KEPUTUSAN pemerintah menerapkan sociaL distancing dan physical distancing, oline learning hingga larangan mudik bagian dari upaya mencegah penyebaran virus corona (Covid-19). Kebijakan itu membuat para perempuan, kelompok yang rentan terpapar.
Kini, mereka bertambah sibuk lantaran hampir segala aktivitas kehidupan dipusatkan di rumah sejak ada kebijakan #dirumahAja. Dalam waktu yang singkat, rumah kini berubah jadi gereja, masjid, pasar, bisnis, klinik, sekolah atau kampus.
Sebagai manusia biasa, aktivitas tersebut menambah beban, tekanan, kerja berlapis bagi mereka baik dalam konteks posisi perempuan dalam keluarga maupun sebagai perempuan pekerja.
Takkala aktivitas-kegiatan di rumah hanya dipusatkan pada perempuan, keuangan yang terbatas dapat menyebabkan kelelahan fisik dan psikis perempuan sehingga mereka semakin rentan terinfeksi Covid-19.
Menurut data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Rabu 24 April 2020, sebanyak 14.755 perempuan berstatus orang dalam pemantauan (ODP), pasien dalam pengawasan (PDP) 4.254, positif Covid-19 sebanyak 94 perempuan dan 41 perempuan dinyatakan meninggal akibat virus corona.
Jumlah itu belum termasuk para tenaga medis yang tengah menjalankan missi kemanusian yang menjadi garda terdepan merawat para pasien dengan segala keterbatasan alat pelindung diri dan rawan terpapar Covid-19.
Suka Kumpul Sambil Cerita, Berubah jadi Jubir Pencegahan Corona
Sebelum virus corona mewabah, kodratnya, manusia (perempuan) adalah mahluk sosial yang suka berkumpul, berinteraksi dan hidup bersama dengan sesamanya. Kini, gegara virus corona, hubungan sosial dalam bentuk berkumpul itu telah dilarang dalam kurun waktu yang tidak ditentukan.
Peliknya masalah yang dihadapi perempuan di masa pandemi ini hendaknya dijadikan momentum (kesempatan) melakukan kegiatan positif dan produktif serta edukatif.
Misalnya, perempuan menjadi jubir, motivator sekaligus fasilitator mengedukasi keluarga, tetangga, dan masyarakat yang belum tahu manfaat pembatasan sosial. Peran itu dapat menggunakan platform media sosial seperti Facebook, Whatsapp, Twitter, Instagram, dan media lainnya.
Meski multitasking, perempuan dalam ruang publik-media sosial, penting dan mendesak (gerakan) menjelaskan imbauan pemerintah tentang pola hidup sehat dan bersih serta pengelolaan anggaran belanja yang efektif dan efesien dalam diksi yang sederhana.
Hal itu sekaligus kritik terhadap pendapat Filsup Chodorow (1983) yang menyatakan bahwa posisi dan aktivitas perempuan dalam rumah tangga dianggap sebagai sesuatu yang alamiah (natural), karena melekat pada emosi diri perempuan itu sendiri; sebaliknya, laki-laki tidak memiliki sifat-sifat yang seperti itu, sehingga dengan sendirinya ia akan banyak bergerak didomain publik.
Peranan perempuan sebagai penyalur atau komunikator sangat penting dalam komunitasnya, meski akses informasi lebih sedikit diketahui dibandingkan laki-laki. Untuk itu, kepastian mendapatkan akses informasi, mendesak diwujudkan dengan berbagai cara.
Berbagi Tugas di Rumah Upaya Mewujudkan Kesetaraan Gender
Multitasking yang kini tengah ditumpukkan ke perempuan di situasi bencana akan menimbulkan persoalan besar di keluarga bila kesetaraan dalam berbagi tugas di rumah tidak dijalankan.
United Nations Development Fund for Women atau UNIFEM (2020) dilansir kompas.com mencatat bahwa kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di banyak negara mengalami kenaikan sampai 30-50 persen selama pandemi ini.
Beban perempuan yang ‘berlipat ganda’ itu penting dijelaskan (dialog humanis) kepada laki-laki, baik itu sebagai suami maupun pria dewasa. Sehingga, berbagi tugas, dan beban dapat menyelesaikan atau setidaknya mereduksi permasalahan yang dihadapi di masa pandemi ini.
Untuk itu, gerakan perempuan dalam keluarga maupun sebagai perempuan pekerja dalam melawan-memerangi Covid-19 penting disuarakan dalam bentuk kebijakan gender baik di Tim Gugus Tugas, relawan dan di rumah tangga. (*)
Penulis: Insenalia Hutagalung MPd, Dosen di Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar.