BERDASARKAN hasil Rapat Kerja dan Rapat Dengar Pendapat Komisi II DPR RI bersama Kemendagri, Komisi Pemilhan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) 27 Mei 2020 yang lalu, disepakati Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak akan dilaksanakan pada 9 Desember 2020.
Sebuah keputusan yang tidak mudah, di tengah pendemi virus corona dan besarnya anggaran untuk meyelenggarakan Pilkada serentak tersebut.
Ada sejumlah alasan mengapa Pilkada serentak di 270 daerah itu tetap harus dilaksanakan pada tahun 2020.
Menurut Mendagri Tito Karnavian, selain sebagai keputusan politik bersama, alasan Pilkada tetap dilaksanakan meski dalam kondisi pandemi, yaitu sebagai etalase kedewasaan bangsa Indonesia dalam berdemokrasi.
Alasan lainnya, dunia internasional menilai, keberlangsungan pemilu secara terjadwal menjadi penentu indeks demokrasi dari sebuah negara (tribun-medan.com, 6 Juni 2020).
Bentuk pemerintahan negara demokrasi, memang telah menjadi tren dunia pasca sekularisme politik di Eropa setelah Perjanjian Westphalia 1648. Kekuasaan politik benar-benar dipisahkan dari kekuasaan kerajaan dan agama. Perjanjian Westphalia menjadi tonggak lahirnya negara-negara nasional modern yang demokratis.
Hingga hari ini, demokrasi masih diyakini menjadi bentuk pemerintahan negara yang paling ideal untuk mewujudkan keadilan dan kedaulatan rakyat. Kini bentuk pemerintahan negara demokrasi dianut secara luas hampir meliputi semua negara di dunia. Menurut Freedom House, tahun 2007 terdapat 123 negara demokrasi elektoral.
Kita memang pantas bangga, Indonesia menjadi negara demokrasi terbesar ketiga di dunia di bawah India dan Amerika Serikat. Sejak tahun 1955, Indonesia telah menyelenggarakan pemilu sebanyak 12 kali. Sebuah jumlah dan pengalaman penyelenggaraan pemilu yang cukup panjang.
Terselenggaranya pemilu yang rutin memang menjadi salah satu ciri negara demokrasi. Namun demikian, pemilu yang teratur dan terus-menerus itu tidak cukup untuk menghasilkan pemimpin dan wakil rakyat yang benar-benar layak berjuang mewujudkan keadilan dan kedaulatan rakyat.
Demokrasi Adimistratif-Prosedural
SUNGGUH pun sistem pemilu (termasuk Pilkada) telah banyak mengalami perbaikan dan penguatan kelembagaan, namun tujuan ideal penyelenggaraan pemilu masih jauh dari harapan. Masih terlalu banyak pelanggaran yang mencederai demokrasi dan kehendak rakyat.
Sebut saja misalnya, maraknya praktik politik uang, intimidasi menggunakan sentimen SARA, penyebaran berita bohong dan kampanye hitam, serta ketidaknetralan ASN. Tragisnya lagi, berbagai kasus kecurangan dan pelanggaran tersebut tidak dapat diproses secara hukum.
Penyelenggaraan pemilu selama ini seolah terjebak pada aturan administratif dan prosedural semata. Terlebih jika dilihat dari pemimpin dan wakil rakyat yang dihasilkan melalui pemilu, tentu masih sangat jauh dari cita-cita dan tujuan nasional, yaitu tegaknya kedaulatan rakyat menuju masyarakat adil dan makmur.
Hampir setiap hari rakyat disuguhi berita pejabat pemerintah terjerat kasus korupsi. Hingga Desember 2016, setidaknya ada 122 orang anggota DPR dan DPRD terlibat kasus korupsi.
Menurut mantan Mendagri Tjahyo Kumolo, antara tahun 2004 hingga 2017 sedikitnya ada 313 kepala daerah menjadi tersangka kasus tindak pidana korupsi.
Dari kurun waktu 13 tahun itu, sebanyak 56 kepala daerah telah menjadi terpidana untuk kasus yang sama.
Mengapa pemilu dengan biaya yang terbilang tinggi ini kurang mampu menghasilkan pemimpin dan wakil rakyat yang berkualitas, amanah, dan berintegritas? Demokrasi hanya bersandar pada suara terbanyak, dengan mengabaikan kualitas dan moralitas terbukti tidak mampu menegakkan kedaulatan rakyat menuju masyarakat adil dan makmur. Inilah demokrasi prosedural, yakni demokrasi yang jauh dari substansi.
Demokrasi hanya diukur dari penyelenggaraan pemilu yang teratur sesuai jadwal dan tahapan. Demokrasi hanya ditentukan oleh suara terbanyak dengan mengabaikan kualitas, etika, dan moralitas calon yang diusung oleh partai politik. Pada saat yang sama, partai politik tidak melakukan pendidikan politik rakyat, rekrutmen, dan kaderisasi yang baik. Akibatnya, praktik demokrasi kita melalui pemilu terjebak pada persoalan prosedural, administrasi, dan transaksional.
Demokrasi Substantif
MENURUT Jeff Hayness (2000), berdasarkan penerapannya ada tiga model negara demokrasi, yakni demokrasi formal, demokrasi permukaan, dan demokrasi substantif.
Demokrasi formal ditandai dengan adanya kesempatan rakyat untuk memilih wakil rakyat dan kepala pemerintahan dengan interval waktu yang teratur, dan adanya aturan tentang penyelenggaraan pemilu.
Pada model demokrasi ini, pemerintah mempunyai peran yang sangat besar dalam mengatur pelaksanaan pemilu melalui berbagai aparatus dan instrumen hukumnya.
Demokrasi permukaan merupakan gejala yang umum terjadi di negara-negara dunia ketiga. Dilihat dari luar memang tampak sebuah konstruksi negara demokrasi, namun sebenarnya sama sekali tidak memiliki substansi demokrasi.
Pemilu diselenggarakan sekadar menjalankan aturan dan prosedur untuk memenuhi kreteria sebagai sebuah negara demokrasi. Dalam banyak hal, pelaksanaan pemilu justru semakin terjebak pada hal-hal yang bersifat administratif serta syarat-syarat dan dokumen-dokumen formal.
Pemilu yang demikian tentu akan menghasilkan kedaulatan rakyat dengan intensitas dan kualitas yang rendah.
Sedangkan demokrasi substantif merupakan model negara demokrasi dengan derajat tertinggi. Dalam model ini, pemilu yang diselenggarakan memberi tempat kepada rakyat jelata, kaum miskin, perempuan, kaum muda, serta golongan minoritas keagamaan dan etnik untuk dapat benar-benar menempatkan kepentingannya dalam agenda politik suatu negara.
Dengan kata lain, dalam model negara demokrasi substantif, pemilu diselenggarakan dengan sungguh-sungguh untuk mewujudkan kedaulatan rakyat.
Sebenarnya, dengan model negara demokrasi substantif, maka prinsip-prinsip dasar kedaulatan rakyat betul-betul dapat terwujud.
Dalam model negara demokrasi substantif, nilai-nilai dasar demokrasi yang dijalankan melalui pemilu berguna untuk menyelesaikan pertikaian secara sukarela, menjamin terjadinya perubahan secara damai, pergantian kekuasaan dengan teratur, penggunaan paksaan sedikit mungkin, pengakuan terhadap nilai keanekaragaman, menegakkan keadilan, serta memajukan ilmu pengetahuan (Henry B. Mayo, Miriam Budiardjo, eds. 1980).
Paradigma Baru
Berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Bawaslu memiliki kewenangan besar. Lembaga ini tidak hanya sebagai pengawas, namun juga bertindak sebagai eksekutor yang berwenang memutus perkara pemilu. Terbentang harapan akan peran strategis Bawaslu dalam melakukan fungsi pengawasan dan penindakan kasus pemilu.
Bawaslu hendaknya mampu meningkatkan kewibawaan pemilu dan kualitas demokrasi demi terwujudnya kedaulatan rakyat menuju masyarakat adil dan makmur.
Penyelenggaraan pemilu di masa kini dan akan datang sangat membutuhkan fungsi pengawasan yang sangat serius. Penyelenggaraan pemilu tanpa fungsi pengawasan yang baik, akan menyebabkan hilangnya hak pilih warga negara, maraknya politik uang, kampanye hitam, dan pemilu yang tidak sesuai aturan.
Penyelenggaraan pemilu yang tidak berintegritas, akan menyebabkan sengketa dan gugatan hasil pemilu. Lebih dari itu, pemilu yang tidak berintegritas hanya akan menghasilkan pemimpin dan wakil rakyat yang tidak amanah dan tidak berkualitas, karena kapasitas dan legitimasinya diragukan.
Namun demikian, instrumen hukum Bawaslu untuk melakukan fungsi pengawasan, terkesan tidak sungguh-sungguh berkehendak untuk memperbaiki kewibawaan pemilu dan kualitas demokrasi. Dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 454 ayat 5 disebutkan, hasil pengawasan ditetapkan sebagai temuan pelanggaran Pemilu paling lama 7 hari sejak ditemukannya dugaan pelanggaran.
Hal ini terbilang terlalu singkat untuk menyiapkan bukti dan saksi agar temuan tersebut dapat betul-betul diproses secara hukum. Terlebih tanpa penghargaan dan perlindungan saksi yang memadai, maka para saksi enggan untuk terlibat dalam kasus hukum.
Oleh karena itu, pengawasan pemilu yang bersifat konvensional sudah saatnya diganti dengan model pengawasan yang lebih modern dan partisipatif. Selain menjalankan fungsi pengawasan dan penindakan sesuai aturan perundangan, sudah saatnya kita mendesain ulang tata kelola pengawasan yang lebih efektif dan efisien sekaligus partisipatif.
Pada pemilu 1955 fungsi pengawasan dilakukan oleh peserta pemilu, pemilu 1971 hingga 1992 dilakukan oleh pemerintah, pemilu 1997 oleh pemerintah dan pemantau, pemilu 1999 oleh penyelenggara dan pemantau, serta Pemilu 2004 hingga 2019 fungsi pengawasan dilakukan oleh lembaga pengawas dan pemantau.
Hendaknya pada Pilkada serentak 2020 dan yang akan datang, fungsi pengawasan lebih melibatkan peran serta masyarakat. Pengawasan partisipatif sangat diperlukan sebagai sebuah tuntutan sistem politik demokrasi modern, yakni segala bentuk dan tahapan pemilu haruslah melibatkan partisipasi masyarakat.
Rakyat hendaknya terlibat dalam proses penilaian kelayakan dan kepatutan calon yang diusung oleh partai politik. Bahkan rakyat mempunyai ruang untuk mengusulkan calon-calon alternatif agar diakomodir oleh partai politik. Rakyat tidak hanya menjadi penonton dan pemilih pasif, tetapi sekaligus sebagai pengawas dan penentu kelayakan calon.
Inilah paradigma baru fungsi pengawasan dan partisipasi kualitatif rakyat dalam pemilu yang modern dan demokratis.
Inilah yang menjadi agenda penting penyelenggaraan Pilkada serentak 2020 dan yang akan datang. Hendaklah semua pihak berbenah untuk mewujudkan model negara demokrasi subtantif. Sistem kepartaian hendaknya dibenahi agar partai politik dapat melakukan rekrutmen kader, pendidikan politik rakyat, serta memperjuangkan aspirasinya demi tegaknya kedaulatan rakyat.
Sementara itu, semua penyelenggara pemilu dan fungsi pengawasan dapat berperan secara profesional, kredibel, dan partisipatif. (*)
Penulis: Primus Supriono, penulis dan aktivis demokrasi