Apabila Dosen membawakan mata kuliah dengan bobot 6 SKS selama semingu dengan gaji 1 SKS sebesar Rp 60.000,- maka Dosen tersebut akan menerima gaji 6 SKS dikali 4 Minggu(sebulan) dikali Rp 60.000,- adalah Rp1.440.000.
Sedangkan Guru, apabila membawakan 24 les selama seminggu dengan gaji 1 les sebesar Rp50.000 maka Guru tersebut akan mendapatkan gaji sebesar 24 les dikali Rp50.000,- adalah Rp1.200.000.
Maka melihat penggajian antara Guru dan Dosen terjadi kejanggalan yaitu dimana penggajian Dosen dikali dengan 4 karena dalam sebulan terdapat 4 Minggu, sementara penggajian Guru hanya dikalikan 1 Minggu dan 3 Minggu nya di hilang padahal guru mengajar sama halnya dengan dosen selama sebulan namun Guru hanya mendapatkan gaji selam seminggu.
Di sinilah letak kelemahan dari Undang-undang No.14 tahun 2005 dan persoalan kesejahteraan guru, dimana tidak adanya mekanisme penggajian yang jelas terhadap Guru.
Mengacu dari persoalan tersebut maka banyak guru-guru yang mengambil jumlah les yang sangat banyak hingga sampai 30 les seminggu bahkan lebih, yang akhirnya mengakibatkan kurang waktu persiapan seorang Guru karena tidak adanya waktu senggang untuk mempersiapkan materi yang diajarkan.
Dengan jumlah les yang begitu banyak maka seorang guru akan paling tidak akan menangani 6 kelas bahkan lebih dan akan menghadapi sekitar 210 siswa atau lebih. Dengan perbandingan 1 : 210 siswa akan seorang Guru dapat mengenal siswanya satu persatu? Bagaimana mungkin dengan perbandingan yang begitu besar dapat menjadikan pembelajaran yang efektif?
Nah hal ini yang harus kita sadari bersama, hal ini tdak hanya semata-mata persoalan materi semata tetapi bagaimana seorang Guru dapat mengajar menjadi lebih efektif, kreatif dan inovatif dengan waktu luang yang banyak untuk mempersiapkan materi dan evaluasi. (*)
Penulis adalah Ketua Bidang Aksi dan Pelayanan GMKI Pematangsiantar-Simalungun