir (the main of idea), konsep bertindak (the concept of action), dan dasar hukum (the basic of law) bagi penyelenggara kekuasaan negara serta seluruh warga negara.
Namun persoalannya, apakah Pancasila dalam praktik telah ditempatkan dan difungsikan ideologi negara? Jika Pancasila dalam praktik tidak ditegakkan dan diamalkan, bukan hanya negara yang akan kehilangan arah dan tujuan, tetapi juga menjadi tidak punya parameter evaluasi atas apa yang dicapai.
Dan kita juga akan kehilangan alat ukur tentang baik dan buruk, serta benar dan salah atas apa yang kita lakukan sebagai warga negara. Bahkan Ir Soekarno pernah berkata: “Bila bangsa Indonesia melupakan Pancasila, tidak melaksanakan dan mengamalkannya, maka bangsa ini akan hancur berkeping-keping.”
Lebih Banyak Diselewengkan
APAKAH Pancasila sejak awal kelahirannya hingga hari ini betul-betul sudah menjadi sumber tertib hukum, inspirasi tindakan para penyelenggara kekuasaan negara, parameter evaluatif, dan pandangan hidup seluruh warga negara? Apakah Pancasila betul-betul telah menjadi ideologi yang berfungsi sebagai bintang penuntun, sekaligus inspirasi tindakan bagi setiap penyelenggara kekuasaan negara dan seluruh warga negara untuk mewujudkan cita-cita luhurnya?
Sepanjang perjalanan Indonesia merdeka, Pancasila lebih banyak diselewengkan dan didangkalkan maknanya daripada ditegakkan dan diamalkan.
Selama hampir 75 tahun perjalanan bangsa, Pancasila telah mengalami berbagai situasi dan dinamika sosial politik yang mendebarkan. Pancasila telah melintasi era demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, Orde Baru, hingga demokrasi multipartai di era reformasi saat ini. Setiap era mempunyai cara yang berbeda dalam menempatkan dan memfungsikan Pancasila.
Orde Lama adalah masa awal kelahiran, ujian berat, dan penguatan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa. Orde Lama memang telah berhasil menempatkan Pancasila sebagai pemersatu dan dasar-dasar bernegara yang kokoh. Namun dengan kepemimpinan Ir. Soekarno yang luar biasa, serta dinamika sosial politik dan mentalitas bangsa yang baru lepas dari penjajahan, menyebabkan terjadinya beberapa penyimpangan dari nilai-nilai Pancasila.
Pembubaran DPR hasil pemilu 1955 oleh presiden dan pengangkatan Ir. Soekarno sebagai presiden seumur hidup oleh MPRS pada pemerintahan Orde Lama adalah bentuk penyimpangan awal terhadap dasar negara Pancasila.
Orde Baru adalah era di mana terjadi kehampaan Pancasila sebagai ideologi yang menuntun, menerangi, dan menginspirasi tindakan untuk mewujudkan cita-cita bersama. Pancasila hanya sebagai bunyi-bunyian hebat tanpa praktik.
Pancasila memang sangat luar biasa dalam ucapan, diajarkan, dan ditatarkan di mana-mana. Namun, di era ini Pancasila kehilangan makna dan fungsi sebagai dasar negara dan ideologi bangsa. Pada era ini Pancasila hanya secara samar-samar sebagai ideologi yang menuntun, menerangi, dan menginspirasi bagi setiap penyelenggara kekuasaan negara dan seluruh warga negara untuk mewujudkan cita-cita luhurnya.
Pendangkalan makna Pancasila hanya sebagai tuntunan moral individual warga negara, tafsir tunggal kekuasaan negara atas Pancasila untuk membungkam lawan-lawan politiknya, serta maraknya kasus KKN, merupakan bentuk penyimpangan dan pelanggaran Pancasila yang paling dominan pada pemerintahan Orde Baru.
Dominasi asing dalam bidang ekonomi, kesejangan sosial dan ekonomi yang tajam, serta penghancuran sendi-sendi demokrasi sangat nyata terjadi pada era Orde Baru.
Sedangkan pada era reformasi merupakan era tanpa ideologi sama sekali, yaitu masa tanpa Pancasila yang menuntun, menerangi, dan menginspirasi tindakan bagi setiap penyelenggara kekuasaan negara dan seluruh warga negara untuk mewujudkan cita-cita luhurnya.
Pada era itu, baik Pancasila sebagai ideologi maupun sebagai bunyi-bunyian tanpa makna pun hilang dari kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Privatisasi, liberalisasi, kesenjangan sosial ekonomi antardaerah dan antarwarga negara yang semakin lebar, lemahnya supremasi hukum, serta belum dituntaskannya kasus-kasus pelanggaran HAM merupakan bentuk penyimpangan dan pelanggaran Pancasila yang cukup menonjol pada era reformasi.
Korupsi semakin merajalela, sementara kejujuran dan keteladanan menjadi barang langka pada era reformasi.
Pada saat yang sama, euforia kebebasan masyarakat dan melemahnya kontrol negara menyebabkan betapa mudahnya masuk paham radikal dan menguatnya gerakan anti Pancasila. Panggung politik dan kehidupan kemasyarakatan kita dewasa ini diwarnai dengan menguatnya cara pandang dan fanatisme sempit sebagian kelompok masyarakat lengkap dengan aksi-aksi rasis penuh teror.
Terorisme, aksi-aksi kekerasan, dan anarkisme dengan mengerahkan massa dari kelompok agama tertentu beberapa waktu lalu disinyalir sebagai tindakan anti Pancasila. Bahkan, wacana yang dikembangkan pun mengarah pada penolakan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia, yang kemudian dirangkai dengan upaya untuk menggantinya dengan ideologi lain.
Peristiwa pelarangan kegiatan ibadat di berbagai daerah masih sering terjadi. Penutupan dan penghentian pembangunan tempat ibadat masih sering dilakukan. Pemerintah di daerah seolah kalah oleh tekanan atas nama mayoritas dari kelompok tertentu. Masih mencuatnya dikotomi mayoritas-minoritas tersebut, semakin menguatkan bukti bahwa negeri ini seolah menapak tanpa ideologi.
Oleh karena itu, bisa dikatakan dari awal kelahirannya hingga saat ini, Pancasila lebih banyak atau sering diselewengkan daripada diamalkan baik oleh penyelenggara kekuasaan negara maupun warga negaranya. Dengan demikian, masih pantaskah Indonesia disebut sebagai negara yang mendudukkan dan memfungsikan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa?
Sinyal Darurat Ideologi
Pada era tanpa ideologi saat ini, seolah kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara kita tanpa arah dan tujuan yang jelas. Pada saat ini telah terjadi kekecauan berpikir tentang apa yang harus kita putuskan dan apa yang harus kita kerjakan.
Seolah tidak ada acuan tentang sesuatu yang baik dan buruk, serta yang benar dan salah. Di mana-mana terjadi konflik sosial, perang opini, dan debat tak berujung.
Tanpa Pancasila sebagai ideologi dalam praktik hidup, kita seolah kehilangan daya nalar untuk menjelaskan segala sesuatu yang terjadi. Tanpa ideologi, kita kehilangan api yang menuntun, menerangi, dan menginspirasi tindakan ke mana kita harus melangkah. Lebih dari itu, tanpa api Pancasila itu, kita kehilangan parameter untuk mengevalusi segala aturan perundangan, pelaksanaan dan capaian pembangunan, serta dinamika bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang sedang terjadi.
Tanpa ideologi atau api Pancasila itu, kita seolah tanpa kebanggaan dan jati diri sebagai bangsa dan negara yang merdeka.
Saat ini sebagian masyarakat cenderung menganggap Pancasila hanya sebagai simbol negara yang sudah usang tanpa nilai-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya. Lunturnya nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, semakin diperparah oleh tidak satunya antara kata dengan perbuatan para penyelenggara kekuasaan negara dan tokoh-tokoh masyarakat.
Akibatnya, saat ini terjadi kemerosotan moral dan kehancuran hati nurani di tengah masyarakat. Kekerasan, kekejian, dan kriminalitas menjadi pemandangan dan berita sehari-hari.
Seiring dengan itu, menguat sikap intoleran, fanatisme sempit, dan paham-paham radikal anti Pancasila terutama di kalangan generasi muda. Kelompok-kelompok masyarakat ini menganggap, bahwa hanya paham dan tata nilai mereka sendirilah yang paling benar.
Kelompok intoleran ini anti terhadap kritik dan sulit menerima perbedaan yang ada yang jauh lebih lama tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat Indonesia. Tanpa ragu mereka memaksakan kehendaknya kepada kelompok masyarakat yang lain dengan menebar kebencian, anarkisme, dan teror.
Semua bentuk pelanggaran dan penyimpangan terhadap nilai-nilai Pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar negara Indonesia dari hari ke hari terasa semakin memperihatinkan. Sementara itu, menguatnya fenomena gerakan radikal anti Pancasila akhir-akhir ini, harus ditangkap sebagai sinyal bahaya atau darurat bagi ideologi Pancasila.
Bagaimana mungkin ada sekelompok warga negara yang ber-KTP, hidup, belajar, tumbuh dan berkembang, serta makan dan minum di bumi Indonesia namun menolak Pancasila? Bagaimana mungkin mereka ingin mengganti Pancasila yang mengakar, sesuai, dan telah menjadi konsensus nasional dengan ideologi lain yang belum tentu cocok dengan keragaman sosial budaya masyarakat Indonesia?
Menyalakan Api Pancasila
Fakta dan kecenderungan yang mencengangkan sekaligus mengkhawatirkan itu haruslah segera disikapi secara sistematis. Tidak cukup hanya berupa reaksi spontan yang bersifat sporadis. Tidak cukup hanya melalui kebijakan dan sentimen buta semata.
Fakta dan kecenderungan itu harus disikapi dengan gerakan pemikiran yang rasional dan budaya secara massif dan terus-menerus.
Kita perlu menyalakan api Pancasila sebagai ideologi bangsa. Pancasila harus dipahami sebagai ideologi terbuka, yakni Pancasila juga harus dimaknai sebagai sumber inspirasi tindakan dan parameter evaluatif dalam dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang terus berubah.
Benar kata Bung Karno: “Revolusi belum selesai!”. Kita membutuhkan gerakan revolusioner untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur secara merata baik materil maupun spirituil berdasarkan Pancasila dalam perspektif sebagai ideologi terbuka. Inilah upaya menyalakan api Pancasila. Dengan cara ini Pancasila diharapkan akan menjadi penuntun dan penerang, sekaligus menginspirasi tindakan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur bagi seluruh rakyat Indonesia. (*)
Penulis: Primus Supriono, penulis dan aktivis demokrasi