SimadaNews.com-Keberadaan Bank Syariah, sejatinya menjalankan sistim perbankan secara syariah guna membantu perekonomian masyarakat. Namun kondisi yang terjadi dalam menjalankan operasionalnya, tak luput dari praktek-praktek mempersulit bahkan merugikan masyarakat.
Hal itu disampaikan Praktisi Hukum yang juga pengurus Gerakan Kebajikan Pancasila (GKP) Charles HM Siahaan, ketika berbincang-bincang dengan SimadaNews.com, Rabu (31/7).
Charles menerangkan, sesuai catatan dan laporan yang ia terima, ada praktek kejahatan perbankan di Indonesia, menyangkut hajat hidup orang banyak dan kondisi itu nyaris jarang terpublikasi.
“Entah bagaimana, di lingkungan perbankan terjadi banyak perilaku menjijikkan dan menjadi salah satu sumber besar akumulasi kekecewaan, maupun emosi warga masyarakat yang pada gilirannya menjauhkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah bahkan kepercayaan kepada Negara,” kata Charles.
Pria yang juga pengurus Gerakan Daulat Desa (GDD) ini, mengungkapkan, banyak korban akibat data yang tidak akurat oleh kelalaian dari pihak lembaga keuangan yang tidak mengupdate informasi terbaru terkait informasi keadaan pinjaman seorang nasabah di lembaga keuangan sebagaimana mestinya.
Dari aneka investigasi, wajarlah jika perbankan menjadi sarang perilaku jahat yang berlangsung dengan melalui data informasi yang tersimpan di lembaga perbankan untuk kepuasan syahwat “keinginan” pribadi atau kelompok.
“Ironisnya, tiap bulan selalu ada pengawasan dari OJK. Tapi kejahatan data informasi di perbankan masih saja terjadi,” ucap Charles.
Data Nasabah Tertukar
Charles menceritakan, akurasi data menjadi tantangan tersendiri dalam pengelolaan Sistem Informasi Debitur (SID), bagi pihak bank/kreditur selaku pelapor informasi dan Bank Indonesia, selaku pihak pengawas berlangsungnya aktifitas perbankan.
Kedua pihak dituntut untuk selalu bersinergi melakukan kontrol kualitas data yang di-input pada SID secara teratur. Namun yang terjadi, justru warga yang menjadi korban, antara lain salah mencantumkan penilaian kolektabilitas debitur, data tertukar, penggunaan data tanpa persetujuan nasabah/debitur.
“Apakah korban lapor ke polisi?, ajukan pengaduan pakai undang-undang perlindungan konsumen? Sayangnya bahkan ada yang menyampaikan percuma ke OJK nanti ujungnya terpaksa “damai” atau hilang tak terhiraukan,” lugas pria yang pernah mendalami ilmu enggenering di ITB dan Jepang itu.
Charles mencontohkan, ada kasus yang diterimanya dari seorang nasabah korban dugaan kejahatan oknum-oknum di Bank Syariah Yogyakarta. Nasabah itu, pernah mencoba mengajukan kredit (pinjaman uang) penambahan modal usaha kecil Rp100 juta.
Setelah dinilai dan dinyatakan layak untuk menerima pinjaman dan mempunyai kesanggupan membayar cicilan sebagaimana mestinya, ternyata harus gigit jari karena dirinya dilaporkan sebagai seorang debitur pada Bank Syariah tertentu yang memiliki tunggakan dan dinilai dengan kategori “Kolektabilitas-5” atau “kredit macet”.
“Padahal nasabah itu sama sekali tidak pernah ada pinjaman. Apalagi dinyatakan memiliki pinjaman Rp1,3 miliar dengan agunan sebuah bangunan ruko di daerah Klaten. Dan dengan semua bunganya, tunggakan kreditnya telah menjadi lebih dari Rp1,8 miliar,” tutur Charles.
Ironisnya, lanjut Charles, setelah nasabah menjajaki lebih lanjut perihal statusnya di Bank Syariah tersebut. Apa yang diperoleh, malah semakin membuat nasabag terkejut dan takut untuk melakukan transaksi perbankan terutama pengajuan pinjaman kredit.
Kemudian, bilang Charles, nasabah dimaksud kembali mengupayakan perolehan informasi lebih jauh seraya meminta pemulihan statusnya pada dokumen “BI-Checking untuk dan atas namanya”.
Yang memprihatinkan adalah ternyata, setelah lebih dari 3 bulan sejak diketahuinya dari bank tempat pengajuan kredit yang menolaknya, barulah catatan Kolektabilitas-5 untuk dan atas namanya dipulihkan sebagaimana diketahui melalui laporan “BI Checking” yang diperoleh dari BI melalui Bank Syariah tersebut.
Dan ternyata kemudian hari diketahui, bahwa informasi pribadinya yang tersimpan pada bank syariah tersebut telah tertukar (pinjaman dan agunannya) dengan debitur lain pada bank yang sama selama lebih dari satu tahun.
Padahal semua identitas keduanya saling berbeda sama sekali. Sedangkan dari investigasi, sang debitur yang datanya tertukar lebih dari satu tahun tersebut disinyalir pernah tersangkut kasus kredit di bank lain di wilayah Yogyakarta.
“Bayangkan, itu sangat ironis bahwa data nasabah bisa tertukar. Dan tentu akan menimbulan kerugian kepada nasabah yang sama sekali tidak mengetahui masalah, apalagi tidak memiliki pinjaman di bank,” sebut Charles.
Praktek Mafia Kredit
Charles menuturkan, apa yang dialami nasabah yang di Yogyaarta. Ternyata bukan hanya sekali, bahkan sudah banya kasus ditemui namun jarang terpublikasi.
Hasil investigasi, papar Charles, kasus semacam itu sangat banyak terjadi pada perbankan yang memiliki nasabah dari kelompok masyarakat menengah ke bawah yang jumlahnya sangat banyak.
Dan hasil penelusuran nama dan alamat nasabah/debitur yang informasi/data nya telah tertukar, untuk waktu yang sangat lama, ternyata ulah dari “mafia kredit perbankan”.
Charles menambahkan, permainan para mafia kredit itu dikarenakan lemahnya sistim yang ada di perbankan khususnya Bank Syariah yang kehadirannya oleh semangat memenuhi kebutuhan msyarakat atas lembaga keuangan yang senafas dengan ajaran agama manapun terutama syariah.
“Sejatinya Bank Syariah berpeluang meminimalisir potensi kejahatan perbankan, ternyata masih jauh panggang dari api,” ucap Charles. (snc)
Editor: Hermanto Sipayung

Discussion about this post